Entri Populer

Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

16 Februari, 2009

VALENTINE’S DAY; Pendangkalan Makna Cinta Dalam Sejarah Yang Samar








Gadis itu tersenyum merekah dengan wajah yang merona, saat ia menerima kiriman bingkisan hati yang dibalut dengan ikatan pita pink. Bingkisan yang telah ia nanti-nantikan selama setahun dari sang kekasih tercinta. Gadis itu terus saja memandangi bingkisan hati itu dengan bahagia seolah ia sedang berhadapan dengan wajah laki-laki idamannya itu. Dengan jantung yang berdebar-debar bahagia, perlahan kedua tangannya membuka bingkisan hati kekasihnya. Begitu bingkisan hati itu berhasil ia buka “..oh, so sweet..!”, bisiknya. Di dalam bingkisan hati itu ada bongkahan kue coklat yang juga berbentuk hati dilelatakkan disebelah bunya mawar merah hati nan wangi yang lagi mekar. Secarik kartu ucapan minimalis berwarna pink juga diletakkan disitu bertuliskan “..Be My Valentine..!”. Gadis itu seolah tak kuasa membendung perasaan bahagia, sekejab ia larut di dalamnya.

Yach..begitulah kira-kira perasaan jutaan gadis di dunia ini saat tanggal 14 Februari. Jutaan gadis di dunia ini terhujam oleh anak panah Si bayi Cupid bersayap tepat di dada mereka. Sang Cupid dengan sekejab terbang melesat mengitari bola dunia hanya dalam hitungan detik. Tak hanya kaum hawa, pera lelakipun terhujam oleh anak panah itu. Jutaan anak manusia sedang larut dalam mabuk kepayang dan mereka mengekspresikannya dengan berbagai cara mengatasnakan kasih sayang dan cinta yang suci. Pesta pora atas nama cinta, ciuman atas nama cinta, pergumulan atas nama cinta, cokalat cinta, mawar cinta dan pesan-pesan cinta. Semua menggunakan stempel cinta. Bola dunia tiba-tiba saja berubah bentuk dari bulat menjadi bentuk hati. Itulah tanggal 14 Februari yang oleh mereka menyebutnya Valentine’s Day.

Tapi tahukah anda dari mana perayaan Valentine’S Day muncul?. Tidak sedikit orang yang merayakannya justru cenderung latah, sekedar ikut-ikutan dan meramaikan biar tidak disebut KUPER dan wong ndeso. Larut dalam budaya populis yang semakin miskin makna dan dangkal. Tak punya identitas dan karakter, mengekspresikan gejolak emosi dengan kebablasan dan semakin kehilangan nilai. Kendati mereka berusaha membungkusnya dengan terma yang abadi. Yach..cinta dan kasih sayang menjadi jualan dan bulan-bulanan pada perayaan itu.

Ada banyak versi mengenai asal-muasal perayaan Valentine’s Day. Yang paling populer adalah di ambil dari kisah kematian santo Valentinus tanggal 14 Februari 269 M yang diyakini pernah hidup di masa Kaisar Cladius II di Roma. Namun kisah Valentino itupun beberapa versi. Menurut Ensiklopedi Katolik (Catholic Encyclopaedia 1908), nama Valentinus paling tidak bisa merujuk tiga martir atau santo (orang suci) kristen Katolik yang berbeda yaitu seorang pastur di Roma, seorang uskup Interamna (modern Terni) dan seorang martir di provinsi Romawi Africa. Hubungan antara ketiga martir ini dengan hari raya cinta romantispun tidak jelas. Bahkan Paus Gelasius I, pada tahun 496, menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang diketahui mengenai martir-martir ini namun hari 14 Februari ditetapkan sebagai hari raya peringatan santo Valentinus. Ada yang mengatakan bahwa Paus Gelasius I sengaja menetapkan hal ini untuk mengungguli hari raya Lupercalia yang dirayakan pada tanggal 15 Februari. Hari raya ini dihapus dari kalender gerejawi pada tahun 1969 sebagai bagian dari sebuah usaha gereja untuk menghapus santo-santo yang asal-muasalnya hanya berbasis legenda saja. Namun pesta ini masih dirayakan pada paroki-paroki tertentu.

Dari versi diatas perayaan Valentine’s Day sebenarnya ingin menegaskan suatu doktrin kristen yang dibawa oleh Santo Valentinus (kalaupun tokoh itu ada) bahwa tempat tidur pelaminan memiliki tempat yang utama dalam versi Cinta Kasih Kristianinya. Penekanannya ini jauh berbeda dengan konsep dalam agama Kristen yang umum. Menurut pakar Stephan A. Hoeller tentang ajaran Valentinus bahwa Selain sakramen permandian, penguatan, ekaristi, imamat dan perminyakan, aliran gnosis Valentinius menekankan dua sakramen agung dan misterius yang dipanggil “penebusan dosa” (apolytrosis) dan tempat pelaminan”

Ada versi lain dari Valentine’s Day yang juga cukup meyakinkan yaitu berasal dari tradisi paganisme (dewa-dewi) Romawi Kuno, sesuatu yang dipenuhi dengan legenda, mitos, dan penyembahan berhala. Dalam tradisi paganisme bulan Februari diyakini masuk dalam periode kesuburan dan cinta bisa disebut bulan Gamelion sebagai persembahan kepada pernikahan Dewa Zeus dan Hera.

Dalam tradisi pagan itu, tanggal 15 Februari merupakan perayaan Lupercalia, hari raya untuk menghormati Dewa Lupercus sebagai dewa kesuburan. Dewa Lupercus merupakan dewa yang berbadan kambing dan berwajah manusia makany pada perayaan ini yang menjadi persembahan berupa kambing. Pada perayaan itu dilakukan pesta minum anggur dan melakukan arak-arakan dijalan kota sambil membawa potongan kulit domba. Banyak perempuan muda berebut disentuh kulit domba itu karena mereka meyakini bahwa yang disentuhnya akan mendatangkan kesuburan bagi mereka.

