Entri Populer

Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

30 Mei, 2013

INDONESIA; Akumulasi Sejarah Yang Samar




Anda pernah menonton film Balibo?  Ya betul, film yang membuat pemerintah Indonesia begitu geram karena dianggap membeberkan cerita yang salah tentang perang di Timor Timur pada tahun 1975.   Film ini kemudian dicekal oleh pemerintah dan dinyatakan tak layak tonton.  Apa lagi memang diketahui film ini disponsori oleh Australia yang katanya juga “berkonspirasi” dan turut andil dalam hasil refendum sehingga Timor Timur lepas dari NKRI pada tahun 1999 saat masa pemerintahan transisi BJ. Habibie pasca lengsernya Soeharto.  Saya bisa mengatakan bahwa film ini secara langsung ikut membenarkan bahwa Timor Timur memang harus “merdeka” dan lepas dari Indonesia.

Malam ini saya baru saja selesai menonton film Balibo.  Film itu saya dapatkan dari seorang teman kuliah pasca di PSL IPB-sebut saja namanya Riza (bukan nama samaran)- seusai acara nonton bareng final liga Champion 2013 di rumahnya.  Hasilnya, Muenchen berhasil mengalahkan Dormunt 2-1 setelah kemenangannya ditentukan oleh gol Robben di masa injury time.  Setelah menonton film itu, justru saya semakin samar atas sejarah, bukan hanya sejarah Timor Timur tetapi sejarah bangsa ini secara utuh.  Mungkin karena memang saya bukanlah sejarawan atau orang yang sekolah di jurusan sejarah.

Terlepas dari pro-kontra Timor Timur, saya tidak hendak berpretensi ingin menjustifikasi mana yang benar atas tafsiran sejarah Timor Timur yang pro-kontra itu.  Saya hanya sekedar menuangkan rasa gelisah saya atas bangsa ini, rasa gelisah akan makna sebuah nasionalisme.  Mungkin baiknya kita memulainya dengan isi cerita film Balibo itu.  Secara singkat, saya akan mencoba untuk menuturkannya.

Balibo adalah film buatan Australia pada tahun 2009 yang disutradarai oleh Robert Connolly.  Kisah ini diangkat berdasarkan buku Cover-Up karya Jill Jollife. Sebagai pintu masuk, film itu hendak menceritakan kisah tentang enam orang jurnalist Australia yang dibunuh (mungkin tepatnya dibantai) di Timor Timur (sekarang Timor Leste).  Lima orang diantaranya (Greg Shackleton , Gary Cunningham, Malcolm Rennie, Brian Peters dan Tony Stewart) dibunuh oleh sekelompok orang, yang dari film itu kita dapat menilainya adalah kelompok tentara walaupun mengenakan pakaian biasa.  Lima orang Jurnalist itu tewas disebuah daerah di Timor Timur yang disebut Balibo.  Hasil rekaman yang berhasil mereka liput yang berisi tentang penderitaan warga Timor Timur di desa-desa dan beberapa konflik bersenjata, habis dibakar oleh kelompok bersenjata itu diatas tumpukan mayat para jurnalist itu. 

Salah satu jurnalis berhasil keluar dari Balibo namun beberapa hari kemudian mati ditembak setelah diseret keluar dari hotel di Dili tempat ia ingin menyelesaikan tulisan-tulisannya. Ia ditembak oleh seorang berseragam TNI pada saat pendudukan Timor Timur oleh TNI pada Desember 1975 saat dimulainya operasi Seroja di Timor Timur. Jurnalist itu bernama Roger East dan dari sudut pandang East inilah film Balibo dikisahkan.

Film Balibo berlatar perang di Timor Timur.  Perang itu dipicu oleh Fretilin yang hendak menjadikan Timor Timur sebagai negara komunis.  Pasukan Fretilin tidak hanya berperang melawan TNI namun juga warga Timor Timur yang pro integrasi Indonesia dan tidak menginginkan Timor Timur menjadi komunis.  Para jurnalist Australia itu hadir di Timor Timur ingin meliput gejolak itu dan hendak mengisahkannya pada dunia.

Diawal film, Jose Ramos Horta pimpinan gerakan revolusioner kemerdekaan Timor Timur yang sekarang menjadi Presiden Timor Leste yang ke-2 mendatangi Roger East ke Australia.  Horta menemui Roger East untuk memintanya ke Timor Timur guna meliput bagaimana perjuangan mereka di sana sekaligus menemui lima orang jurnalis Australia yang telah lebih dahulu meliput gejolak di Timor Timur. 

Para jurnalist itu berhasil meliput bagaimana kegiatan dan kontak senjata pasukan Fretelin dan TNI.  Mereka menyusuri hutan untuk menjangkau desa-desa di Timor Timur. Menurut film itu, kelima jurnalist itu tewas ditembaki dari dekat oleh pasukan TNI yang melakukan penyerbuan kesebuah desa yang diduga sebagai posko pasukan Fretelin.  Beberapa ratus meter sebelum masuk desa, pasukan TNI itu mengganti seragam mereka dengan baju biasa sebagai bentuk penyamaran.  Adegan itu berhasil direkam oleh kamera para jurnalist.  Singkatnya, kelimanya berhasil ditangkap lalu dibunuh, sedangkan semua hasil liputan dimusnahkan.  Sampai sekarang siapa yang mengeksekusi kelima jurnalist masih samar dan pro kontra.

Adegan lima orang jurnalist Australia saat dikejar oleh TNI di Balibo

Diakhir film, sosok Ramos Horta hadir ditengah masyarakat Timor Timur.  Ia disambut sebagai pahlawan pembebasan rakyat Timor Timur setelah menghabiskan waktu ke luar negeri dan berjuang secara diplomatik melalui PBB untuk memperjuangkan pembebasan rakyat Timor Timur.  Ia disambut laksana Sang Mesias yang membawa harapan masa depan dan pembebasan.  Akhirnyanya tahun 1999 Timor Timur lepas dari Indonesia setelah 23 tahun merupakan bagian dari NKRI melalui referendum.  Maka, dimulailah sejarah Timor Leste.

