Entri Populer

Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

10 Januari, 2014

DILEMA SAWIT KITA

Ilustrasi

Tulisan ini tidak hendak mengurai problema sawit khususnya di tanah air secara rinci dan konfrehensif.  Karena hal itu tentu saja membutuhkan waktu dan energi yang lebih besar.  Sementara tulisan ini hanya hasil amatan pustaka,  laporan  dan berselancar di dunia maya.  Namun setidaknya dapat memberikan gambaran umum terkait wajah sawit di tanah air untuk menjadi bahan diskusi lebih lanjut.

Banyak yang bilang negeri ini (baca: Indonesia) merupakan negara agraris.  Mungkin dikarenakan, bentang lanskap  alamnya menyajikan potensi lahan yang subur untuk ditanami. Kondisi iklim tropis dengan curah hujan yang merata memberikan kondisi yang sangat baik untuk tumbuh dan berkembangnya berbagai komoditi pertanian dan perkebunan di Indonesia. Selain itu, secara sosiologis pertanian membentuk suatu indentitas sosial di Indonesia.  Pertanian tidak hanya jalan pemenuhan ekonomi semata namun juga membentuk tradisi dan struktur budaya masyarakat.

Dimasa orde baru sektor pertanian (termasuk perkebunan) menjadi leading sector untuk menopang pembangunan nasional. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) selama 25 tahun yang terbagi dalam REPELITA (Rencana Pembangnan Lima Tahun, menempatkan pertanian sebagai sektor utama pembangunan.  Secara konseptual, ada tiga strategi utama dalam pengembangan pertanian Indonesia yakni intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi.  Namun faktanya, konsep ini tidak berjalan secara berimbang dimana terlalu difokuskan pada intensifikasi pertanian.  Hal ini menyebabkan pertanian merosot tajam sampai titik nadir baik dari aspek sosial, ekonomi maupun ekologi.

Saat ini pertanian Indonesia mencoba kembali bangkit termasuk sub sektor perkebunan.  Beberapa komoditi unggulan perkebunan kemudian mulai dikembangtumbuhkan secara lebih massif.  Namun tentu saja, komoditi perkebunan harus didukung oleh industri perkebunan yang baik dan modern.  Hal ini mengakibatkan tidak ada komoditi unggulan perkebunan bisa dijalankan sepenuhnya oleh masyarakat (petani) seperti halnya komoditi padi, palawija dan hortikultura karena latar belakang petani kita yang miskin.  Artinya pengembangan perkebunan mensyaratkan dua aspek penting yang berjalan secara simultan yaitu budidaya komoditi strategis di hulu dan industri pengolahan pasca panen di hilir.

Dari sini saya melihat, pada sektor perkebunan cuma ada dua aktor yang dapat bersaing yaitu negara melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pihak swasta yang memiliki kapital besar.  Secara, sistemik akhirnya petani semakin terpinggirkan dari lahan perkebunan.  Kalaupun mereka hadir ditengah-tengah kebun, hanya sebagai buruh kebun dan mitra yang dimodali pemilik modal dengan komitment tertentu.

Salah satu komoditi perkebunan unggulan Indonesia adalah Kelapa Sawit (Elaeis guinensis JACQ).  Saat ini, sawit menjadi komoditi internasional karena menghasilkan produk utama minyak sawit, CPO dan CPKO yang diburu oleh pelaku pasar internasional.  Produk utama tersebut menjadi bahan baku industri hilir pangan maupun non pangan.


SEPINTAS SEJARAH SAWIT DI INDONESIA

Kelapa sawit bukan tanaman endemik Indonesia.  Sawit termasuk golongan tumbuhan palma yang datang dari negara asalnya Afrika.  Di Indonesia, penyebarannya mulai dari daerah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), pantai timur Sumatera, lalu ke Jawa dan Sulawesi. Sawit menjadi populer setelah Revolusi Industri pada akhir abad ke-19 yang menyebabkan permintaan minyak nabati untuk bahan pangan dan industri sabun menjadi tinggi. Di Indonesia, kelapa sawit diintroduksi pertama kali oleh Kebun Raya pada tahun 1848 dari Mauritius (Afrika). Saat itu Johannes Elyas Teysmann yang menjabat sebagai Direktur Kebun Raya. Hasil introduksi ini berkembang dan merupakan induk dari perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara. Pohon induk ini telah mati pada 15 Oktober 1989, tapi anakannya bisa dilihat di Kebun Raya Bogor hingga sekarang.  Kelapa Sawit mulai diusahakan secara komersil pada tahun 1912 dan eksport minyak sawit pertama dilakukan pada tahun 1919.

