Entri Populer

Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

30 November, 2014

EKSPEDISI WAKATOBI I: FLYING TO PARADISE


Senja di Pantai Waha, Wangi-Wangi

Sebelum saya menapakkan kaki, kabar yang saya dengan Wakatobi adalah negeri yang keras.  Bukan hanya alamnya yang panas namun masyarakatnya katanya terbilang keras dan tempramental.  Saya agak khawatir dengan hal itu.  Maklumlah saya tidak memiliki “perangkat” untuk menghadapi situasi seperti itu.  Tubuh ini sejak kecil hanya terinstal oleh software yang serba lunak.

Saya berkesempatan untuk mengunjungi Wakatobi.  Tak sekedar singgah namun stay hingga sebulan malah terancam lebih untuk sebuah tugas yang saya emban.  Kabar itu mulai merajai pikiran saya lalu menelusuk masuk dalam hati dan perasaan, semakin pekat terasa.  Tetapi dari relung hati yang paling dalam selalu berbisik bahwa tak ada manusia yang jahat, Tuhan menciptakannya dengan sebaik-baiknya ciptaan, menghiasinya dengan pekerti lalu membungkus dengan kelembutan perangai.  Pokoknya Tuhan menciptakan manusia sambil tersenyum.  Buktinya, Tuhan menitipkan bagian dari Diri-Nya dalam diri manusia.  Sejenak hati saya tenang dengan hal itu.

Perjalanan saya di mulai dari Bogor ke Jakarta menggunakan Damri.  Dari Jakarta rute yang ditempuh adalah Jakarta-Makassar-Baubau menggunakan pesawat maskapai Garuda Indonesia.  Untuk Jakarta-Makassar dengan menggunakan pesawat tipe Boeing sedangkan Makassar-Baubau dengan menggunakan pesawat tipe ATR (baling-baling).  Waktu pemberangkatan dari Jakarta pukul 01.50 WIB sampai ke Baubau pukul 07.30 WITA. 

Selama perjalanan “wajah” Wakatobi semakin terbayang.  Saya mulai mengumpul-ngumpulkan berbagai ingatan tentangnya.  Bukan berarti saya pernah berkunjung kesana,  namun informasi dari uncle google dan sejumlah kesaksian pelancong yang pernah singgah di Wakatobi.  Saya sempat larut dalam tagline “Wakatobi surga nyata bawah laut di segitiga karang dunia”. 

“Wow.,i’m flying to paradise” bisikku dalam hati sambil tersenyum simpul bahagia.
Setiba di Baubau, perjalanan dilanjutkan menuju Kabupaten Wakatobi.  Perjalanan ini menggunakan kapal laut yang terbuat dari kayu dengan kapasitas penumpang kurang lebih 200 orang.  Waktu tempuh perjalanan kurang lebih 9 jam yakni dari pukul 22.00 WITA dan tiba di dermaga Wanci pukul 07.00 WITA.  Perjalanan ini terbilang cukup cepat karena kondisi laut cukup tenang.
Bahagia rasanya saya sempat singgah ke tanah kelahiran, tanah Buton Kota Baubau.  Saya memiliki waktu 12 jam di Baubau.  Melepas kerinduan dengan keluarga tercinta.  Apalagi putriku yang cantik Amirah.  Ia telah menjemputku di Bandara Betoambari.  Begitu melihatku langsung berlari minta digendong sambil berteriak

ayah....”.

Kupeluk tubuhnya yang mungil dan kucium pipinya berkali-kali
Saya membatin “Amirah sayang, engkaulah biji mataku

*****

Akhirnya kapal kayu yang saya tumpangi sebentar lagi berlabuh di pelabuhan Wanci. Mesin kapal mulai dipelankan, laju kapal mulai melambat.  Kapal kayu baru saja melewati Pulau Kapota.  Pulau tua yang tempo dahulu katanya ramai dengan aktivitas perdagangan tua.  Kini makin tertinggal akibat ketimpangan pembangunan

Saya lalu mendongak kebawah.  Wow.,air laut sangat jernih dan karang-karang laut begitu kentara.  “Ini baru pinggir-pinggir surga nyata itu” bisikku dalam hati.  Kapal kayu sangat hati-hati bergerak maju diantara bongkahan karang-karang itu.  Rupanya lautnya cukup dangkal.  Hingga harus dikeruk membentuk sodetan atau kanal agar kapal bisa masuk ke darmaga.  Sayang juga, cukup banyak karang yang terangkut.

ABK melempar tali, jangkar telah disauh dan akhirnya kapal telah berhenti sempurna.  Dadaku semakin berdebar-debar.  Sejuta kepingan memori tentang Wakatobi terngiang bersamaan.  Di ujung darmaga sahabat saya Jeto telah telah menanti.  Kulihat jam tanganku tepat pukul 7 pagi.

Setelah menapakkan kaki di darmaga, saya melihat aktivitas cukup ramai. Orang berlalu lalang mengangkut barang.  Puluhan kenderaan diparkir menjemput sanak famili yang datang.  Mataku cukup awas mengamati segala arah.  Otakku berupaya cepat loading mempelajari semua situasi.


Orang-orang Wakatobi memiliki kekhasan bersuara keras. Saat bercerita biasapun seperti itu.  Suara mereka cukup keras.  Tapi ini bukan hal baru menurutku.  Saya adalah orang Buton, mengalir darah Buton dalam tubuhku dan orang Buton pun seperti itu, bersuara dengan keras.  Wakatobi pun adalah juga beretnis Buton.