Refleksi Sejarah Yang Samar
Sekali lagi saya bukanlah seorang sejarawan dan tidak hendak melakukan justifikasi atas tafsiran atas sejarah Timor Timur.  Saya hanya hendak menuangkan kegelisahan tentang negara ini, kegelisahan tentang makna nasionalisme, makna tentang berbangsa dan bernegara.  Entah mengapa setiap insiden di negara ini ada saja tentara dibelakang insiden itu.  Tentara selalu saja memainkan peranan penting dan menjadi pemenang diatas pentas sejarah negeri ini. Mungkin memang itu tuntutan sebuah negara bahwa tentara harus menang karena mereka adalah alat dan simbol serta bukti kedigdayaan negara.  Tentara harus menang pada setiap arena konflik terhadap pihak yang -katanya- mencoba merongrong kedaulatan dan nasionalisme.  Tapi betulkah tentara itu berjuang untuk negara, lantas apa sebetulnya tujuan kita bernegara toh banyak kita melihat moncong senjata justru diarahkan ke wajah rakyatnya sendiri.

konflik berdarah tak hanya terjadi di Timor Timur. Di berbagai daerah di Indonesia juga terjadi konflik berdarah. Tentarapun yang menjadi pemeran utama dan harus menjadi pemenang.  Sebut saja tragedi tahun 1969 di tanah kelahiran saya Buton dimana banyak putra daerah ditangkap, disiksa dan dibunuh karena dianggap sebagai PKI.  Bahkan Bupati Buton,Drs. Muh.  Kasim mati dalam jeruji penjara Kodim setelah tubuhnya babak belur penuh lebam karena disiksa.  Buton dianggapa sebagai basis PKI yang saat itu katanya PKI dianggap membahayakan ideologi negara. Walaupun belakangan terbukti ternyata Buton bukan basis PKI seperti yang digembar-gemborkan itu.

Tragedi itu menjadi memori kolektif bagi setiap orang Buton.  Memori itu kemudian menjadi luka kolektif dan menjadi radang pada generasi selanjutnya.  Karena stigma tersebut tak hanya mengambil nyawa orang Buton namun banyak orang Buton yang “malu” mengaku sebagai orang Buton dan terpaksa harus meninggalkan tanah Buton dengan harapan didaerah baru terlepas dari stigma itu dan bisa memulai hidup baru.  Lagi-lagi, pemeran utama tragedi itu adalah tentara.  Mereka mengambil nyawa anak negeri atas nama tugas negara.

Masih banyak tragedi lain yang bisa kita sebutkan.  Kasus Tanjung Priok, kasus PETRUS (Penembak Misterius), kasus orang hilang tahun 1998, konflik Aceh dan Papua.  Semua kasus itu berakhir misterius dalam sejarah yang samar, bahkan  sekarang bahkan masih ada yang tengah berlangsung. 

Apakah kasus-kasus itu terselesaikan dan ada pengadilan yang adil? Tidak.,tidak ada sama sekali.  Negara ini terbiasa menutupi sebuah kasus dengan kasus lain dan itu dianggap selesai.  Lantas dimana tanggung jawab negara atas hal itu. Dimana tanggung jawab negara atas perasaan orang-orang Buton yang telah difitnah selama puluhan tahun, dimana tanggung jawab negara atas kesedihan para keluarga korban dari berbagai tragedi yang terjadi.  Dimana tanggung jawab negara terhadap hilangnya kenyamanan warga daerah konflik di Aceh dan Papua.  Apa sebenarnya tujuan kita bernegara..??


Benedict Anderson
Benedict Anderson pernah menjelaskan tentang Imagined Communites (komunitas-komunitas terbayang).  Anderson mencoba menjelaskan nasionalisme dengan menggunakan pendekatan kultural antropologis.  Dari sini Anderson kemudian membedakan definisi bangsa (nation) dengan negara (state) dimana yang pertama adalah definisinya dibangun atas tinjauan kultural antropologi sedang yang kedua adalah terminologi ekonomi politik.  Secara sederhana saya bisa mengatakan bahwa menggunakan pandangan Anderson, sebuah bangsa lahir karena adanya gagasan yang sama dan mimpi yang sama tentang masa depan yang baik. Gagasan dan mimpi tentang masa depan ini terbayang-bayangkan (imagined) secara kolektif hingga membentuk satu kesatuan orang-orang (community).  Norma, tradisi atau apapun namanya digunakan untuk mencapai impian bersama itu.

Pertanyaannya, apakah mimpi bersama dari warga negara Indonesia…? Soekarno bersama para pendiri bangsa ini berhasil membangun bayangan dan mimpi masa depan bersama untuk mendirikan negara ini.  Mereka mampu menginternalisasikan kepada rakyat yang tersebar di Nusantara bahwa adanya penderitaan yang sama karena penjajahan dan secara bersama memimpikan adanya kemerdekaan.

Bila hendak pula kita bertanya, bagaimana mimpi-mimpi itu pasca kemerdekaan.  Pada masa orde baru, rezim Soeharto memberangus habis mimpi-mimpi itu dengan otoritarianisme dan militerisme.  Setiap persoalan di daerah diselesaikan dengan menggerakkan tentara.  Pada masa orde baru, militer hadir menjadi suatu bayang-bayang (imamagination) baru.  Konflik “disamarkan” dengan konflik yang baru dan dianggap konflik sebelumnya selesai.  Sejarah negeri ini berjalan dalam lintasan yang samar yang kemudian memproduksi sejarah yang samar lagi.  Demikian seterusnya.

Pada akhirnya, bila ada warga negara yang secara mandiri membangkitkan kesadaran sejarah dirinya justru akan meragukan makna nasionalisme itu sendiri dan gagasan tentang keindonesiaan.  Hal itu terjadi karena tidak adanya kesesuaian antara kesadaran sejarahnya dengan fakta yang ia temukan saat ini dalam konteks berbangsa dan bernegara.