Pada rangkaian perayaan itu yakni tanggal 13 dan 14 Februari dilakukan persembahan kepada dewi cinta (The Queen of Feverish Love) bernama Juno Februata. Para pemuda berkumpul dan melakukan pengundian mirip arisan ibu-ibu PKK. Setiap pemuda lalu memilih nama gadis secara acak. Gadis yang namanya keluar harus menjadi kekasih pemuda yang memilihnya selama setahun untuk bersenang-senang.

Artinya perayaan Valentine’s Day yang sangat populer saat ini merupakan hasil perselingkuhan dua tradisi yang beraras pada hal yang debatable. Tradisi yang bercampur berbagai mitos dan legenda yang kemudian dikontruksi membentuk satu realitas budaya populis di masyarakat. Valentine’s Day kemudian menjadi seolah-olah sangat sakral karena berhasil menelusuk masuk pada ruang-ruang psikologis masyarakat dan menyentuh hal yang asasi dalam diri individu. Cinta dan perasaan kasih sayang ditambah sentuhan doktrin agama menjadi jurus yang jitu untuk menjaga konstruksi budaya itu secara terus menerus.

Lantas mengapa Valentine’s Day bisa bertahan hingga sekarang..?. Saya menduga, ada jurkam atau penjaga tradisi di belakangnya yang memperoleh banyak keuntungan dari perayaan Valentine’s Day. Betapa tidak, The Greeting Card Association memperkirakan bahwa di seluruh dunia, sekitar satu milyar kartu Valentine dikirimkan per tahun. Belum lagi kue coklat dan pernak pernik lainnya. Kartu Valentine pertama kali diproduksi secara massal setelah tahun 1847 oleh Esther A. Howland (1828 – 1904) dari Worcester, Massachusetts. Setelah itu Valentine’s Day menjadi perayaan terbesar kedua setelah natal dan tahun baru (Merry Christmast and The Happy New Year).

Bagi saya, perayaan Valentine’s Day hanyalah mengkebiri makna cinta dan kasih sayang yang sebenarnya. Apalagi perayaan itu dikonstruksi atas dasar mitos dan legenda. Valentine’s Day hanyalah upaya untuk memenjarakan cinta dan kasih sayang pada simbol-simbol dan perayaan tertentu. Harusnya Cinta dan kasih sayang menjadi semesta dimana manusia hidup. Biarkanlah cinta dan kasih sayang mewujud sesuai dengan esensi yang sebenarnya, menerobos jauh dalam setiap lorong-lorong ruang dan waktu kehidupan manusia. Apalagi ditengah bangsa ini yang penghuninya selalu saja mudah tersinggung dan marah walaupun hanya persolan sepele.

Jadi, buat para perempuan yang ingin memberikan saya coklat, mawar merah dan kartu ucapan Be My Valentine, bukannya saya menolak tapi lebih tepat biarkan saya memberikan anda cinta dan kasih sayang sebagaiman cinta dan kasih sayang itu sepanjang waktu. Demikian pula anda kepada saya, dan setiap orang di dunia ini harus melakukannya kepada siapa saja....


Makassar, 14 Februari 2009
Saat lagi kangen padanya.....

11 Februari, 2009

Sajak-Sajakku...




Anakku…!
Anakku…!
Bantu aku mencari ibumu
Rahim yang melahirkanmu
Perempuan suci yang menyusuimu
Perempuan tempat engkau mengadu
Anakku…!
Aku telah merawatmu
25 tahun sebelum engkau lahir
Jangan kau sia-siakan itu,
Jangan kau kecewakan aku.
Anakku…!
Kutemani engkau jalan-jalan
Ketaman, kegunung, ke kota
Ketempat pelacuran, ke masjid
Ke tempat sampah, ke hotel dan kantor-kantor
Kutemani engkau menemani banyak orang
Dari pengemis sampai pejabat
Dari orator sampai koruptor
Dari orang awam sampai cendekiawan
Dari orang bejat sampai orang bijak
Dari orang biadab sampai orang beradab
Kutemani engkau melihat fenomena
Tangisan dan canda tawa, pertemuan dan perpisahan
Perdamaian dan peperangan, kedamaian dan bencana
Pergantian siang dan malampun kita berdua
Anakku…!
Telah banyak yang engkau saksikan
Ingat Tuhanmu, ingat orang tuamu dan keluargamu
Ingat orang miskin, ingat orang-orang tertindas
Jangan lanjutkan kejahatan itu
Ingatlah..ingatlah pesanku
Jangan kau kecewakaan aku, anakku.!
Tapi anakku…
Bantu aku menemukan ibumu
Karena sampai hari ini aku tak tahu
Dirahim mana aku akan menitipkanmu....
Tamalanrea, jam 10 malam
Sesudah mati lampu
Senin, 29 Agustus 2005
Muhammad MF
--------------------------------------------------------------------------------------------------





Panggilan Malam
Ini bukan malam yang pertama kali
Engkau datang memanggilku lagi
Membangunkan aku dari
Tidurku yang memang tak pernah pulas
Lalu kedua tanganmu menarikku
Hingga jasadku seolah terangkat
Dari rebahannya di atas pusara yang semu
Dan aku sadar bahwa
Ini bukan malam yang pertama kali

