Entri Populer

Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

22 Juni, 2015

RESAH


Ilustrasi


Setelah agak sedikit terhempas ngurus “kiri kanan” tesis, saya memutuskan untuk nongkrong depan perpustakaan IPB.  Mahasiswa IPB biasa menyebutnya LSI, Layanan Sumberdaya Informasi.  Depan gedung itu berjejer bangku-bangku kayu tua hitam namun masih kokoh menopang beberapa bokong sekaligus yang tertumpu diatasnya.  Bangku-bangku yang telah menyaksikan banyak mahasiswa diskusi yang berjubel dengan berbagai teori.  Atau mahasiswa akhir seperti saya yang hanya hendak duduk melepas penat dan resah tesis yang tak kunjung usai. Aaakhhh…,

Membiarkan pikiran ini melayang-layang bebas, menggantung di langit.  Meraih headset yang sudah meliuk kusut dari saku baju, pasang ke kuping.  Salah satu ujungnya tertancap mantap di smartphone andalan.  Ibu jariku dengan lincah memainkan touchscreen masuk ke folder musik lalu memilih secara random lagu dalam play list. Energi listrik dengan sekejab berubah menjadi bunyi yang mengalir cepat 50hz melalui kabel headset dan terbagi secara stereo pada dua loudspeaker mininya.

Suara gitar akustik lalu terdengar sayup menyelusp masuk ke dalam liang telingaku. Gelombang suarnya menyentil gendang telinga yang diubah menjadi energi mekanik.  Energinya mengalir ke tulang telinga bagian tengah malleus, incus dan stapes.   Getaran ini sedikit mengoncangkan cairan ekuilibriumku untuk memberi rangsangan sel-sel rambut menghasilkan pesan berupa impuls bio elektrik yang siap dikirim ke otakku.  Atas bantuan kabel-kabel saraf, impuls mengalir ke otak untuk ditafsir sebagai suara yang merdu.

Pa..ra.,ra.,ra.,
Pa..ra.,ra.,ra.,
Pa..ra.,ra.,ra.,
Pa..ra.,ra.,ra.,
Uuu..uuu…uuu…

Aku ingin berjalan bersamamu
Dalam hujan dan malam gelap 
Tapi aku tak bisa melihat matamu

Aku ingin berdua denganmu
Di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu

Entah mengapa ibu jariku memilih lagu itu.  Alunan musiknya slow nan syahdu menyelusup masuk ke dalam sukma.  Memberikan ketenangan sekaligus keresahan.  Warna musiknya cukup reflektif, pekat malah.  Petikan guitalele memberikan nuansa keroncong.  Lagu ini betul-betul mewakili perasaanku saat ini. Dari persoalan tesis hingga hati, dan urusan tetek bengek kerjaan dan ekonomi. Semua bergumul menjadi satu, RESAH.  Sama pula dengan judul lagu ini.  Ha..,ha..,ha., menyebutku alay kata seorang kawan chating.

Band Payung Teduh (Ivan, Cito, Is & Comi)
Oh ya, sedikit info saja dari lagu yang jadi latar tulisan alay ini.  Judulnya Resah buah karya dari sebuah band indie yang dibentuk tahun 2007, Payung Teduh.  Lagu ini salah satu hits dari album Payung Tedung bersampul Dunia Batas.  Awalnya band ini digawangi oleh Is (vokal/gitar) dan Comi (bass) mahasiswa UI yang saban hari bermain musik di sudut-sudut kampus atau mentas di Teater Pagupon.  Warna musik mereka mulai menjadi kompilt dan berkarakter setelah Cito (drum/cajon) dan Ivan (guitalele) direkrut masuk.  Band indie ini mungkin bisa disetarakan dengan band indie lainnya seperti Efek Rumah Kaca dan Dialog Dini Hari.

Dari sederetan lagu-lagu Payung Teduh nampaknya band ini beraliran romantis.  Lirik-liriknya sangat puitis dengan lantunan iringan musik yang tak terlalu menghentak.  Buat yang lagi galau, terserah mau tema galaunya cinta, kerjaan, keluarga sampai urusan duit, dijamin mendengar lagu ini menjadi kanal yang tepat untuk lebih meresapi pekatnya galau.