Dimasa reformasi, pola ini masih terulang. Kasus-kasus hukum seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang didalangi oleh  penyelenggara negara tidak tersentuh dan terselesaikan.  Namun, kasus itu hanya “disamarkan” oleh kasus lain dan mengalihkan perhatian rakyat ke kasus yang baru.  Dan sayangnya, bangsa ini memang memiliki ingatan yang pendek dan cenderung terlalu mudah “melupakan” dan “memaafkan”.  Bila kesadaran sejarah muncul maka jangan heran bila kesadaran itu cenderung melahirkan ketidakpercayaan terhadap penyelengagara negara.

Negara sudah terlalu banyak dosa, bukan pada Tuhan tapi pada rakyatnya sendiri. Rakyat yang memberikan legitimasi kekuasaan terhadap negara.  Negara terlalu sering berbohong dan khianat.  Kekuasaan yang diamanahkan digunakan untuk memperkaya diri sementara rakyat disistematiskan untuk menahan lapar berhari-hari, tinggal dikolong-kolong jembatan, anak kecil berkeliaran di jalan-jalan mencari makan dengan menjual suara yang pas-pasan.  Banyak orang miskin sakit lalu mati terkapar karena tak mampu mengakses obat dan rumah sakit.  Anak-anak negeri makin bodoh karena tak mampu beli buku, seragam sekolah dan tagihan SPP.

Lalu dimana negara pada saat itu.  Penyelenggaranya lagi asyik berada di hotel-hotel, restoran mewah dan gedung bertingkat.  Mereka membahas orang miskin di ruang ber-AC dengan perut yang kekenyangan.  Mereka lagi jalan-jalan ke luar negeri bersama keluarga menggunakan uang rakyat atas nama tugas negara melakukan studi banding. Bila rakyat melawan kekuatan represif idiologis berseragam yang menghadang. Busyet dah..,saya tak mampu menyebutkan satu persatu.

Pertanyaan selanjutnya, lantas apa yang harus kita lakukan sekarang..???


Darmaga,Bogor- 28 Mei 2013
Pukul 23.00 WIB

08 Mei, 2013

Jefri Albuchori dan Re(de)konstruksi Makna Ustadz





Masyarakat Indonesia begitu tercengang mendengar berita bahwa Uje -begitu Jefri Albuchori biasa disapa- wafat.  Kita semua seolah tak percaya dengan kabar itu.  Betapa tidak kematiannya begitu mendadak dan saban hari kita semua baru saja melihatnya berdakwah di TV.  Uje meninggal karena kecelakaan tunggal pada Jum’at jam 2 dini hari,mengendarai sepeda motor setelah pulang dari membawakan ceramah, aktivitasanya sehari-hari.  Dari berita di media, penyebab kecelakaan Uje akibat kelelahan dan mengantuk karena aktivitasnya dakwahnya yang padat.  Ditambah lagi motor yang dikendarainya adalah Kawasaki Ninja yang memang dikenal selalu ingin berlari kencang bila dikendarai.

Sepekan lebih sudah Uje meninggalkan kita, namun jemaahnya seolah masih saja tak percaya dan menyimpan kenangan yang manis dan begitu dalam.  Bagi saya, Uje adalah sosok yang berhasil hijrah dari dunia yang gelamour penuh hura-hura dan hedonisme kemudian memilih istiqomah di jalan Tuhan tanpa harus meninggalkan hiruk-pikuk dunia.  Masyarakat Indonesia nampaknya begitu kehilangan.  Ini terbukti saat ia dishalatkan oleh ribuan jemaah di masjid Istiqlal.  Menteri Agama RI, Surya Dharma Ali pun saat memberikan sambutan setelah shalat Janazah, tak tahan berisak dan menitikkan air mata saat ia berkata.

kita semua begitu kehilangan Uje.  Saya tidak tahu, mengapa ada seorang anak muda yang begitu konsisten dijalan dakwah

Sayapun ikut merinding sekaligus “terbakar” mendengar ucapan pak menteri itu dan tanpa sadar mata saya ikut basah. 

Kita bisa saja menampik bahwa pantas saja banyak yang menyalatkan Uje karena saat itu setelah shalat Jum’at dan di Masjid Istiqlal pula yang memang tak pernah sepi.  Tetapi, bagi yang menyaksikan baik lewat live di TV ataupun yang hadir di Istiqlal tentu akan merasakan aura yang berbeda.  Kemudian bukankah Rasulullah telah berkata bahwa hari Jum’at itu adalah waktu yang dimuliakan untuk seseorang yang meninggal dan mendapatkan keistimewaan tersendiri di kemudian hari.

Terlepas dari hal itu, bagi saya Uje adalah sosok pendakwah bagi masyarakat urban.  Ia sering digelari  sebagai “Ustadz Gaul” karena kemampuannya menyesuaikan diri dengan tipikal masyarakat urban dalam menyampaikan misi dakwahnya.  Uje begitu baik diterima oleh kalangan orang muda, orang tua atau pun majelis taklim ibu-ibu.  Ia memberikan perhatian lebih terhadap anak muda karena ia tahu betul bagaimana posisi anak muda bagi keberlanjutan agama dan negara.  Terlebih lagi, Uje melewati masa anak muda yang begitu suram dan berlumur maksiat.  Namun, hidayah Allah membawa uje untuk hijrah.

Ditengah hiruk-pikuk metropolitan, Uje berhasil menyampaikan renungan yang begitu membatin bagi yang mendengarnya melalui lagu, syair dan ceramahnya. Tak hanya lisan, dakwah bil Hal juga Uje tempuh dengan menyambangi langsung jemaahnya dan menampilkan kesederhanaan.  Tidak berlebihan kiranya jika Uje saya sebut sebagai “Sufi Kota” yang berhasil menghadirkan keheningan renungan dalam keramaian dan keramaian ditengah renungan yang hening.


Re(de)konstruksi Makna Ustazd.