“Tataplah..lihat dengan jelas, oh sayangku..!”
Itu penggalan kalimat yang selalu
Kau ucapkan dari bibirmu yang lembut
Engkau selalu menampakkan wajahmu yang purba
Dalam benakku yang anehnya tak pernah bosan
Namun dengan cara itu engkau meyakinkanku
Bahwa ada sesuatu yang pasti

Namun malam ini, oh sayangku..!
Aku masih saja mengenangmu, merajut asa
Mengumpulkan serpihan wajahmu
Yang berserakan diatas lantai
Lalu merangkainya hingga kembali utuh
Namun percayalah padaku sayang
Akupun tetap berhati-hati menjagamu dalam pikiranku
Agar engkau tetap selalu suci

Oh sayangku.., percayalah bahwa
Aku akan menikmati semua panggilanmu
Kendati aku terhentak dari tidurku
Yang memang tak pernah pulas
Aku akan selalu merangkai serpihan wajahmu
Hingga aku melihat wajahmu yang sesungguhnya
Karena aku sadar
Ini bukan malam yang terakhir kali

Muhammad MF
Dalam sebuah kontemplasi yang
Panjang di lokasi KKN
Marusu, 30 Juni 2006
Jum’at 02.35 dini hari.

MASA DEPAN DEMOKRASI INDONESIA


Sepintas, ketika membaca judul tulisan ini terkesan bahwa ada semacam keraguan terhadap demokrasi sehingga terbesit pertanyaan dibenak kita apakah demokrasi sebuah pilihan yang tepat bagi bangsa ini. Ini merupakan pertanyaan yang menggugat keyakinan kelompok pro demokrasi bahawa demokrasi mampu membawa bangsa ini pada tatanan yang damai dan sejahtera. Tak salah jikalau pertanyaan itu lahir ditengah para elit politik yang dengan bangga dan lantangnya meneriakkan bahwa Negara kita adalah Negara demokratis sementara fenomena tidak demokratis ada dimana-mana bahkan tak jarang para elit yang mempertontonkannya.
Namun disisi lain, dengan melihat judul tulisan ini pula, justru terkesan memberikan penegasan terhadap keyakinan bahwa demokrasi mampu mewujudkan harapan dan cita-cita rakyat. Harapan besar itu muncul begitu kuat setelah beberapa kekuatan di Indonesia terkonsolidasi untuk kemudian bersepakat menjatuhkan rezin orde baru Soeharto yang otoriter pada tahun 1998. Masuknya babakan sejarah orde reformasi seolah menjadi angin segar bagi kelompok pro demkrasi untuk menuju pada tatanan bangsa yang lebih baik.
Masa transisi yang tengah melanda bangsa Indonesia saat ini yang dimulai dengan jatuhnya rezim orde baru menjadikan ketidakjelasan masa depan demokrasi Indonesia. Apakah Indonesia nantinya kembali menceburkan diri pada lembah otoritarianisme atau berjalan mulus pada konsolidasi demokrasi yang berujung pada pelembagaan demokrasi. Bahkan denan arah bangsa yang tidak jelas ini memunculkan stigmatisasi terhadap demokrasi oleh sebagian kelompok sehingga berkesimpulan bahwa demokrasi bukanlah sebuah sistem yang tepat bagi Indonesia. Hal ini menjadi fenomena yang lumrah dalam sebuah bangsa yang tengah bertransisi.

Sepintas Tentang Demokrasi
Kata sebagian teoritikus politik, ide filosofis demokrasi sebenarnya telah ada sejak zaman yunani kuno dengan adanya Negara kota (polis) di Athena pada abad ke 4 dan ke 5 SM. Sebuah negara kecil yang juga dengan penduduk yang tidak banyak sehingga demokrasi bisa langsung dijalankan secara partisipatif. Warga Athena tersebut setidaknya bertemu empat puluh kali dalam setahun untuk membahas persoalan-persoalan publik . Nah,dari siniliah definisi demokrasi klasik terbangun yakni demokrasi asal dan tujuan. Pemerintah dari, oleh dan untuk rakyat (government of, by and for people).
Menurut Robert Dahl dalam Kamil bahwa dalam pandangan Yunani tentang demokrasi, warga Negara adalah pribadi yang utuh yang baginya politik adalah aktivitas sosial yang alami dan tidak terpisah secara tegas dari bidang kehidupan lain. Nilai-nilai tidak terpecah tetapi terpadu karena itu mereka aktif dalam kegiatan politik. Namun dalam prakteknya pula demokrasi Yunani dalam hal kewarganegaraannya merupakan hal yang eksklusif, bukan inklusif. Persyaratan kewargaanegaraan adalah kedua orang tua harus warga Athena asli. Jika orang asing aktif dan memberikan sumbangan besar pada kehidupan ekonomi dan intelektual akan mendapat status tertentu.
Dalam perkembangannya, demokrasi kemudian mengalami redefenisi khususnya bagi Negara-negara besar modern yang mulai muncul pada abad ke-16. Gagasan barupun tentang demokrasi pertama kali dimunculkan oleh kaum Leveller, kelompok republican inggris abad ke-17 dengan menawarkan prinsip perwakilan dalam demokrasi yang kemudian dimatangkan lagi oleh James Mill dan John struat Mill (1806-1873). Prinsip perwakilan dalam demokrasi bagi Destutt de tracy merupakan suatu penemuan baru karena dapat berlaku dalam waktu yang sangat lama dan cakupan wilayah yang sangat luas.
Yang dimaksud dengan demokrasi perwakilan adalah bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik warga Negara diselenggarakan oleh warga Negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu pemilihan yang bebas. Dalam perspektif inilah esensi demokrasipun sering disebut seperti oleh Schumpeter dan Huntington terletak pada Pemilihan umum yang jujur, adil dan berkala. Dari sinilah kemudian melahirkan pengertian demokrasi modern dimana penekanannya pada hal yang sifatnya procedural (procedural democracy).

