Entri Populer

Pages

30 Mei, 2013

INDONESIA; Akumulasi Sejarah Yang Samar




Anda pernah menonton film Balibo?  Ya betul, film yang membuat pemerintah Indonesia begitu geram karena dianggap membeberkan cerita yang salah tentang perang di Timor Timur pada tahun 1975.   Film ini kemudian dicekal oleh pemerintah dan dinyatakan tak layak tonton.  Apa lagi memang diketahui film ini disponsori oleh Australia yang katanya juga “berkonspirasi” dan turut andil dalam hasil refendum sehingga Timor Timur lepas dari NKRI pada tahun 1999 saat masa pemerintahan transisi BJ. Habibie pasca lengsernya Soeharto.  Saya bisa mengatakan bahwa film ini secara langsung ikut membenarkan bahwa Timor Timur memang harus “merdeka” dan lepas dari Indonesia.

Malam ini saya baru saja selesai menonton film Balibo.  Film itu saya dapatkan dari seorang teman kuliah pasca di PSL IPB-sebut saja namanya Riza (bukan nama samaran)- seusai acara nonton bareng final liga Champion 2013 di rumahnya.  Hasilnya, Muenchen berhasil mengalahkan Dormunt 2-1 setelah kemenangannya ditentukan oleh gol Robben di masa injury time.  Setelah menonton film itu, justru saya semakin samar atas sejarah, bukan hanya sejarah Timor Timur tetapi sejarah bangsa ini secara utuh.  Mungkin karena memang saya bukanlah sejarawan atau orang yang sekolah di jurusan sejarah.

Terlepas dari pro-kontra Timor Timur, saya tidak hendak berpretensi ingin menjustifikasi mana yang benar atas tafsiran sejarah Timor Timur yang pro-kontra itu.  Saya hanya sekedar menuangkan rasa gelisah saya atas bangsa ini, rasa gelisah akan makna sebuah nasionalisme.  Mungkin baiknya kita memulainya dengan isi cerita film Balibo itu.  Secara singkat, saya akan mencoba untuk menuturkannya.

Balibo adalah film buatan Australia pada tahun 2009 yang disutradarai oleh Robert Connolly.  Kisah ini diangkat berdasarkan buku Cover-Up karya Jill Jollife. Sebagai pintu masuk, film itu hendak menceritakan kisah tentang enam orang jurnalist Australia yang dibunuh (mungkin tepatnya dibantai) di Timor Timur (sekarang Timor Leste).  Lima orang diantaranya (Greg Shackleton , Gary Cunningham, Malcolm Rennie, Brian Peters dan Tony Stewart) dibunuh oleh sekelompok orang, yang dari film itu kita dapat menilainya adalah kelompok tentara walaupun mengenakan pakaian biasa.  Lima orang Jurnalist itu tewas disebuah daerah di Timor Timur yang disebut Balibo.  Hasil rekaman yang berhasil mereka liput yang berisi tentang penderitaan warga Timor Timur di desa-desa dan beberapa konflik bersenjata, habis dibakar oleh kelompok bersenjata itu diatas tumpukan mayat para jurnalist itu. 

Salah satu jurnalis berhasil keluar dari Balibo namun beberapa hari kemudian mati ditembak setelah diseret keluar dari hotel di Dili tempat ia ingin menyelesaikan tulisan-tulisannya. Ia ditembak oleh seorang berseragam TNI pada saat pendudukan Timor Timur oleh TNI pada Desember 1975 saat dimulainya operasi Seroja di Timor Timur. Jurnalist itu bernama Roger East dan dari sudut pandang East inilah film Balibo dikisahkan.

Film Balibo berlatar perang di Timor Timur.  Perang itu dipicu oleh Fretilin yang hendak menjadikan Timor Timur sebagai negara komunis.  Pasukan Fretilin tidak hanya berperang melawan TNI namun juga warga Timor Timur yang pro integrasi Indonesia dan tidak menginginkan Timor Timur menjadi komunis.  Para jurnalist Australia itu hadir di Timor Timur ingin meliput gejolak itu dan hendak mengisahkannya pada dunia.

Diawal film, Jose Ramos Horta pimpinan gerakan revolusioner kemerdekaan Timor Timur yang sekarang menjadi Presiden Timor Leste yang ke-2 mendatangi Roger East ke Australia.  Horta menemui Roger East untuk memintanya ke Timor Timur guna meliput bagaimana perjuangan mereka di sana sekaligus menemui lima orang jurnalis Australia yang telah lebih dahulu meliput gejolak di Timor Timur. 