Namun terlepas dari itu, saya menilai band ini memang memiliki karakter.  Musiknya menghantarkan pada situasi reflektif yang serba abstrak.  Patah hati, jatuh cinta, dirundung masalah, hanyalah sekian gejala psikologis agar lagu-lagu mereka menemukan bentuknya. Lebih diresapi.  Saat saya mendengarkan lagu-lagu Payung Teduh saya seolah sedang terlibat dalam dialog imajiner dengan diri saya sendiri.  Terhempas dalam ruang dan waktu masa lalu, kini dan selanjutnya.  Aduh.,cukup ah,nanti dibilangin lebay dan alay lagi..he..he.he..,
 
Album Payung Teduh, Dunia Batas
Sayup-sayup lagu resah masih mengiang ditelinga.  Bait-baitnya masih menyuguhkan perasaan yang sama dan puitis.

Aku menunggu dengan sabar
Di atas sini, melayang-layang
Tergoyang angin, menantikan tubuh itu

Aku ingin berdua denganmu
Di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu

Ingin berdua denganmu
Di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku hanya melihat keresahanmu


Mestinya anda tak perlu membaca tulisan ini.  Ini hanya pelampiasan keresahan dan kegalauan hati.  Maaf ya.,he..he..he..



LSI, Institut Pertanian Bogor
22 Juni 2015.
 


13 Juni, 2015

PENGADUAN MASYARAKAT BERBASIS INFORMASI SPASIAL


Ilustrasi


LEONARD Kleinronk memang layak mendapat penghargaan dan ucapan terima kasih dari kita semua.  Dialah yang telah menemukan pasangan paling setia 24 jam bagi kita yaitu internet.  Penemuan paling besar itu ia temukan secara tak sengaja pada 29 Oktober 1969 ketika berhasil memecahkan kode-kode digital dan menjadikannya sebagi paket-paket informasi terpisah.

Melalui temuannya, Kleinronk menjadikan dunia ini terasa dilipat dan semakin sempit.  Dalam waktu bersamaan kita dapat berselancar di beberapa tempat sekaligus, menyerap informasinya lalu membaginya kepada sahabat kita pada saat itu juga yang sedang berada di belahan bumi lain.  Kita semakin dimanjakan karena internet sudah sangat mobile sejak ia terintegrasi dengan telepon genggam (smartphone) kita.  Dunia ini seolah berada di dalam genggaman kita dan dapat kita bawa serta kemanapun, kapanpun.

Internet kini telah menjangkau ke setiap sudut bumi ini.  Lalu lintas informasi tak bisa dibendung lagi.  Dalam sepersekian detik informasi terus berubah.  Dunia seolah berpindah dari dunia materi kita saat ini ke dunia maya yang (nampaknya) tanpa batas.  Manusia menemukan pasangan barunya, Internet.

Tak soal dengan laju kemajuan teknologi informasi.  Pertanyaan konkritnya adalah biasakah segala kemajuan teknologi itu menjawab kebutuhan-kebutuhan kita, atau pertanyaan lain dengan nada yang sama bagaimana kita menempatkan teknologi untuk menyelesaikan persoalan kita sehari-hari.

Leonard Kleinronk
Jargon e-government akhir-akhir ini mulai begtu akrab ditelinga kita.  Saya menangkapnya ini sebuah upaya untuk menjadikan teknologi informasi menjadi  ruang pertemuan yang mesra antara pemerintah dengan rakyat, antara rakyat dengan wakil rakyat.  Selama ini ada jarak antara pemerintah dengan rakyat sebagai pemberi amanah.  Terserah mau dimaknai “jarak” itu dalam konteks politik atau dalam makna jarak yang sebenarnya.  Tapi point pentingnya adalah sangat penting menciptakan “keintiman” antara pemerintah dengan rakyat agar kebijakan yang lahir betul-betul menjawab kebutuhan rakyat.

Cukup sering pula kita mendengar rakyat mengeluh bahwa kebijakan pemerintah tak sesuai dengan kebutuhan mereka.  Rakyat menuding para pejabat itu jarang “turun ke bawah” untuk menyerap aspirasi. Sementara Si Pejabat mengklaim kebijakan inilah yang dibutuhkan masyarakat.  Hubungan menjadi kurang mesra dan saling tuding.