Transisi Demokrasi Indonesia
Transisi merupakan interval atau selang waktu antara suatu rezim politik dengan rezim politik yang lain. Menurut Guillrermo O’Donnell dan Philippe C. Scmitter bahwa transisi dibatasi oleh mulainya proses perpecahan rezim. Ia juga menilai, sudah jadi ciri masa ini yakni tidak menentunya aturan main politik. Hal itu disebabkan bukan hanya aturan itu berubah terus-menerus dalam masa transisi itu tetapi juga karena aturan main itu dipertarungkan antar elit politik. Menurut O’Donnell dan Schmitter, selama masa transisi bila memang ada aturan-aturan yang efektif cenderung berada pada genggaman pemerintah otoriter. Biasanya penguasa ingin mempertahankan kekuasaannya karena itu penguasa akan memodifikasi aturan itu demi kepentingan dirinya.
Transisi yang terjadi dalam konteks keindonesiaan adalah bersifat sistemik mulai dari sistem ekonomi, politik, pemerintahan, sosial budaya dan supremasi hukum. Sifat transisi inipun menjadikan bangsa ini begitu sulit untuk berbenah diri. Disisi lain komitmen pemimpin dan penyelenggara pemerintahan sangat sulit untuk ditemukan. Akibat fatalnya adalah memunculkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemimpin dan penyelenggara pemerintah. Masyarakat bangsa inipun menjadi shock dan akhirnya transisi demokrasi hinggap merasuk kedalam ruang cultural dan psikologis bangsa.
Transisi demokrasi di Indonesia mulai sejak lengsernya Soeharto. Banyak orang kemudian membayangkan bahwa Indonesia akan segera bertranformasi dari otoritarianisme ke sistem yang demokratis. Namun persoalan itu agaknya tak kunjung terjadi. Setelah 9 tahun sejak kejatuhan soeharto Indonesia masih saja berkubang di kawah transisi. Hal ini disebabkan oleh dekonstruksi terhadap orde baru tidak terjadi secara optimal. Soeharto memang lengser tetapi antek-anteknya masih tegak berdiri. Akibatnya rekonstruksipun sulit terjadi.
Rekontruksi merupakan proses peletakan fondasi atau basis material-konstitusional demokrasi. Menurut ahli teori politik proses ini sebagai proses konsolidasi demokrasi. Kebuntuan dalam menyusun fondasi kontitusional ini melahirkan ketidakseriusan atau konsolidasi setengah hati. Parahnya, kondisi ini dimanfaatkan oleh kekuatan politik lama untuk berkuasa kembali.
Disisi lain muncul gejolak didaerah untuk mendapatkan otoritas atau kewenangan secara konstitusional untuk mengelolah pemerintahannya. Tuntutan ini muncul sebagai reaksi atas kekecewaan dan ketidakpuasan selama orde baru berkuasa. Ditambah lagi ada semacam ketidakpercayaan daerah terhadap pemerintah pusat. Sekaligus dengan desentralisasi diharapkan dijauhkan dari konflik dan proses demokratisasi secara bertahap juga terjadi di daerah. Namu desentralisasi sebagai pilihan kongkrit pada masa transisi agaknya tidak sepenuhnya menjadi pilihan tepat. Kenyataan yang terjadi kemudian adalah dengan adanya desentralisasi konflik dan fenomena yang tidak demokratis juga terdesentralisasi di daerah.
Menurut Tornquist bahwa ada dua hal yang menyebabkan demokrasi gagal dicangkokkan dalam rahim politik Indonesia. Pertama, proses dorongan memajukan hak dan institusi demokrasi dengan dengan cara pelemahan Negara dan dorongan desentralisasi dengan bantuan masyarakat sipil, privatisasi, globalisasi ekonomi namun namun tidak dibarengi oleh persyaratan penting yakni kemampuan survival kelompok pengusaha tanpa menjalin relasi gelap dengan Negara, militer dan penegak hukum. Kedua, transformasi kekuasaan yang dibutuhkan dalam demokratisasi hanya ditopang oleh gerakan yang lemah sehingga termarjinalisasikan. Akibatnya banyak keputusan penting lahir diluar mekanisme demokrasi.
Segala perjalalanan demokrasi di Indonesia mulai dari orde lama, orde baru sampai hari ini telah menjadi bagian sebuah proses pembentukan pengetahuan dan kesadaran sejarah bangsa Indonesia. Bahkan hal itu telah terlembaga secara mapan. Atau dalam perkataan lain paradigm pengetahuan bangsa ini yang berefek pada tindakan sosial terbentuk melalui proses sejarah yang timpang. Pertanyaan besarnya adalah, bagaimanakah dengan masa depan demokrasi di bangsa ini, apakah bangsa ini mampu keluar dari transisi menuju konsolidasi demokrasi atau justru sebaliknya.
Agaknya, dengan melihat situasi dengan konstalasi politik yang terjadi, kita tidak bisa semata-mata berharap banyak terhadap parlemen dan elit politik baik pusat maupun daerah untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia. Mesti ada kelompok tertentu dengan mobilitas tinggi dan secara proaktif bergerak dari bawah membangun demokratisasi. Jika paradigma bangsa ini terbangun atas sejarah yang timpang maka paradigma tersebut mesti dibenahi dengan menunjukkan sejarah yang sebenarnya. Fungsi education dan up grade capacity harus dilakukan dengan intens dari bawah. Nah dari sinilah paradigma bangsa ini akan bergeser sekaligus penguatan masyarakat sipil. Dan tentu saja demokratisasi tidak hanya menjadi mimpi indah dalam tidur panjang bangsa ini.