Situs wikipedia.org (2013) menjabarkan bahwa pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912. Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang Tenmaran, Kuala Selangor menggunakan benih dura Deli dari Rantau Panjang.
Amirah dan ibunya di Monumen Kelapa Sawit,
Kebun Raya Bogor
(foto koleksi pribadi)

Sejarah awalnya tampak bahwa pelaku usaha kelapa sawit terbatas pada perusahaan asing berskala besar dan terintegrasi antara budidaya, pengolahan Pabrik Kelapa Sawit (PKS), dan pemasaran hasilnya. Hal ini berlangsung hingga periode awal Republik. Sekitar 1958, beberapa perusahaan Belanda dinasionalisasikan dan diambil alih sebagai Perusahaan Perkebunan Negara. Rakyat menjadi pelaku usaha perkebunan kelapa sawit baru sekitar tahun 1980 dengan dikembangkannya program PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dalam rangka program akselerasi pembangunan perkebunan. Terdapat beberapa versi PIR sesuai dengan sasaran dan sumber pendanaannya, seperti PIR-BUN atau NES (Nucleus Estate and Smallholder), PIR-TRANS dan PIR-KKPA telah mempercepat perkembangan usaha perkebunan rakyat ini (KPPU, 2007)

Masa pemerintahan orde baru pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka untuk menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sebagai penghasil devisa negara (Guritno, 2000).  Di masa ini, perkembangan kelapa sawit rakyat ini dapat dikatakan fenomenal. Berawal pada tahun 1980, dalam sepuluh tahun pertama mencapai sekitar 300 ribu Ha, sepuluh tahun berikutnya mencapai sejuta hektar lebih, dan kini telah mencapai lebih dari 1,8 juta hektar. Dari luas areal kelapa sawit rakyat ini, disamping perkebunan plasma, sebagian besar adalah perkebunan swadaya yang berinvestasi menggunakan dana sendiri atau pinjaman, termotivasi oleh pengalaman sukses petani lain serta prospek bisnis yang cerah (KPPU, 2007).  .

Saat ini perkebunan sawit berkembang sangat pesat. Semula pelaku perkebunan kelapa sawit hanya terdiri atas Perkebunan Besar Negara (PBN), namun pada tahun yang sama pula dibuka Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Rakyat (PR) melalui pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan selanjutnya berkembang pola swadaya. Data dari Direktorat Jenderal Perkebunan (2009) menunjukkan pada tahun 1980 luas areal kelapa sawit adalah 294.000 ha dan pada tahun 2009 luas areal perkebunan kelapa sawit diperkirakan sudah mencapai 7,32 juta ha dimana 47,81% dimiliki oleh PBS, 43,76% dimiliki oleh PR, dan 8,43% dimiliki oleh PBN  (Haryana et al, 2010).

Minyak Sawit
Laporan Oil World (2010) menjelaskan bahwa tahun 2009 Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan jumlah produksi diperkirakan sebesar 20,6 juta ton minyak sawit, kemudian diikuti dengan Malaysia dengan jumlah produksi 17,57 juta ton. Produksi kedua negara ini mencapai 85% dari produksi dunia yang sebesar 45,1 juta ton. Sebagian besar hasil produksi minyak sawit di Indonesia merupakan komoditi ekspor. Pangsa ekspor kelapa sawit hingga tahun 2008 mencapai 80% total produksi. India adalah negara tujuan utama ekspor kelapa sawit Indonesia, yaitu 33% dari total ekspor kelapa sawit, kemudian diikuti oleh Cina sebesar 13%, dan Belanda 9%.

Perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar berada di pulau Sumatera diikuti oleh Kalimantan. Berdasarkan provinsi, Riau merupakan provinsi penghasil minyak sawit terbesar di Indonesia dengan produksi mencapai 24% dari produksi nasional pada tahun 2009, sementara Jambi menyumbang minyak sawit sebesar 7,70% dari produksi nasional dengan luas lahan mencapai 8,82% dari luas lahan nasional. Stakeholders industri kelapa sawit menyadari bahwa kelapa sawit telah menunjukkan kontribusi yang signifikan dalam perekonomian global dan nasional bahkan lokal. Minyak sawit telah menjadi bagian dari minyak nabati dunia dan kontribusinya cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Oil World (2009) mencatat produksi minyak sawit tahun 2009 (45,1 juta ton = 34% dari minyak nabati dunia) naik sepuluh kali lipat dibandingkan tahun 1980, sementara minyak kedelai pada periode yang sama hanya naik 2,7 kali lipat (Haryana et al, 2010).