Para jurnalist itu berhasil meliput bagaimana kegiatan dan kontak senjata pasukan Fretelin dan TNI.  Mereka menyusuri hutan untuk menjangkau desa-desa di Timor Timur. Menurut film itu, kelima jurnalist itu tewas ditembaki dari dekat oleh pasukan TNI yang melakukan penyerbuan kesebuah desa yang diduga sebagai posko pasukan Fretelin.  Beberapa ratus meter sebelum masuk desa, pasukan TNI itu mengganti seragam mereka dengan baju biasa sebagai bentuk penyamaran.  Adegan itu berhasil direkam oleh kamera para jurnalist.  Singkatnya, kelimanya berhasil ditangkap lalu dibunuh, sedangkan semua hasil liputan dimusnahkan.  Sampai sekarang siapa yang mengeksekusi kelima jurnalist masih samar dan pro kontra.

Adegan lima orang jurnalist Australia saat dikejar oleh TNI di Balibo

Diakhir film, sosok Ramos Horta hadir ditengah masyarakat Timor Timur.  Ia disambut sebagai pahlawan pembebasan rakyat Timor Timur setelah menghabiskan waktu ke luar negeri dan berjuang secara diplomatik melalui PBB untuk memperjuangkan pembebasan rakyat Timor Timur.  Ia disambut laksana Sang Mesias yang membawa harapan masa depan dan pembebasan.  Akhirnyanya tahun 1999 Timor Timur lepas dari Indonesia setelah 23 tahun merupakan bagian dari NKRI melalui referendum.  Maka, dimulailah sejarah Timor Leste.

Refleksi Sejarah Yang Samar
Sekali lagi saya bukanlah seorang sejarawan dan tidak hendak melakukan justifikasi atas tafsiran atas sejarah Timor Timur.  Saya hanya hendak menuangkan kegelisahan tentang negara ini, kegelisahan tentang makna nasionalisme, makna tentang berbangsa dan bernegara.  Entah mengapa setiap insiden di negara ini ada saja tentara dibelakang insiden itu.  Tentara selalu saja memainkan peranan penting dan menjadi pemenang diatas pentas sejarah negeri ini. Mungkin memang itu tuntutan sebuah negara bahwa tentara harus menang karena mereka adalah alat dan simbol serta bukti kedigdayaan negara.  Tentara harus menang pada setiap arena konflik terhadap pihak yang -katanya- mencoba merongrong kedaulatan dan nasionalisme.  Tapi betulkah tentara itu berjuang untuk negara, lantas apa sebetulnya tujuan kita bernegara toh banyak kita melihat moncong senjata justru diarahkan ke wajah rakyatnya sendiri.

konflik berdarah tak hanya terjadi di Timor Timur. Di berbagai daerah di Indonesia juga terjadi konflik berdarah. Tentarapun yang menjadi pemeran utama dan harus menjadi pemenang.  Sebut saja tragedi tahun 1969 di tanah kelahiran saya Buton dimana banyak putra daerah ditangkap, disiksa dan dibunuh karena dianggap sebagai PKI.  Bahkan Bupati Buton,Drs. Muh.  Kasim mati dalam jeruji penjara Kodim setelah tubuhnya babak belur penuh lebam karena disiksa.  Buton dianggapa sebagai basis PKI yang saat itu katanya PKI dianggap membahayakan ideologi negara. Walaupun belakangan terbukti ternyata Buton bukan basis PKI seperti yang digembar-gemborkan itu.

Tragedi itu menjadi memori kolektif bagi setiap orang Buton.  Memori itu kemudian menjadi luka kolektif dan menjadi radang pada generasi selanjutnya.  Karena stigma tersebut tak hanya mengambil nyawa orang Buton namun banyak orang Buton yang “malu” mengaku sebagai orang Buton dan terpaksa harus meninggalkan tanah Buton dengan harapan didaerah baru terlepas dari stigma itu dan bisa memulai hidup baru.  Lagi-lagi, pemeran utama tragedi itu adalah tentara.  Mereka mengambil nyawa anak negeri atas nama tugas negara.

Masih banyak tragedi lain yang bisa kita sebutkan.  Kasus Tanjung Priok, kasus PETRUS (Penembak Misterius), kasus orang hilang tahun 1998, konflik Aceh dan Papua.  Semua kasus itu berakhir misterius dalam sejarah yang samar, bahkan  sekarang bahkan masih ada yang tengah berlangsung. 