Tapi ada yang saya risaukan pasca peninggalan Uje.  Cara pemberitaan Uje di beberapa media dapat memberikan kesan dan makna yang berbeda atas terminologi “Ustazd”.  Makna baru itu bisa mengarah ke rekonstruksi bisa pula ke dekonstruksi.  Yang saya maksud disini adalah cara media TV mengemas berita kematian dan sosok Uje.  Kita bisa membandingkan bagaimana stasiun TV yang berorientasi berita dengan stasiun TV yang berorientasi infotainment dalam menampilkan sosok Uje.  Yang walaupun kenyataannya dalam tinjauan industri media, stasiun TV mem-blow up berita seputar Uje hampir dua pekan lamanya untuk meningkatkan rating stasiun TV atau program tertentu.  Media termasuk TV dengan kesadaran jurnalistiknya, sadar betul bahwa pasca kematian Uje berita tentang Uje akan menjadi pilihan favorit penonton.  Makanya tak heran, hampir 24 jam berita tentang Uje menghiasi hampir seluruh stasiun TV.

Semua stasiun TV berupaya untuk menampilkan berita live tentang Uje karena psikologi para penontonpun seolah ingin menjadi orang pertama yang mendapatkan berita terbaru tentang Uje.  Maka tentunya, penonton akan mencari stasiun TV yang memberitakannya secara live.  Mulai dari sejak bergulirnya informasi kematian Uje, saat jenazah dishalatkan, lalu di hantar ke pemakaman sampai suasana rumah duka dan keluarga semua ditayangkan oleh media TV secara Live.  Pemilihan narasumber juga menjadi strategi stasiun TV dalam menarik perhatian penonton. Maka dicarilah kerabat, sahabat dan orang terdekat Uje untuk diwawancarai.  Pihak kepolisian menjadi “seksi” untuk menjadi incaran media karena memiliki kapasitas dalam menjelaskan kronologis kecelakaan yang merenggut nyawa Uje.

Sadar atau tidak sadar cara pemberitaan media atas Uje tidak hanya berdampak terhadap pencitraan masyarakat atas Jefri Albuchori. Tetapi bedampak terhadap pencitraan atas tokoh agama atau juru dakwah Islam yang biasa kita sebut “Ustazd”.  Hal ini dikarenakan sosok Jefri sudah tidak dapat terpisahkan dengan konteks makna kata “Ustazd”.  Implikasi makna ini juga dapat terdeterminasi bagi siapa saja yang oleh masyarakt dipanggil sebagai Ustazd.  Akibat pemberitaan tersebut makna “Ustazd” kemudian bergeser ke cara pandang baru.  Buktinya, Jefri Albuchori tak hanya dilabeli Ustazd namun mengikut kata “Gaul” setelah kata “Ustazd”.  Kata “Ustazd” dan kata “Gaul” memiliki konteks makna yang berbeda secara sosiologis.  Tentu saja, ini berimplikasi besar bagaimana metodologi dalam berdakwah.

Lihat saja, berita yang berkaitan kecelakaan dan kematian Uje serta terlebih contentnya Uje in memoriem dikemas dengan berbeda oleh stasiun TV.  Stasiun TV yang berorientasi berita mengemasnya dalam acara dialog dengan menghadirkan narasumber orang terdekat Uje ataupun rekaman ceramahnya dan juga bagaimana napak tilas Uje dalam berdakwah.  Kemasan berita seperti ini  menempatkan konteks makna Ustazd secara lebih positif.

Tetapi ada pula stasiun TV mengemasnya dalam bentuk program infotainment.  Kita bisa membayangkan bagaimana suasana psikologi penonton infotainment disaat berita Uje diapit oleh berita perceraian para artis, kehidupan glamour para artis,hedon yang hampir tak ada keteladanan didalamnya dalam satu episode tayang program infotainment. Dalam pola ini berkali-kali terjadi hampir dua pekan lamanya.  Hal ini menyebabkan makna kata “Artis” dengan kata “Ustazd” asosiasi maknanya menjadi sepadan secara sosilogis.  Yang terjadi adalah dekonstruksi makna “Ustazd” yang melekat didalamnya misi dakwah akidah, akhlak dan keteladanan.

Sayangnya, tidak semua media TV memiliki frame berfikir seperti ini dalam menyajikan program TV.  Yang ada hanyalah, stasiun TV hanya berlomba menjadi stasiun terfavorit dimata pemirsa yang ujung-ujungnya adalah akumilasi kapital.

Saya teringat, pada bulan Ramadhan beberapa waktu yang lalu saat Metro TV menyiarkan secara Live selama bulan Ramadhan figur Quraish Shihab dalam memaparkan Tafsir Al-Misbah-nya.  Pada suatu episode, salah seorang pemirsa di studio hendak bertanya kepada Quraish Shihab seputar tafsir ayat Al-Quran.  Quraish Shihab langsung menyela pembicaraan Si Penanya  tersebut saat ia menyapa Quraish Shihab dengan panggilan Ustazd.

“cukup sapa saya dengan sebutan Bapak.  Saya belum mampu dan tidak layak disapa dengan Ustazd..” demikian kurang lebih ungkap Pak Quraish.

Saya tercengang mendengar ucapan Pak Quraish.  Siapa yang tak mengenal Pak Quraish yang diakuai sebagai ulama Indonesia yang mahfum.  Memiliki kedalaman dan keluasan pengetahuan seputar Islam dan Al-Qur’an namun masih merasa belum pantas dan tidak layak untuk disapa sebagai Ustazd.  Saat itu, saya menangkap kesan dari Pak Quraish ada makna yang dalam dari kata Ustazd itu.  Ada misi, tanggung jawab, keteladanan dan kemuliaan akhlak yang melekat pada seorang yang disapa Ustazd.