05 Februari, 2009

SETIAP TEMPAT ADALAH SEKOLAH

Tulisan ini sebenarnya saya buat setelah peringatan Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) 2 Mei 2007. Hanya saja tulisan baru dapat saya posting ke blog ini karena tulisan ini saya buat hampir 2 tahun sebelum blog ini ada. Namun setidaknya isu tulisan ini belumlah usang. Bahkan saya menilai masih cukup representatif untuk merefleksikan wajah pendidikan kita hari ini. Berikut tulisan saya itu..

Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) 2 Mei 2007 baru saja kita lewati. Tidak seperti peringatan hari ulang tahun seorang remaja yang dirayakan penuh dengan suka cita dan pesta pora yang meriah, hari Pendidikan Nasional dirayakan dengan demontrasi besar-besaran disetiap pelosok tanah air Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan dari berbagai kalangan masyarakat. Isu demonstrasi yang diangkatpun tidak jauh berbeda yakni seputar anggaran pendidikan, tenaga pengajar, berbagai bentuk penyelewengan pendidikan, penolakan terhadap Badan Hukum Pendidikan (BHP) sampai pada penghapusan utang luar negeri sebagai biang persoalan bangsa yang mempunyai efek domino terhadap dunia pendidikan. Dengan maraknya demonstrasi pada Hari Pendidikan Nasional sebagai bentuk protes terhadap penyelenggara negara menjadi penanda bahwa pemerintah belum sepenuhnya secara serius melaksanakan tanggung jawabnya membenahi pendidikan nasional.

Secara gamblang dalam pembukaan UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu cita-cita NKRI adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Proses pencerdasan kehidupan bangsa, tidak saja terdapat pada ruang pendidikan formal tetapi setiap ruang interaksi sosial adalah upaya pencerdasan. Peserta didiknya pun bukan sebatas anak sekolah yang berseragam dan terdaftar pada institusi pendidikan. Petani, pegawai negeri, pengusaha, buruh, masyarakat desa, masyarakat urban dan segenap masyarakat lainnya juga menjadi peserta didiknya. Mata ajarannya tidak hanya bahasa, matematika, fisika dan ilmu pasti lainnya. Demokrasi, pluralisme, toleransi, keadilan dan lain sebagainya juga menjadi mata pelajaran wajib

Artinya tanggung jawab Negara bukanlah sebatas penganggaran 20% dana pendidikan dari APBN dan APBD, menyediakan infrastruktur pendidikan dan tenaga pengajar yang berkualitas. Tetapi lebih dari itu, Negara mesti memberikan penjaminan kondisi lingkungan belajar bagi masyarakat sehingga masyarakat dengan bebas melakukan aktivitas belajar. Tindak kekerasan yang sering terjadi dimasyarakat bisa jadi karena pengekangan terhadap kebebasan belajar dan ekspresi kreativitas masyarakat serta tidak adanya ruang pembelajaran bersama sehingga terekspresikan melalui tindak kekerasan.

Hal ini senada dengan teori Sublimasi Anna Freud yang diturunkan dari psikoanalisis ayahnya Sigmud Freud bahwa faktor utamanya adalah superego. Superego mengekang libido sebagai pemicu naluri primitif (pelecehan, kekerasan dll) dan mengubahnya menjadi aktivitas belajar intelektual (task of intellectual learning) dan kegiatan mendapatkan keterampilan (acquisition of skills). Dengan demikian pendidikan adalah usaha pengalihan naluri primitif untuk diekspresikan pada upaya mempelajari aktivitas-aktivitas yang dapat diterima oleh norma masyarakat. Proses inilah yang disebut sebagai sublimasi.

Seorang tokoh pendidikan progresif perempuan dari Inggris Susan Isaacs (1885-1948) menegaskan bahwa kebebasan belajar akan menghilangkan hambatan proses belajar atau distorsi perkembangan watak. Ia akan mendorong upaya memahami dunia dan pengembangan keterampilan yang tersublimasi karena teori psikoanalisis menyebutkan bahwa neurosis disebabkan oleh tekanan (represi). Walaupun pada akhirnya Isaacs menemukan perlunya keseimbangan antara kebebasan dan pengurangan kebebasan.

Kedewasaan bangsa terbentuk ketika interaksi social dimaknai sebagai proses pembelajaran. Dari proses belajar ini akan mendorong pembelajar (masyarakat) untuk mengevaluasi perjalanan belajarnya –baca interaksi sosial- sehingga upaya preventif dan perbaikan serta berkomitmen untuk tidak mengulangi kesalahan akan terjadi. Pada akhirnya, secara kualitatif kedewasaan akan terus meningkat. Indikatornya perilaku primitif (kekerasan, pelecehan, dll) sedikit demi sedikit terkikis dan pada akhirnya sirna.


Negara adalah laboratorium raksasa

Elit politik dan penyelengara birokrasipun mestinya menjadi pembelajar yang baik bersama masyarakat. Pada akhirnya melahirkan elit politik dan penyelenggara birokrasi yang bertanggung jawab dalam menjalankan amanah rakyat dan taat hukum.

Ketika interaksi social dimaknai sebagai proses belajar artinya setiap tempat adalah sekolah. Negara akan menjadi laboratorium raksasa. Tempat membicarakan dan mencari kebenaran dan keadilan serta secara bersama-sama berkomitmen menegakkan kebenaran dan keadilan tersebut. Negara menjadi tempat kita melakukan pengujian dan evaluasi dari proses belajar tadi.