Apakah kasus-kasus itu terselesaikan dan ada pengadilan yang adil? Tidak.,tidak ada sama sekali.  Negara ini terbiasa menutupi sebuah kasus dengan kasus lain dan itu dianggap selesai.  Lantas dimana tanggung jawab negara atas hal itu. Dimana tanggung jawab negara atas perasaan orang-orang Buton yang telah difitnah selama puluhan tahun, dimana tanggung jawab negara atas kesedihan para keluarga korban dari berbagai tragedi yang terjadi.  Dimana tanggung jawab negara terhadap hilangnya kenyamanan warga daerah konflik di Aceh dan Papua.  Apa sebenarnya tujuan kita bernegara..??


Benedict Anderson
Benedict Anderson pernah menjelaskan tentang Imagined Communites (komunitas-komunitas terbayang).  Anderson mencoba menjelaskan nasionalisme dengan menggunakan pendekatan kultural antropologis.  Dari sini Anderson kemudian membedakan definisi bangsa (nation) dengan negara (state) dimana yang pertama adalah definisinya dibangun atas tinjauan kultural antropologi sedang yang kedua adalah terminologi ekonomi politik.  Secara sederhana saya bisa mengatakan bahwa menggunakan pandangan Anderson, sebuah bangsa lahir karena adanya gagasan yang sama dan mimpi yang sama tentang masa depan yang baik. Gagasan dan mimpi tentang masa depan ini terbayang-bayangkan (imagined) secara kolektif hingga membentuk satu kesatuan orang-orang (community).  Norma, tradisi atau apapun namanya digunakan untuk mencapai impian bersama itu.

Pertanyaannya, apakah mimpi bersama dari warga negara Indonesia…? Soekarno bersama para pendiri bangsa ini berhasil membangun bayangan dan mimpi masa depan bersama untuk mendirikan negara ini.  Mereka mampu menginternalisasikan kepada rakyat yang tersebar di Nusantara bahwa adanya penderitaan yang sama karena penjajahan dan secara bersama memimpikan adanya kemerdekaan.

Bila hendak pula kita bertanya, bagaimana mimpi-mimpi itu pasca kemerdekaan.  Pada masa orde baru, rezim Soeharto memberangus habis mimpi-mimpi itu dengan otoritarianisme dan militerisme.  Setiap persoalan di daerah diselesaikan dengan menggerakkan tentara.  Pada masa orde baru, militer hadir menjadi suatu bayang-bayang (imamagination) baru.  Konflik “disamarkan” dengan konflik yang baru dan dianggap konflik sebelumnya selesai.  Sejarah negeri ini berjalan dalam lintasan yang samar yang kemudian memproduksi sejarah yang samar lagi.  Demikian seterusnya.

Pada akhirnya, bila ada warga negara yang secara mandiri membangkitkan kesadaran sejarah dirinya justru akan meragukan makna nasionalisme itu sendiri dan gagasan tentang keindonesiaan.  Hal itu terjadi karena tidak adanya kesesuaian antara kesadaran sejarahnya dengan fakta yang ia temukan saat ini dalam konteks berbangsa dan bernegara.

Dimasa reformasi, pola ini masih terulang. Kasus-kasus hukum seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang didalangi oleh  penyelenggara negara tidak tersentuh dan terselesaikan.  Namun, kasus itu hanya “disamarkan” oleh kasus lain dan mengalihkan perhatian rakyat ke kasus yang baru.  Dan sayangnya, bangsa ini memang memiliki ingatan yang pendek dan cenderung terlalu mudah “melupakan” dan “memaafkan”.  Bila kesadaran sejarah muncul maka jangan heran bila kesadaran itu cenderung melahirkan ketidakpercayaan terhadap penyelengagara negara.

Negara sudah terlalu banyak dosa, bukan pada Tuhan tapi pada rakyatnya sendiri. Rakyat yang memberikan legitimasi kekuasaan terhadap negara.  Negara terlalu sering berbohong dan khianat.  Kekuasaan yang diamanahkan digunakan untuk memperkaya diri sementara rakyat disistematiskan untuk menahan lapar berhari-hari, tinggal dikolong-kolong jembatan, anak kecil berkeliaran di jalan-jalan mencari makan dengan menjual suara yang pas-pasan.  Banyak orang miskin sakit lalu mati terkapar karena tak mampu mengakses obat dan rumah sakit.  Anak-anak negeri makin bodoh karena tak mampu beli buku, seragam sekolah dan tagihan SPP.