SISI SURAM SAWIT KITA

Perkembangan perkebunan kelapa sawait yang begitu fantastis ternyata juga memberikan dampak buruk utamanya terhadap lingkungan.  walaupun tidak bisa kita pungkiri bahwa ada banyak pula dampak positif yang diberikan sektor perkebunan kelapa sawit untuk pembangunan ekonomi nasional dalam hal  serapan tenaga kerja dan perolehan devisa negara.  Tetapi kita tidak dapat pula menutup mata terhadap dampak ekologis yang timbul akibat perkebunan sawit.  Inilah yang menjadi sisi suram dari industri sawit kita yang selalu digembar-gemborkan oleh para aktivis lingkungan.

Setidaknya dalam catatan sisi suram ini ada tiga hal penting yang ingin disinggung mengenai dampak buruk ekologis dari pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.  Pertama, aspek lahan yakni mulai dari status lahan, alih fungsi lahan, degradasi lahan sampai pada keanekaragaman hayati diatas lahan tersebut. Kedua, limbah atau emisi yakni limbah sisa hasil olahan industri kelapa sawit.  Ketiga, persoalan sosial terkait masyarakat sekitar hutan.
 
Penampungan limbah cair sawit
(foto koleksi pribadi)
Oleh Teoh (2010), mengutip pandangan berbagai LSM, menyatakan bahwa masalah lingkungan terkait dengan usaha kelapa sawit diantaranya adalah masalah deforestasi, biodiversitas dan perubahan iklim. Beberapa waktu terakhir, proses alih fungsi hutan alam dan lahan gambut berkontribusi negatif berupa deforestasi, degradasi lahan gambut, degradasi sumber daya air, dan kehilangan keanekaragaman hayati. Pembangunan kelapa sawit juga diklaim tidak sesuai dengan peraturan tata ruang; dan terdapat kebun kelapa sawit di kawasan dengan nilai konservasi tinggi (HCV). Terlepas dari isu tersebut, pada dasarnya telah banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit tetap memperhatikan aspek lingkungan dalam melakukan usaha dan mereka menjadi anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Development.


Kurniawan (2007) menjabarkan bahwa Penggunaan lahan gambut untuk perkebunan lahan sawit yang salah, ternyata sangat besar pengaruhnya terhadap pemanasan global.  Hutan alam menjadi sangat monokultur. Hutan alam yang seharusnya menjadi sumber penangkap carbon menjadi berkurang kemampuannya dalam menangkap carbon yang dapat mempengaruhi pemanasan global (Efek Rumah Kaca). Kemudian menyebabkan terganggunya keseimbangan ekologis, hilangnya berbagai flora dan fauna yang khas dan unik. Air tanah juga akan semakin menipis karena kebutuhan tanaman kelapa sawit yang sangat haus akan air tanah.

Secara umum, kerusakan hutan di Indonesia disebabkan oleh dua hal yaitu industri kayu dan konversi lahan menjadi perkebunan utamanya kelapa sawit. Saat ini di Indonesia terdapat 133 juta hektar hutan, dimana 20,3 juta hektar merupakan hutan konservasi, 33,3 juta hektar hutan lindung, 59,2 juta hektar hutan produksi dan 22,8 juta hektar hutan produksi terbatas (Kementrian Kehutanan, 2008).

Selain itu, berbagai penelitian menunjukkan industri kelapa sawit yang menghasilkan limbah baik cair, padat maupun gas.  Limbah cair berupa air buangan sisa hasil pengolahan yang mengandung bahan kimia dan organik yang tinggi.  Limbah cair tersebut berwarna kecoklatan yang banyak mengandung padatan terlarut dan tersuspensi berupa koloid serta residu minyak dengan kandungan biological oxygen demand (BOD) yang tinggi.  Limbah cairan tersebut jika dibuang ke perairan tentu akan mencemari lingkungan, mengganggu ekosistem perairan.  Karenanya, organisme utamanya biota perairan akan mengalami keracunan.  Untuk itu, pengolahan limbah hingga dibawah baku mutu  mesti dilakukan sebelum dilepas ke lingkungan.

Pengolahan limbah cair kelapa sawit biasanya melalui penampungan di kolam-kolam terbuka yang melalui fase aerob dan anaerob.  Pada proses ini, limbah cair tersebut akan melepaskan gas metan (CH4) dan CO2 ke udara ambient yang kedua senyawa tersebut memberikan konstribusi terbesar terhadap pemanasan global.  Selain itu, gas metan menghasilkan aroma tak sedap karena proses dekomposisi yang terjadi.  Mestinya pengolahannya tidak pada udara bebas karena gas yang dihasilkan dapat pula menjadi bahan bakar alternatif (biogas).