Semangat pembelajar mestinya terus ditanamkan dengan membuka ruang alternative pembelajaran baru. Ruang pembelajaran baru akan terwujud ketika negara juga menjaminkan kondisi lingkungan belajar yang sehat, dinamis dan senatiasa saling menghargai dalam keberagaman dan perbedaan. Jadilah murid bangsa yang baik sekaligus guru bangsa yang baik buat diri kita sendiri. Ketika kita menempatkan diri sebagai murid bangsa tentu saja kita tidak menginginkan pelajaran yang buruk. Demikian pula ketika kita menjadi guru bangsa buat diri kita tentu kita tidak akan mengajarkan hal yang buruk buat diri kita.

Akhirnya, bangsa ini sudah terlalu jauh terseret kedalam lembah keterpurukan dan ketertingglan. Karena itu menjadi tanggung jawab kita sumua mengangkat derajat bangsa ini menjadi bangsa yang maju, cerdas dan beradab melalui misi edukasi dengan menjadikan setiap bentuk interaksi social adalah belajar dan ruang interaksi social adalah sekolah.

HmI DALAM PERGULATAN SEJARAH; Refleksi Milad HMI Ke 62


H
ari ini, tepatnya tanggal 5 Februari 2009 HMI (baca anggota) memperingati usianya yang ke 62 tahun. Ini adalah buah tangan dari Lafran Pane dan kawan-kawan sebagai The Founding Fathers ketika tahun 1947 memproklamirkan berdirinya Himpunan mahasiswa Islam (HmI). Saya sebenarnya secara pribadi lebih mengacu pada aturan normatif HmI yakni milad HmI seharusnya berdasarkan berdirinya sesuai penanggalan Hijriah yakni pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H. Namun, entah mengapa tradisi euforia dan pesta pora perayaan milad itu oleh kader HmI lebih mengacu pada tahun Masehi ketimbang tahun Hijriah. Saya kadang berfikir nyeleneh, mungkin saja karena 5 Februari lebih berdekatan dengan tanggal 14 Februari yakni perayaan Valentine days ketimbang 14 Rabiul Awal berdekatan dengan 12 Rabiul Awal yakni hari kelahiran Baginda Rasulullah Muhammad (Maulid). Tulisan ini pun juga memanfaatkan moment euforia itu.

Usia 62 tahun, yach usia yang sudah tak muda lagi. Ibarat manusia, pada usia itu sudah beranak cucu, rambut sudah memutih dan kulit keriput, telinga mulai tuli dan mata telah rabun, gerak fisik tak tangkas lagi dan pikiran mulai pikun, badan membungkuk, tulang melapuk dan daya tahan memburuk akibatnya suka batuk-batuk dan penyakit mudah masuk. Yach., orang bilang pada usia itu manusia sudah bau tanah dan tidak lama lagi masuk liang lahat dan bergelar almarhum. Namun, dibalik usia yang tua dan badan yang renta itu ada sederet prestasi yang telah di raih dan sejarah yang pernah terukir.

Memang HmI tidak bisa disamakan dengan badan organis manusia dimana pada pada fase tertentu mengalami penurunan kualitas yang berpengaruh pada penurunan produktivitas. HmI adalah sebuah entitas yang memiliki struktur organis tertentu yang telah didesain agar mampu berakselerasi dan beradaptasi terhadap perubahan ruang dan waktu. Namun anehnya, fenomena tua dan renta yang identik dengan seorang manusia juga terjadi di HmI. HmI mengalami penurunan produktivitas dan hampir-hampir sudah tak mampu lagi berkarya. Seiring dengan pertambahan usia, HmI harusnya bertambah dewasa, kuat dan sehat. Namun anehnya justru HmI seolah mengidap suatu penyakit yang semakin parah dan hari ini penyakit itu dalam stadium yang akut.

Tak bisa dipungkiri, HmI memang pernah punya sejarah. HmI pernah mewarnai perjalanan bangsa ini dengan memberikan konstribusi positif. Melalui rahimnya, HmI berhasil melahirkan dan membesarkan kader-kader bangsa. Tetapi sejarah akan terus berjalan dan berjalan. Setiap generasi pasti punya sejarah sendiri dan kita tidak mungkin hidup dalam (bayang-bayang) sejarah masa lalu.

Secara normatif HmI memiliki konsepsi tentang pribadi kader yang juga sekaligus menjelaskan konsepsi kemanusiaan yang kaffah. Hal itu secara gamblang tersurat dalam tujuan HmI, terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Konsepsi kemanusiaan ini yang dikenal dengan terminologi Insan Cita. Nilai-nilai seorang Insan Cita harus termanifestasi dalam satu nilai dasar perjuangan yang meliputi dimensi kehidupan kader yakni dimensi keilmuan, dimensi keislaman, dimensi ummatan/kebangsaan, dimensi kemahasiswaan dan dimensi keorganisasian.

Seorang kader HmI mestinya merefleksikan nilai-nilai insan cita itu. Dari situ pula menjelaskan peran dan tanggung jawab seorang kader. Tanggung jawab seorang kader tidak hanya meng up grade diri dan mengembangkan potensi keilmuannya secara kognitif. Namun lebih jauh dari itu, ada tanggung jawab secara sosial/keummatan yang harus diemban dan dilaksanakan. Tanggung jawab tersebut kemudian menjadi suatu gerak kemanusiaan yang berpijak pada sirkuit idiologi yang jelas. Nah dari sini pada akhinya HmI dan kader-kadernya akan menjadi Rahmatan Lil Alamin bukan Laknatan Lil Alamin.

Namun yang terjadi hari ini, justru HmI terpelanting semakin jauh dari konsepsi ideal normatif tersebut. HmI cenderung tenggelam dalam perilaku pragmatisme dan oportunisme. HmI lebih tertarik dalam aktivitas politik praktis, larut dalam konflik internal untuk memperebutkan jabatan dan posisi tertentu. Lihat saja dalam setiap aktivitas politik mulai dari level kampus sampai negara ada anak HmI terlibat disitu. Bahkan tidak jarang dalam momentum politik itu yang menjadi kandidat adalah anak HmI ataupun KAHMI. Tiba-tiba saja saya merasa HmI menjadi partai politik malu-malu yang hanya melahirkan kader politik.