Lalu dimana negara pada saat itu.  Penyelenggaranya lagi asyik berada di hotel-hotel, restoran mewah dan gedung bertingkat.  Mereka membahas orang miskin di ruang ber-AC dengan perut yang kekenyangan.  Mereka lagi jalan-jalan ke luar negeri bersama keluarga menggunakan uang rakyat atas nama tugas negara melakukan studi banding. Bila rakyat melawan kekuatan represif idiologis berseragam yang menghadang. Busyet dah..,saya tak mampu menyebutkan satu persatu.

Pertanyaan selanjutnya, lantas apa yang harus kita lakukan sekarang..???


Darmaga,Bogor- 28 Mei 2013
Pukul 23.00 WIB

3 komentar:

  1. tulisan yang panjang.... namun panjang saja belum cukup.

    BalasHapus
  2. Bisa dipahami jika menonton film balibo ada kegelisahan dalam diri anda...mungkin tidak hanya anda sendiri, tapi sebagian besar rakyat Indonesia (yang selama puluhan tahun dalam cengkramana rezim ORBA, terisolasi dari informasi sejarah yg sebenarnya tentang Timor Leste, bekas jajahan Portugis lebih kurang 450tahun, diokupasi Jepang pad PD II selama 3 tahun,dan tahun 1975 diokupasi militer dari negeri tetangga Indonesia. Saya tidak tahu persis kegelisahan anda setelah menonton film BALIBO (apakah gelisah atas kematian journalist) atau versi sejarah yang amat berbeda dengan sejarah orde baru/militer yang selama puluhan tahun menutup rapat sebuah kebenaran sejarah tentang pulau kecil itu terhadap rakyatnya sendiri....singkat kata, saya hanya ingin sedikit memperbaiki informasi keliru selama ini...bahwa setelah revolusi anyelir pecah di lisbon (portugis) pada 25 April, tahun 1974 dimana rezim salazar (yg kekejamannya hampir setara dengan Orde Baru Soeharto) terguling oleh para perwira muda militer yg sudah capek berperang di daerah2 koloninya seperti Angola, Mosambique, Guine-Bissau dll...maka dimulaiah babak baru sejarah Timor Portugis a/ timor-Dili (nama yg dipakai ketika masih dibawah koloni portugis) diberikan kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Beberapa partai lahir di TL, tapi partai terbesar adalah FRETILIN yang ingin merdeka secara total dari Portugis, dibanding dengan UDT yang ingin lepas dari koloni portugis secara bertahap sebelum menuju kemerdekaan. Sedangkan partai dengan masa paling sedikit (terkecil namun mendapat dukungan dari intelijen indonesia) adalah APODETI yang menginginkan integrasi dengan ndonesia.....singkat kata....yang memicu perang awal di TL bukanlah FRETILIN melainkan UDT yang melakukan kup pada 11 Agustus 1975, yang kemudian dibalas oleh FRETILIN seminggu kemudian dan mengontrol wilayah Timor-Leste seutuhnya, dan memproklamirkan kemerdekaan Timor Leste pada 28 November 1975 (dan sampai sekarang 28 November diperingati sebagai hari kemerdekaan TL, sdangakn 20 Mei 2002 adalah peringatan hari restaorasi kemerdekaan TL). dan sejarah yang benar pula adalah FRETILIN adalah partai nasionalis yang ingin memerdekakan TL dari penjajahan portugis. dan isu komunisme bahwa FRETILIN ingin menjadikan TL menjadi negara komunis adalah rekayasa inteligen indonesia agar bisa menjadi alat justifikasi militer Indonesia untuk menginvasi TL dengan persetujuan Amerika Serikat dan Australia (karena saat itu perang dingin sedang bekecamuk dan AS masih trauma dengan kekalahanya dalam perang Vietnam. jangan lupa bahwa negara yang pertama sekali mendukung "integrasi", atau dalam bahasa kami adalah invasi dan aneksi Indonesia adalah Australia...tapi rakyat australia tidak pernah sependapat dengan pemerintahnya, karena terus memberikan solidaritasnya terhadap perjuangan Timor Leste. FRETILIN adalah partai nasionalis, terbukti hingga sampai sekarang, setelah Timor Leste merdeka tetap sebagai partai nasionalis.

    BalasHapus
  3. terima kasih Tahi Calu, komentarnya sangt mencerahkan. Saya hanyalah anak bangsa yg tersesat diantara belantara tafsiran sejarah bangsanya sendri.,

    BalasHapus