Limbah padat juga cukup banyak dihasilkan oleh kelapa sawit. Limbah padat yang dihasilkan berupa tandan kosong kelapa sawit (20-23 %), serat (10-12 %), dan tempurung / cangkang (7-9 %) dan sisa biomass lainnya (pelepah dan batang sawit).  Di indonesia, limbah pada ini dapat dihasilkan hingga mencapai 15,20 juta ton/tahun.  Limbah padat tersebut akan menimbulkan bau yang tak sedap terhadap udara ambient namun memiliki nilai ekonomi jika diolah lebih lanjut menjadi kompos dan bahan industri lainnya.
 
Limbah organik indutri kelapa sawit
(foto koleksi pribadi)
Persoalan sosial juga sering kali muncul terkait alih fungsi lahan.  Hutan yang dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit memicu terjadinya konflik dengan masyarakat sekitar hutan.  Bagi masyarakat sekitar hutan, hutan bukan semata-mata tempat menggantungkan kehidupan secara ekonomi. Namun di Indonesia hutan oleh masyarakat sekitar hutan masih mengaitkannya dengan tata nilai adat, sprituaitas dan warisan budaya leluhur.  Selain itu, bagi masyarakat hutan juga berperan sebagai gudang obat masyarakat karena masyarakat sekitar hutan menyadari hutan memiliki nilai biodiversitas (keanekaragaman hayati) yang tinggi termasuk bermacam tanaman obat.

Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perkebunan kelapa sawit, sebetulnya juga terkait dengan masalah tata kelola. Isu yang berkembang adalah adanya anggapan bahwa pemerintah daerah melakukan politisasi perizinan, sehingga izin pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak terkendali. Izin di daerah dikeluarkan Bupati dengan atau didasarkan Perda dan bisa mendahului persyaratan lain, seperti Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Seperti diketahui, perusahaan dapat mengajukan kepada pemerintah daerah (kabupaten) untuk penggunaan lahan. Prosesnya meliputi beberapa ijin dan memerlukan negosiasi dengan individu dan masyarkat lokal. Politisasi perijinan ini terjadi karena pengetahuan yang kurang dari individu dan masyarakat atas hak mereka dan bagaimana proses dan prosedur yang harus diikuti (Haryana et al, 2010).

Melihat potensi pengembangan sawit berbanding lurus terhadap peluang kerusakan alam sekaligus dalam rangka memperkuat daya saing minyak nabati selain minyak sawit, maka di tingkat dunia dikembangkan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).  RSPO didorong oleh LSM lingkungan dan sosial. Alasannya adalah peningkatan luas areal kelapa sawit diklaim sebagian berasal dari konversi hutan alam dan lahan gambut yang berpengaruh terhadap perubahan iklim global. Hanya saja, hal ini kesannya menjadi tidak fair karena melalui RSPO minyak kelapa sawit menghadapi hambatan teknis perdagangan melalui pemberlakuan prinsip dan kriteria pembangunan berkelanjutan, sementara hal yang sama tidak berlaku untuk minyak nabati lain (minyak rape seed, kedelai dan lainnya). Akibatnya, persaingan antar minyak nabati menjadi tidak sesuai ketentuan WTO yang menerapkan tarif impor (Haryana et al, 2010).


MUNGKINKAH..??

Melihat banyaknya potensi kerusakan lingkungan yang dapat diakibatkan oleh perkebunan kelapa sawit bukan berarti pengembangan kelapa sawit di Indonesia harus dihentikan secara total.  Sebagian orang berpendapat bahwa menghapuskan sawit dari bumi Indonesia adalah tindakan yang kurang bijak juga karena perkebunan sawit tenyata memberikan faedah yang tidak sedikit bagi keberlangsungan hidup manusia.  Faedah yang paling terasa adalah pada sektor ekonomi yang membeikan konstribusi yang sangat besar terhadap pendapatan devisa negara dan serapan tenaga kerja yang tidak sedikit.  Selain itu, boleh dikatakan semua rumah tangga yang ada di Indonesia memanfaatkan hasil pangan olahan kelapa sawit misalnya minyak goreng.

Jikalau begitu, hal penting sekarang adalah tidak mengarahkan pikiran untuk terus-terusan mengkritik dan mengutuk perkebunan kelapa sawit yang telah meberikan dampak yang begitu buruk terhadap lingkungan kita.  Yang terpenting adalah bagaimana menciptakan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dan lebih mengedepankan aspek ekologis ketimbang aspek ekonomi semata.  Dibutuhkan berbagai kreativitas dan inovasi untuk  meminimalisir dampak buruk itu. Bagaimana merubah limbah industri sawit untuk dapat di manfaatkan kembali dan ramah lingkungan.  Muaranya adalah menciptakan perkebunan sawit yang lestari, lingkungan yang lestari dan masyarakat sawit yang lestari hingga di masa-masa mendatang.

Tapi mungkinkah itu..???


Bogor, 10 januari 2014