Akhirnya, pada konteks Jefri Albuchori, saya tidak hendak menempatkan sakralitas makna Ustazd dalam eksklusifisme sempit seperti halnya para pendeta pada masa sebelum Renaisance di Eropa.  Seorang Ustazd memang selayaknya membumi dalam mengemban misi dakwahnya, tak hanya berbicara atas nama kitab suci.  Namun apa jadinya bangsa ini ketika makna “Ustazd” sudah sepadankan dengan “Artis” yang harus di-blow up di Infotainment kehidupan pribadinya seperti halnya para artis yang gemar kawin-cerai, hidup dalam dunia yang glamour, hura-hura dengan kemewahan dan hedonisme.

Siapa lagi yang bisa kita harapkan sebagai penjaga moral bangsa ini ketika meraka yang diklaim sebagai publik figur nyaman berkubang dalam kemaksiatan.  Saya hanya bisa berharap kepada mereka para Ustazd, Pendeta dan para biksu yang tak hanya bicara namun menunjukkan ke-istiqomah-an dan kebersahajaan di jalan Tuhan yang telah lama dirintis oleh para Nabi.


Darmaga IPB, 6 Mei 2013, Pukul 23.00.

07 Mei, 2013

Pelacur dan Koruptor



Menurut anda mana yang lebih suci, Pelacur atau koruptor?? Suci dalam artian apa, dari dosa..?? Akh jangankan pelacur dan koruptor, Nabi saja punya dosa.  Maksud saya, soal kesucian dan dosa lebih bersifat transenden, biarlah itu menjadi prerogatif Tuhan untuk memastikan kadarnya.  Karena hanya yang suci yang bisa memastikan kadar kesucian sebenarnya.

Atau mungkin kita bisa mengajukan dengan konteks pertanyaan yang lain.  Mana yang lebih bertanggung jawab dan terhormat, pelacur atau koruptor. Bertanggung jawab dan terhormat dalam hal apa? Tentu saja dalam hal menjalankan amanah atas tugas profesi yang diembannya.  Selain itu, keikhlasan untuk mengakui atas apa yang telah diperbuatnya atas profesi itu. Pertanyaan kedua ini lebih realistis untuk kita jawab karena fenomenanya lebih mudah diukur dan diamati dalam lingkungan sosial kita.

Pelacur dan koruptor adalah dua fenomena yang sama-sama lahir dari penyimpangan atas kebudayaan.  Koruptor lahir karena kecendrungan penyimpangan atas kekuasaan dan wewenang (abuse of power) yang dimiliki sedangkan pelacur(an) ada bisa jadi karena ketimpangan ekonomi seperti kemiskinan dan tidaknya lapangan kerja.  Jadi lebih disebabkan oleh sistem yang timpang.

Pelacur dan koruptor adalah subjek yang sama-sama tidak mau dilekatkan kata pelacur atau koruptor pada dirinya.  Tidak ada koruptor yang mau dikatakan koruptor kendati bukti hukum telah membawanya ke muka pengadilan dan duduk di kursi pesakitan sebagai tersangka korupsi.  Bahkan koruptor akan melakukan manipulasi hukum untuk bebas dari tuntutan hukum. Demikian pula pelacur, tak ada pelacur yang mau dikatakan pelacur namun mereka cenderung untuk bercerita jujur bahwa karena keterpaksaan dan ketidakberdayaan hingga menjadi seorang pelacur.

Kalau kita menonton berita di TV menggerebekan lokalisasi dan penangkapan seorang koruptor kita akan mendapatkan kesan yang berbeda.  Para pelacur akan cederung menutup wajah  mereka saat digelandang masuk dalam dalam mobil patorli oleh aparat.  Tapi bandingkan saat koruptor dieksekusi oleh petugas.  Si Koruptor akan menunjukkan wajah yang ceria dan senyuman manis dengan gaya yang petantang-petenteng.  Pelacur jauh lebih memiliki rasa malu ketimbang koruptor.


Pengalaman Seorang Teman

Tak ada pelacur yang makan gaji buta, sedangkan koruptor bukan hanya gaji buta, uang rakyat pun disikat habis.  Untuk point ini saya hendak menceritakan pengalaman seorang kawan di Makassar.  Kawan saya itu kuliah di salah satu kampus swasta di Makassar jurusan komunikasi.  Suatu saat ia mengambil mata kuliah mirip-mirip investigasi jurnalistik.  Perkualiahan mata kuliah ini agak aneh.  Suatu saat, mereka kuliahnya jam 12 malam dan bertemu dengan sang dosen di lapangan Kerebosi Makassar.

Sang dosen lalu membagi mahasiswa dalam beberapa kelompok dan setiap kelompok terdiri dari dua mahasiswa.  Kelompok-kelompok tadi oleh sang dosen disebar ke titik lokalisasi berbeda di Makassar.  Setiap kelompok ditugasi untuk melakukan wawancara kepada pelacur mengenai aktivitasnya sebagai pelacur dan mengapa mereka bisa terjebak dalam lubang hitam tersebut.

Teman saya tadi bersama seorang teman kelompoknya, mendapat tugas di titik Jalan Sungai Saddang Lama.  Rupa-rupanya, para abang becak yang mangkal disepanjang jalan itu adalah mucikari untuk dicomblangkan dengan si Kupu-Kupu Malam.  Transaksi sepenuhnya dipercayakan kepada Si Abang Becak.  Harga yang disepakati sudah termasuk jasa Si Abang Becak mengantarkan pelanggan, sewa tempat dan tentu saja biaya “daging” yang direntalkan.

Singkat cerita, tibalah kawan saya itu bersama temannya dalam sebuah bilik yang cukup sempit yang memang hanya untuk melakukan adegan “syur” itu.  Rupa-rupanya, bilik itu hanya untuk layanan “short time”.  Si Kupu-Kupu Malam tanpa diperintah menanggalkan pakaiannya satu persatu.  Kawan saya itu sempat terdiam agak lama melihat hal itu dengan mata terbelalak sambil menelan air liurnya.  Lalu berupaya untuk sadar dan berkata:

“maaf Mbak, maksud kedatangan kami bukan untuk main” kata teman saya

“lantas, maksud kedatangan kalian untuk apa?” tanya si Cewek agak heran

“kami ini mahasiswa yang sedang ditugaskan oleh dosen untuk melakukan wawancara” lanjut teman saya untuk menjelaskan.