Yang parahnya interaksi kaderpun kemudian dipandang secara politis sehingga semua hal harus ditransaksikan. Bahkan ruang pengkaderan yang harusnya “suci” digiring pada ranah pragmatisme politik yang profan dengan menganggap proses pengkaderan sebagai investasi politik. Buseett…!!. Bagi saya politik hanyalah sebagai alat bukan tujuan. Itupun harus dijalankan dengan mekanisme yang etis bukan mengahalalkan segala cara.

Jelas fenomena ini dalam lintasan sejarah HmI punya titik balik. Saya berpendapat bahwa, titik balik itu terjadi ketika HmI mengalami perubahan asas dari Islam ke Pancasila pada tahun 1985. Perubahan asas ini mengakibatkan tidak hanya terpecahnya HmI menjadi dua kubu besar yakni HmI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) dan HmI Dipo. Tetapi HmI mulai sangat dekat dengan kekuasaan, lebih akomodatif dengan politik praktis dan kehilangan kritisisme di hadapan para penguasa. Dan hal ini terus terjadi sampai hari ini kendati asas HmI telah berubah kembali menjadi Islam pada tahun 1999.

Sudah seharusnya pada momentum milad HmI kali ini menjadi titik balik sejarah HmI untuk mengembalikannya pada khittah perjuangan HmI. HmI harus melakuan suatu rejuvinasi untuk menangani fenomena renta dan ketuaan. Dari situ karya bisa dilahirkan, produktivitas bisa ditingkatkan. HmI harus betul-betul hadir sebagai Rahmatan Lil alamin. Sekiranya HmI tidak mampu berdialektika dan berakselerasi dengan ruang dan waktu dalam gerak sejarah kemanusiaan yang kaffah (Insan Cita) lebih baik bubarkan saja HmI. Titik….!

Selamat bereuforia dalam milad…!!

Tamalanrea, Makassar

5 Februari 2009 pukul 02:24 dini hari WITA

03 Februari, 2009

SAVE OUR EARTH..!!

LINDUNGI BUMI KITA...!

D
ipenghujung abad ke-20 ketika banyak para filsof dan pemikir baik ilmu humaniora maupun eksact, mulai dari simposium, seminar sampai diskusi pelataran dan warung kopi, bangunan modernitas mulai digugat dan dipertanyakan. Modernism dianggap gagal untuk menjawab persoalan-persoalal kemanusiaan kendati tidak bisa dipungkiri bahwa secara empirik peradaban manusia yang ada sekarang adalah bentukan dari modernism. Hanya saja, dibalik kesuksesan modernism dalam membentuk peradaban tersebut melahirkan mimpi buruk dan momok yang sangat menakutkan bagi sejarah kemanusiaan itu sendiri. Era sejarah kemanusiaan yang menegasikan modernism itu yang kita kenal dengan postmodernisme.

Laksana banjir bah, berbagai wacana kritis tak bisa terbendung untuk menyapu bersih sampah modernism. Mulai dari ideology, paradigm pembangunan, idustrialisasi, gaya hidup (life style), ekonomi, politik, pertanian dan berbagai segmen kehidupan lainnya, semuanya kembali digugat dan dipertanyakan. Tak terkecuali persoalan yang lagi hangat dibicarakan oleh hampir seluruh manusia di bumi ini yakni persoalan rumah kita, tempat tinggal kita yaitu bumi (earth).

Apa sebenarnya yang sedang terjadi pada bumi ini, the home to living together…? rumah kita bersama tempat kita tinggal..? mengapa pula modernism harus dipersalahkan..?

Sejak tembok kekuasaan para pendeta di Eropa yang bersembunyi di balik benteng mereka (baca : gereja) berhasil diruntuhkan oleh pemikiran kritis para filsuf, Eropa kemudian memasuki satu babakan sejarah baru yang disebut Renaisence (zaman pencerahan) yang dalam istilah jerman disebut Aufklarung. Babakan sejarah ini menuntut adanya kebebasan berfikir manusia yang sebelumnya pikiran-pikiran bebas tersebut terpenjara oleh dogma para pendeta dan dari dogma itu para pendeta sekaligus memonopoli kebenaran pada masa itu. Ketika pikiran bebas manusia terpenjara maka sekaligus akan membunuh kreatifitas manusia maka progres pun tidak akan terjadi.

Kemerdekaan berfikir ini sekaligus menjadi awal dimulainya zaman modern, zaman yang penuh progres. Kelompok-kelompok agamawan disebut sebagai kelompok ortodoks atau tradisional sementara manusia-manusia pro modern oleh kelompok agamawan dituding sebagai kelompok sekuler.

Laksana tumbuhan dimusim penghujan, modernisme kemudian bertumbuh begitu suburnya. Melalui proses fisiologis mekanis yang terjadi dalam tubuh modernisme, ia kemudian berbunga, kuncup, mekar Lalu berbuah. Karena respirasi dan fotosintesisnya mekanis maka Buahnya pun adalah buah mekanis.

James Watt adalah orang pertama yang memetik buah mekanis itu ketika ia menemukan mesin uap. Rasa buah mekanis itu sangat manis. Manis yang mekanis pula tentunya karena mesin uap itu bermetamorfosis menjadi satu pabrik besar, lalu menjelma menjadi satu kota besar, dari kota besar itu menjadi satu negara besar, negara industri. Dan hari ini, bumi kita, rumah tempat kita tinggal telah menjadi dunia industri raksasa. Peradaban manusia yang mekanistik (mecanistic civilization).