Tak hanya di Buton malah,  saat saya berkunjung ke Ambon dan Papua mereka pun suka berbicara dengan suara yang keras.  Bisa jadi, orang-orang timur umumnya saat berbicara dengan suara keras.  Mungkin inilah yang menyebabkan orang menilai karakter orang timur itu, termasuk Wakatobi adalah keras, kasar dan kesannya tempramental.  Nampaknya itu hanya penilaian luarnya saja.

Saya percaya bentang alam dan kondisi geografis sangat mempengaruhi bentukan karakter komunitas yang mendiaminya.  Kepulauan Wakatobi adalah gugusan beberapa pulau.  Bentang lahannya cukup tandus, yang didominasi oleh batuan cadas.  Sangat mudah kita menyimpulkan bahwa dulu kepulauan Wakatobi adalah lautan yang akibat gerak lempeng kemudian terdongkrak keatas.  Artinya batuan cadas yang banyak kita temukan di Wakatobi adalah batu karang berusia ribuan bahkan jutaan tahun yang telah lama mengalami reaksi kimia. Telah lama terpapar sinar matahari, hujan dan iklim lainnya yang secara sangat perlahan mengalami pelapukan lalu menjadi tanah yang remah.

Wilayah nusantara memang merupakan pertemuan dua lempeng bumi yakni dari daratan Asia dan Australia.  Pertemuan dua lempeng ini yang belakangan dikenal sebagai garis Wallacea.  Inilah yang menyebabkan nusantara memiliki keberagaman biodiversity, hayati dan non hayati.  Nusantara tak hanya kaya dengan aneka flora dan fauna, namun berbagai kandungan mineral dalam tanah.  Ini pula yang ikut berandil besar menciptakan keberagaman etnik di nusantara. 

Kebudayaan adalah mekanisme dari sebuah komunitas untuk memenuhi segala kebutuhan dasar komunitas itu.  Kebudayaan tak hanya terbentuk dari konsensus individu dalam komunitas, namun merupakan adaptasi kreatif atas bentukan alam tempat komunitas itu berdiam.  Simpelnya, kebudayaan merupakan seperangkat solusi atas problematika komunitas yang menjadi arena pertemuan alam pikir (microcosmos) dan alam lingkungan (macrocosmos) yang secara terus menerus berdialektika dan terkonservasi diatas lintasan sejarah.

Lantas, mengapa orang Wakatobi suka berbicara keras..?

Orang luar Buton pada umumnya dan Wakatobi pada khususnya mungkin menangkap kesan luar bahwa bersuara keras itu identik dengan kasar dan tempramental.  Padahal penilaian atas sebuah komunitas mestinya tak linear seperti itu.

Disatu sisi tanah kepulauan Wakatobi kurang subur dan bebatuan.  Komoditi pertanian yang tumbuh lebih dominan tanaman keras dan perkebunan (parenial).   Disisi lain merupakan pulau-pulau kecil yang dikelilingi oleh lautan luas namun kaya.  Situasi ini mendesak orang Wakatobi untuk mengarungi lautan.  Dinamika orang Wakatobi seiring dengan dinamika gelombang lautan.


Diving di Wakatobi
Lautan adalah ekosistem yang sangat dinamis, kadang tenang tak jarang sangat ektrim hingga ke titik paling nadir.   Saat angin bertiup kencang akan menghasilkan gelombang besar.  Suara orang Wakatobi harus bersaing dengan suara gelombang lautan.  Kendati lautan itu menyimpan energi gelombang yang dahsyat namun ia sangat terbuka dengan apapun yang hendak berlayar diatasnya.  Demikian pula orang Wakatobi, sangat inklusif dengan siapapun tapi anda harus toleran dengan suara keras.

Tak hanya itu, gerakan orang Wakatobi lebih cepat dan gesit.  Mereka harus mengimbangi gerakan gelombang lautan tadi.  Jadi tak salah jika gerakan tarian Wakatobi lebih energik dan alunan musiknya sedikit agak kencang.  Lautan sewaktu-waktu memberikan ancaman tak terduga, makanya senjata dan belati mesti disiagakan dipinggang depan.

Coba bandingkan dengan kebudayaan Jawa dan kalimantan (dayak).  Mereka hidup di daerah yang di tanah yang lebih subur dan lebih kontinental.  Mereka tak terlalu merasakan dinamika alam seperti lautan di Wakatobi.  Karakter merekapun tentu berbeda.  Bertutur dengan pelan, gerak tarian lebih pelan dan alunan musik tak terlalu kencang.

Senyum lugu anak Wakatobi
Menurut saya, tidak fair rasanya menilai sebuah komunitas menggunakan cara pandang komunitas lainnya. Jika cara itu yang dilakukan maka penilaian akan menjadi semacam hegemoni kebudayaan atas kebudayaan lainnya.  Mestinya yang dilakukan adalah  mendalami komunitas itu dan menemukan kearifan-kearifan dari padanya lalu mengambil pelajaran.  Hanya dengan cara itu kita dapat menemukan jawaban rahasia Tuhan atas segala perbedaan yang ada.

Lautan wakatobi memang sarat gelombang, tapi di dalamnya terdapat kekayaan surga bawah laut.  Demikian pula orang Wakatobi yang berbicara keras, tapi dalam hati diri mereka sarat akan kebaikan hati dan kelembutan.  Dan saya menyaksikan dan merasakan itu disini, di Wakatobi.

“ah rasanya saya tak sabar lagi menyelami surga di Wakatobi”


Wakatobi, 5 Nopember 2014.