Akhirnya, pakaian yang sudah ditanggalkan dikenakan kembali.  Tidak terasa wawancara sudah berjalan kurang lebih 2 jam. Informasi telah terkumpul.  Teman saya merogok beberapa ratus ribu dari kantungnya untung membayarkan tarif sesuai dengan “time” yang digunakan.  Uang itu lalu diserahkan pada si Cewek. Begitu teman saya hendak bergegas pergi, Si Cewek berkata:

“Maaf, saya merasa kurang enak menerima uang ini tanpa menjalankan kewajiban saya untuk memberikan pelayanan”

Teman saya hanya terdiam mendengar ucapan si Cewek PSK sambil saling bertatap dengan teman yang ada disampingnya.  Tiba-tiba secara serentak dada mereka berdetak kencang mendengar ucapan si Cewek PSK.  Dalam dada mereka lalu mulai bekecamuk antara godaan hasrat dan peringatan iman.

“Tapi kami tidak datang untuk main mbak” teman saya berupaya menimpali dan benarkan oleh anggukan temannya.

“Lantas, gimana dong uang ini.  Saya merasa tidak berhak menerimanya sebelum menjalankan kewajibanku” Kata si Cewek PSK

Mereka terdiam sejenak.  Tiba-tiba teman saya memberikan usulan “gimana Mbak kalau kami pegang-pagang saja”.  Si Cewek PSK akhirnya mengamini.

Kisah teman diatas terkesan lucu, tapi saya menganggapnya si Pelacur sangat profesional sebagai seorang pelacur.  Ia berusaha bertanggung jawab dan amanah dalam menjalankan tugasnya dan tak akan menerima upah sebelum melaksanakan kewajiban.  Ia merasa makan “gaji buta dan tidak halal” baginya untuk menerima tarif tanpa melakukan pelayanan.

Lalu bagaimana dengan dengan koruptor..?

Bangsa ini hancur karena koruptor.  Kita bisa mengatakan bangsa ini terpuruk dalam kemiskinan dan kebodohan karena koruptor.  Betapa tidak, mereka melibas uang rakyat tak tanggung-tanggung hingga triliyunan rupiah. Tindakan korup ini menyebabkan pembangunan tak berjalan semestinya, uang pendidikan dan kesehatan serta bantuan sosial buat rakyat dirampas secara sistemik.  Kita bisa mengatakan, sebagai efek domino pelacur ada karena adanya korupsi.

Koruptor ketika ditangkap akan cenderung memanipulasi proses hukum untuk menghindari jeratan hukum.  Menggunakan uang hasil korupsi untuk menyuap para penegak hukum.  Maka makin hancur dan terpuruklah bangsa ini.  Secara sistemik, kita rakyat jelata juga harus menanggung akibat dari perbuatan bejat koruptor.

Kalupun kita hendak sedikit berfikir nakal, Pelacur mendapatkan duit dengan memberi kesenangan kepada orang lain, tetapi Koruptor mengumpulkan pundi-pundi hartanya dengan menyengsarakan banyak orang.

So, saya berani berkata dengan tegas bahwa Pelacur masih jauh lebih terhormat dari seorang Koruptor.!!!


Darmaga IPB, 5 Mei 2013 pukul 1:42 dini hari.

05 Mei, 2013

PEREMPUAN ½ ORIENTAL







“kejarlah ilmu sampai ke negeri Cina..”.  ungkapan yang sangat populis di kalangan orang muslim.  Bahkan saya pernah mendengar dari seorang ustadz bahwa ungkapan itu yang pertama mempopulerkannya adalah Rasulullah SAW yang kemudian banyak dikutip oleh pengikut Beliau dan para juru dakwah ketika mereka lagi seriusnya membahas tentang ilmu pengetahuan.   Jika seperti itu faktanya, ada hal yang agak megelitik benak saya, mengapa  negeri Cina yang harus disebut-sebut.  Bukan negeri Persia yang sudah memiliki peradaban yang sangat besar. 

Mengapa pula bukan negeri Yunani yang disebut-sebut yang dari dulu dikenal sebagai negeri pengetahuan, negeri yang banyak melahirkan banyak filsof dan nabi-nabi sosial, bahkan orang Yunani yang menemukan konsep pendidikan modern pertama.  Kata “sekolah” (school) berasal dari bahasa yunani “skolae” yang berarti waktu senggang, sebuah tradisi belajar bersama.  Orang Yunani pula yang pertama mendirikan institusi pendidikan, ya…Plato filsuf Yunani ituyang mendirikan Taman Akademos yang sekarang orang yang menggeluti ilmu pengetahuan disebut akademisi.  Atau mengapa bukan Romawi, negeri yang terkenal hebat dengan bala tentaranya seperti yang diceritakan dalam film Spartacus dan film-film lain.  Ada apa dengan negeri Cina…?

Lagaknya, ada hal khusus terhadap negeri Cina dan orang-orang Cina.  Faktanya,  disetiap negeri dibelahan bumi ini ada orang Cinanya.  Bahkan, hampir semua flim yang pernah ku tonton ada pemeran utama ataupun sekedar tokoh figuran yang berasal dari negeri Cina.  Seolah-olah orang Cina itu membatu kita menjawab ungkapan diatas.  Seolah-olah mereka hendak berkata :

“…tak perlulah engkau repot-repot mengocek isi kantungmu mendatangi negeri Cina, biarlah kami yang akan mendatangi negerimu.  Tunggu saja di rumahmu, kami akan datang mengetuk pintu-pintu rumahmu..”