Rupa-rupanya, buah-buah mekanis tadi menjadi boomerang bagi manusia itu sendiri. Buah-buah mekanis tadi justru kembali mengancam keberadaan dan keberlanjutan bumi beserta kehidupan di dalamnya. Betapa tidak, industrialisasi sebagai buah mekanis dari modernisme menyisakan emisi/sampah yang bersifat toksit bagi bumi dan mengancam keseimbangan dan keberlanjutan ekosistem (Ecosystem Sustainability) di bumi termasuk manusia. Kendati bumi ini telah didesain sedemikian rupa untuk bisa menetralisir dan mendaur kembali emisi yang terbuang dalam biosfer untuk tetap menjaga keseimbangan, namun dalam perbandingan jumlah dan waktu, jumlah emisi yang terbuang jauh lebih banyak dibanding kecepatan bumi untuk menetralisir emisi tersebut.

Entah mengapa manusia-manusia modern itu terus saja mengeksplotasi bumi ini. Dengan mengikuti hasrat keserakahan bumi ini terus saja di keruk. Bumi dipaksa untuk memuntahkan isi perutnya yang berharga itu dalam bentuk mineral tambang (mineral mining). Tidak hanya itu permukaan daratan dan lautan juga ikut diekploitasi. Hutannya habis di tebang dan berbagai jenis hayati laut (berbagai jenis ikan dan terumbu karang) semakin langka karena ditangkap secara massal.

Aktivitas industri dan kenderaan bermotor menyisakan emisi dan sumber polutan yang terbuang bebas di daratan, lautan dan udara. Suhu bumi meningkat secara global dan drastis akibat emisi gas rumah kaca (GRK). Sebutlah Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Nitroksida (N2O), Hidrofluorokarbon (HFCs), Perfluorokarbon (PFCs), Sulfurheksafluorida (HF6).

Sampah turut menghasilkan gas metan (CH4) sebagai salah satu penyumbang gas rumah kaca (GRK). 70% gas (CH4) metan di tempat pembuangan akhir (TPA) diemisikan ke atmosfer. Bayangkan saja, 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metan. Sehingga prediksi pada tahun 2020 jumlah sampah sebanyak 190.000 ton/thn yakni sama dengan 9.500 ton/thn gas metan diemisikan ke atmosfer

Yup.., Secara serta merta bumi ini tercemar, ketidakseimbangan ekosistem terjadi secara global. Bumi ini dalam keadaan sakit dan sekarat. Ibarat manusia, penyakitnya dalam stadium yang akut dan sebentar lagi akan wafat. Bumi ini mengidap suatu penyakit perubahan iklim yaitu pemanasan global (Global Warming).

Dampak yang muncul (sekarang telah sering terjadi) akibat dari Global warming tersebut antara lain hilangnya pulau-pulau kecil akibat kenaikan permukaan air laut, punahnya biota laut dan terumbu karang akibat suhu air laut yang maningkat, kenaikan suhu udara dan peningkatan penguapan serta bencana alam dimana-mana. Faktor iklim mempengaruhi penyebaran penyakit, seperti iritasi kulit, demam berdarah dan malaria. Peningkatan curah hujan dan jumlah hari hujan, berbanding lurus dengan peningkatan kasus demam berdarah.

Diperkirakan pada tahun 2100 Kenaikan Permukaan Air Laut (Sea Level Rise-SLR) setinggi 90 cm. Berdasarkan Hasil Studi IMPACT EVALUATION OF SEA LEVEL RISE ON INDONESIAN COASTAL CITIES yang dilakukan oleh KOBAYASHI, Hideyuki (2004) Dampak SLR di Kota Makassar yakni Lahan yg tenggelam 22.9 ha, Populasi manusia yang terkena dampak 5,840 rumah tangga, Bangunan terkena dampak 4,168 bangunan .

Padahal jauh sebelum itu seorang filsof Alfred North Whitehead telah mengingatkan bagaimana cara berinteraksi dengan lingkungan. Whitehead memandang bahwa lingkungan atau alam semesta bersifat Bipolar. Dalam pandangan Whitehead setiap entitas, seperti halnya manusia terdiri dari anasir mentalitas dan material. Kesatuan anasir mentalitas dan material dalam satu entitas tersebut itulah yang dikenal bipolar. Anasir mentalitas lingkungan yang disebut dengan nilai intrinsik dan nilai istrumental merepresentasikan anasir material lingkungan. Dari pandangan ini, Whitehead menempatkan lingkungan/bumi tidak semata sesuatu yang statis yang selalu dieksploitasi.

Lantas.., apakah hari kita harus terus-terusan mengkritik dan mencaci-maki modernism…..? Kritikan dan caci-makian tidaklah cukup. Semua harus segera ditindaklanjuti dengan perbaikan dan pembenahan disana-sini, sebelum tiba masa dimana kita hanya mampu mengepulkan kenangan tentang bumi yang indah, laut dan langit yang birunya tak jauh beda, hamparan hijau savana dan mekarnya bunga-bunga di mesim semi serta kicauan burung di pagi hari.

Finnaly.., Tidak ada kata terlambat dan menyerah untuk membenahi bumi ini, rumah tempat kita tinggal bersama (home to living together). Satu tindakan membenahi bumi ini maka akan menciptakan beberapa peluang hidup. Bukan hanya untuk kita, tapi juga menyelamatkan kehidupan beberapa generasi sesudah kita, anak cucu kita.

So..,Jangan tunda-tunda lagi..! Think and do something, now…! Ya, di tempat duduk anda sekarang, lakukan…!!!

Makassar, Agustus 2008