Nah, disini saya ingin menyebutnya pengaduan masyarakat berbasis spasial.  Mungkin bukan hal yang baru.  Tetapi yang ingin ditekankan adalah dengan teknologi informasi yang begitu maju saat ini, masyarakat sangat bisa diandalkan untuk mengumpulkan sejumlah informasi penting untuk menunjang pembangunan baik di level pusat maupun daerah.  Masyarakat bisa menjadi narasumber dan enumerator sekaligus dalam mengumpulkan data dan informasi terkait pembangunan.  Pemerintah tentu bertindak sebagai server yang mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan kembali data dan informasi itu lalu diterjemahkan dalam bentuk kebijakan yang lebih konkrit.
Tak hanya orang kota, orang di desa saat ini sudah begitu familiar dengan telepon pintar (smartphone).  Orang-orang di desa juga telah menggenggam dunia.  Di dalam smartphone itu pula telah dilengkapi berbagai aplikasi antara lain kemampuan mengakses internet, GPS (Global Positioning System), google map, google earth, social media, dll. Perusahaan telekomunikasi sudah begitu kompetitifnya. Menara  BTS (Base Transceiver Station) telah tersebar dimana-mana untuk mendistribusikan informasi dari pengguna smartphone.
Ini adalah fasilitas super canggih untuk penyaluran aspirasi rakyat ke pemerintah dan wakil rakyat.  Idenya memang bukan hal baru.  Dulu telah ada pusat layanan pengaduan melalui sms dan telepon, namun kini informasi yang diolah dari masyarakat bisa lebih variatif dan informatif.  Hanya tinggal bagaimana me-manage informasi-informasi itu.

Pemerintah dapat mengelola informasi dari masyarakat dengan berbasis spasial dan bersifat time series.  Masyarakat dapat dengan mudah memanfaatkan teknologi internet, GPS, google map, kamera dan office word atau fasilitas mengetik lainnya yang telah terintegrasi dalam smartphone mereka.  Gunanya untuk menyampaikan aspirasi atau problem yang tengah terjadi di masyarakat langsung ke pemerintah.

Aplikasi GPS di smartphone
Misalkan saja informasi tentang infrastruktur.  Ada sebuah jalan raya yang baru saja dibuat dan telah mengalami kerusakan.  Masyarakat dapat men-jepret gambarnya dengan kamera smartphone yang mereka miliki.  Gambar itu dapat diberi informasi singkat (caption) untuk menjelaskan situasi infrastruktur yang rusak.  Gunakan aplikasi GPS ataupun google map untuk memberikan informasi lokasi pastinya atau referensi geometrik infrastuktur yang rusak tersebut.  Informasi ini dapat langsung dikirimkan ke media sosial yang telah disediakan pemerintah ataupun aplikasi chatting seperti whatsapp, BBM, line, dan lain sebagainya.  Bahkan untuk lebih meyakinkan informasi dapat berupa gambar bergerak (video).

Ini adalah informasi yang sangat berharga dan dijamin aktual bagi pemerintah.  Narasumber, lokasi, deskripsi dan objek tersaji sekaligus dalam informasi tersebut.  Lalu bagaimana pemerintah mengelola informasi itu..??

Informasi oleh pemerintah dikumpulkan dan dipilah berdasarkan jenisnya.  Setelah dikumpulkan dan dipilah, melalui referensi geometrik yang dikirimkan oleh masyarakat lalu dikawinkan (overlay) dengan data-data spasial (peta administrasi, peta pola ruang, peta jalan, peta perumahan, dan peta perencanaan pembangunan lainnya) yang dimiliki oleh pemerintah.  Proses ini untuk mengetahui sebaran keluhan terkait infrastruktur pada suatu wilayah.  Informasi yang lain dapat menjadi meta data untuk data spasial tersebut.

Informasi yang telah dikumpul, dipilah dan di overlay dapat dianalisis lebih lanjut untuk disajikan dan ditindaklanjuti melalui kebijakan.  Analisis selanjutnya dapat dilakukan sesuai dengan kreativitas pemerintah untuk menggambarkan secara lebih utuh tentang kondisi pembangunan dan apa yang diingikan oleh masyarakat.  Misalnya, informasi terkait infrastruktur dapat digunakan untuk melakukan evaluasi proyek.  Tentu menjadi hal yang aneh jalan raya yang baru setahun dibuat oleh masyarakt dilaporkan telah rusak parah.

Cara ini pun dapat dilakukan oleh pihak TNI dan kepolisian.  Melalui pengaduan masyarakat berbasis spasial ini, kepolisian dapat menghasilkan peta kerawanan sosial, peta konflik sosial, peta kerawanan lalu lintas dan peta-peta lainnya yang berkaitan dengan kemanan dan ketertiban.  Sehingga pencegahan sejak dini terkait tindak kejahatan dapat dilakukan.