Bagi orang-orang muslim, khususnya di Indonesia, Cina punya sejarah tersendiri.  Dalam penelusuran sejarah ada  4 versi masuknya Islam di Indonesia yakni pertama; dibawa oleh pedagang India dari Gujarat, kedua; dibawa oleh orang Persia, ketiga; dibawa oleh orang arab sendiri dan keempat; dibawa oleh orang-orang Cina yakni ketika 320 armada  laut China yang dipimpin Laksamana Cheng Ho (Ma He) bersama nakhkodanya Wang Ching Hong memasuki perairan nusantara.  

Laksamana Cheng Ho (Ma He) berhasil meng-Islamkan Raja Parameswara dari Melaka yang merupakan raja Melaka pertama yang memeluk agama Islam.  Sejak itu Parameswara mengganti namanya menjadi Sultan Iskandar Syah dan mengubah Melaka dari kerajaan Hindu menjadi kesultanan Islam. Sementara Wang Ching Hong dimakamkan di Semarang dikenal dengan sebutan Panembahan Dompu Awang atau Kiyai Juru Mudi setelah memutuskan pensiun dari pelayaran dan tinggal di Semarang bergabung dengan Sunan Bonang menyebarkan Islam di Jawa Tengah.  Di tempat pemakamannya kemudian berdiri Kelenteng  Sam Po Kong di kota Semarang. Wang Ching Hong terkenal  hafal Qur’an dan pandai berbahasa Arab dan Persia.


Saya kadang-kadang  terfikir untuk memplesetkan ungkapan terkenal itu dengan mengganti kata  “ilmu” dengan kata-kata yang lain.  Maaf saja ya..ini bukan untuk melecehkan Rasulullah SAW tapi membantu kita untuk mengungkap rahasia Cina dibalik kata-kata Rasulullah yang terkenal itu.  Kita mulai ya…!

“..kejarlah ekonomi sampai ke negeri Cina..”  Hmm..nampaknya saat ini Negara-negara di belahan Eropah dan AS tidak memandang Cina dengan sebelah mata namun sebagai negara dengan ekonomi yang kuat.  Hari ini Cina telah menjadi tidak hanya macan Asia tapi aumannya cukup berpengaruh di dunia.  Bersama Jepang memonopoli produk elektronik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

“…Kejarlah politik sampai ke negeri Cina..” . Teman-teman saya cenderung negative dengan karakter Cina.  Mereka mengasosiasikan kata “Cina” dalam politik praktis sebagai karakter yang licik, licin dan lihai dalam bermain.  kurang ajar, na cinai k..” istilah teman-teman di Makassar yang biasa kudengar.

“…kejarlah obat sampai ke negeri Cina..” . Wah,  saya jadi teringat dengan Film laga Cina  berjudul Once Upon a Last time In China dengan 3 serial berlanjut yang diperankan oleh Jet Li.  Jet Li sebagai tokoh utama yang berperan sebagai tokoh legendaries Cina yang pernah ada yakni Wong Fei Hung bukan saja mengusai bela diri Kung Fu dengan Tendangan Seribu Tanpa Bayangan sebagai jurus pamungkasnya tetapi juga mengusai ilmu kedokteran dan obat-obat tradisional Cina.  Pernah ketika saya menonton salah satu film serialnya ada adegan dimana para dokter seluruh dunia berkesempatan membuat semacam seminar di Cina dan seluruh peserta mempresentasikan pengetahuan medisnya.  Saat itu Wong Fei Hung berkesempatan mempresentasikan kapasitasnya.  Ia mempresentasikan pengobatan ala Cina, Akupuntur.  

Akupuntur adalah tekhnik pengobataan Cina dengan melakukan totok pada saraf dengan menggunakan jarum yang  telah disterilkan pada suhu tertentu.  Ia menampilkan serangkaian gambar organ tubuh manusia lengkap dengan susunan sarafnya.  Menurut Fei Hung, penyakit manusia diakibatkan oleh penyumbatan saraf dan dapat disembuhkan dengan melakukan tindakan pada saraf tersebut.  Ia juga memperkenalkan bahwa akupuntur dapat digunakan untuk operasi bedah tanpa menggunakan bahan anesthesia kimia.  Karena kendala bahasa, para peserta yang hadir dari belahan dunia tidak memahami apa yang disampaikan oleh Wong Fei Hung.  Disitulah Fei Hung berkenalan dengan Dr. Sun Yat Sen yang juga hadir dalam seminar itu.  

Tiba-tiba saja Yat Sen tampil menawarkan diri menjadi spokesman  Fei Hung. Fei Hung menerima kehormatan itu dengan senang hati.  Sementara Wong fei Hung mempresentasikan Akupuntur Tiba-tiba ada serangan dari pihak pemberontak dan melukai salah satu peserta yang hadir.  Nah, saat itulah Wong Fei Hung ahli pengobatan tradisional cina berkolaborasi dengan Dr. Sun Yat Sen dokter bedah jebolan Eropa.  Sun Yat Sen melakukan operasi bedah dengan menggunakan anesthesia akupuntur Wong Fei Hung.  

Saya melihat pesan dari adegan itu sebagai interaksi kebudayaan barat yang sarat modernisasi dengan kebudayaan cina yang sarat dengan kearifan lokal.
Ada teman yang pernah bilang ke saya “ kalau kamu sakit keras minum saja obat Cina, dijamin pasti yahut sekali minum langsung sembuh..”

Dari tadi saya terlalu bertele-tele membangun arguman.  Saya ingin memberikan ungkapan :

“..Kejarlah Perempuan sampai ke negeri Cina..”  Syukurlah saya tidak perlu lagi ke negeri cina.  Orang-orang cina telah mengetuk pinta rumahku bahkan perempuan Cina itu telah mengetuk pintu hatiku.
Ya perempuan itu keturunan Tiong Hoa, bangsa yang berkulit kuning dan bermata sipit. Lebih tepatnya sebenarnya ia adalah blesteran, campuran antara Buton dengan Tiong Hoa.  Bapaknya adalah Tiong Hoa dan Ibunya berdarah Buton.  Ia adalah perempuan ½ oriental.  Ia biasa di sapa Wa Mei-Mei.

Saya mengenanlnya belum saja terlalu lama itupun karena setengah di desak oleh seorang sahabat yang telah menetap di Buton yang lebih dahulu mengenalnya.  Kesan pertama pun tak terlalu istimewa, hanya via short Message Service (SMS) bahkan agak sedikit menjengkelkan.  Entah mengapa hati ini kemudian terdorong untuk mengenalnya lebih jauh. 

Secara fisik memang ras Tiong Hoa nya sangat nampak.  kulitnya kuning, rambutnya lurus hanya saja metanya telah bercampur dengan mata orang Buton sehingga tak sipit lagi.  Perempuan itu  pernah bercerita padaku, dulu ketika masih SMU ia biasa kesal karena ketika mata pelajaran agama Islam namanya tak kunjung dipanggil oleh guru. Dengan setengah protes dan kesal perempuan itu naik ke depan kelas dan berbicara pada guru itu

Pak Guru kenapa nama saya tidak dipanggil saya kan beragama Islam juga.”

Melihat kejadian itu teman sekelasnya dengan setengah berbisik berkata “Mei-Mei, aku kira kamu Kristen.  Pantas saja begitu mata mata pelajaran ini masuk kamu tidak keluar dari kelas”

huh..enak saja”.  Ia menimpali dalam hati

Bahkan yang lebih menghebohkan lagi –masih cerita Mei-Mei padaku-  ibunya datang mencak-mencak di SMU itu sewaktu Mei-Mei dinyatakan lulus dari SMU.  Mengapa tidak, dalam Surat Keterangan Kelakuan baik (SKKB) yang dikeluarkan oleh pihak sekolah menerangkan bahwa Mei-Mei beragama Kristen sementara Surat itu dibutuhkan Mei-Mei untuk melanjutkan studi dan dua hari lagi harus bertolak ke Jakarta.

Tanpa hendak mengeneralisir , seperti  itulah watak orang Indonesia dalam menilai sesuatu.  Penilaian selalu saja didasarkan hal yang tampak saja yang sifatnya permukaan.  Ditambah lagi orang Indonesia cenderung emosional ketika penilaiannya dibenturkan dengan penilaian orang lain.  Jadi jangan heran perkelahian massal dan konflik sosial biasanya hanya dipicu oleh hal-hal sepele.  Harusnya ada pihak yang bertanggung jawab untuk meng up-grade kapasitas dan pengetahuan masyarakat agar lebih dewasa dalam menyikapi persoalan.  Ya siapa lagi kalau bukan pemerintah.  Nyatanya..??

Saat ini Mei-Mei telah kuliah di salah satu universitas swasta Jakarta yang bercorak Islam dengan konsentrasi keilmuannya lebih spesifik mengkaji tentang Bank syariah.   Bahkan saat ini ia telah masuk dalam komunitas akhwat yang gandrung memakai jilbab menjulur sampai dibawah dada.  Untunglah ia masih mau bergaul denganku berbeda dengan akhwat-akhwat yang umumnya saya dapati.  Terus terang saja saya tidak terlalu sependapat dengan gaya beragama yang orang bilang fundamentalis.  Saya selalu berusaha bersikap transformatif terhadap dogma agama dengan tetap mempertahankan nilai-nilai di dalamnya.  

Sederhana kok saya dalam memetakan fenomena berIslam.  Indonesia itu bukan arab, arab itu  bukan Indonesia dan tak selamanya yang berbau arab adalah Islami.  Artinya akan berbeda secara kultural antara umat Islam di arab dengan umat Islam di Indonesia.  Yang jadi masalah, kita terkadang sulit bahkan tidak bisa membedakan antara kebudayaan Arab dengan nilai-nilai Islam yang teraktual dalam symbol  tertentu.  Sebagaimana di Indonesia, awal mula hadirnya Islam di Arab juga terjadi pertautan antara budaya Arab dengan Islam itu sendiri.  Jadi, pandai-pandailah memilah mana budaya Arab dan mana murni wujud Islam.

Terkadang pula kita terjebak dalam ruang simbol dan melupakan maknanya.  Atau yang paling sering terjadi berpegang teguh secara  taklid pada mazhab fiqih tertentu lalu mengkafirkan kelompok lain diluar mazhab fikihnya.  Bagi saya dahulukan akhlak ketimbang fiqh.  Bukankah fiqih adalah tafsir atas tafsir dari teks normatif.  Bukankah Rasulullah ditugaskan untuk meluruskan akidah (tauhid) dan akhlak bukan untuk meluruskan fiqih.  Maaf, saya bukanlah seorang a’lam terhadap Islam namun hanya seorang Islam biasa yang mencoba mempertautkan antara fakta dan ajaran.  Mungkin secara sosiologis sejalan dengan apa yang pernah diunggap Gus Dur bahwa “lebih baik minyak onta cap babi dari pada minyak babi cap onta”

Lantas gimana kelanjutan kisah perempuan Cina itu.  Ah ,sudahlah itu masa lalu.  Seberapapun berkuasanya wacana Cina dipentas realitas, faktanya adalah Cina tak berkuasa atas cintaku. Hatiku berhasil ditaklukkan dan dimenangkan oleh seorang perempuan luar biasa yang sama sekali tak berhubungan darah dengan Cina.  Ibunya Bugis-Makkassar dan ayahnya Jawa Solo dan dia sendiri lahir di Buton.   Namanya adalah Fira, perempuan yang oleh anak-anakku memanggilnya Ibu karena dari rahim sucinya melahirkan mereka.

Sekarang hasil ikatan suci kami melahirkan seorang putri cantik.  Buah hati, belahan jantung dan penyejuk pandangan mata kami, Qurrota ‘A’yun.  Namanya adalah Amirah.  Akh, nampaknya kisah selanjutnya sebaiknya dituliskan di judul lain yang tak berhubungan dengan Cina.  Hehehehe…,

Ditulis di Makassar,Jum’at 16 Januari 2009. Jam 10:28 WITA  s/d di Bogor ,Sabtu 4 Mei 2013 Jam 22.37 WIB.