Akhir-akhir ini kita sering diperdengarkan ribut-ribut soal dana aspirasi anggota DPR yang mencapai 20 milyar per anggota dewan pertahunnya.  Kalau hanya sekedar menyerap aspirasi masyarakat pada saat reses ataupun saat tertentu tentu itu menjadi pemborosan uang negara dan rakyat dapat menilainya sebagai bentuk korupsi terselubung. Atau 20 milyar tersebut untuk kegiatan pembangunan juga keliru karena itu adalah “gawean” eksekutif. Jika anggota DPR ingin betul-betul menyerap aspirasi rakyat di dapilnya, mereka dapat menggunakan cara-cara pengelolaan informasi masyarakat seperti diatas.  Tentu biaya yang dibutuhkan jauh dibawah angka 20 milyar.

Sudah waktunya negera ini betul-betul ikhlas dan serius melibatkan masyarakat dalam pembangunan khsususnya terkait tata kelola informasi pembangunan.  Saya yakin rakyat tak butuh duit  hingga ratusan juta dan milyaran rupiah untuk melakukan itu.  Rakyat cukup ikhlas melakukannya, toh ini demi kepentingan mereka juga.  Pertanyaannya adalah apakah pemerintah dan wakil rakyat itu memiliki political will yang sama ikhlasnya dengan rakyat..?? Entahlah, coba tanyakan pada rumput yang bergoyang.


Bogor, 13 Juni 2015
Pukul 09.25

26 Mei, 2015

EKSPEDISI WAKATOBI 2: Getir Cinta dan Peperangan

Ilustrasi (Foto:Guntur)



Tulisan ini memang sejak awal diniatkan untuk mengisi ruang kosong diblog untuk episode Ekspedisi Wakatobi.  Hanya saja, beberapa waktu lalu diminta untuk dimuat dalam buku berlatar wisata “Wakatobi; Catatan Para Penyaksi” yang diterbitkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi bekerjasama dengan PSP3-IPB dan Komunitas Informasi Wisata (KiTA) Wakatobi.  Namun, batin ini rasanya tak elok sesuatu yang telah diniatkan kemudian urung untuk dilaksanakan karena tanpa alasan.  Judulnya dalam buku dimodiifikasi menjadi BENTENG LIYA; Dari Romantisme Hingga Patriotisme.


*****

Siapa yang menyangka, dibalik puing reruntuhan batu-batu gunung cadas itu menyimpan selaksa kisah kasih yang tak sampai.  Mengharap menyatunya dua negeri dari sepasang hati, justru yang terjadi ujung parang dan belati yang saling mengacungi. Dendam dan amarah yang meluap-luap karena kaum yang merasa dikhianati. Ini bukan lagi hanya soal hati, namun telah mencederai jati dan harga diri. Kisah romantisasi kemudian melahirkan para patriot sejati.

Pintu Gerbang (lawa) Benteng Liya
Saat ini, kisah itu masih dikenang dalam memori kolektif orang Liya. Memang tak pernah ada yang mengharapkan peperangan, tapi jika muka dan harga diri yang tersakiti jangankan harta, nyawapun akan menjadi taruhannya. Kisah dua insan dan negeri inilah yang hendak saya telusuri di Benteng Liya dan melalui penuturan salah seorang tokoh Liya.

Perjalanan dimulai dari rumah tokoh tersebut di Kelurahan Pongo.  Tokoh tersebut menjadi tour guide perjalanan saya menyusuri jejak-jejak kejayaan Benteng Liya.  Usianya yang renta yakni 64 tahun tak lalu membuatnya kehilangan semangat.  Tubuhnya masih saja kuat menyusuri perkampungan di Benteng Liya. Kami ngobrol sebentar untuk menyepakati rencana perjalanan.

Dari kelurahan Pongo kami menggunakan mobil rental menuju perkampungan di Benteng Liya.  Dari sini, Benteng Liya dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 20 menit.  Benteng Liya tepat berada di ujung selatan Pulau Wangi-Wangi tepatnya Desa Liya Togo.   Tepat berhadapan dengan Pulau Kaledupa.


Meriam di salah satu gerbang

Kebetulan rumah tokoh itu berada di pasar pagi Wangi-Wangi.  Pasar ini banyak menjajakan makanan tradisional khas Wakatobi.  Kami lalu membeli panganan tradisional sebagai bekal.  Ada baruasa, karasi, kue putar dan aneka panganan tradisional lainnya.  Bagi anda yang hendak melakukan trip ke spot-spot wisata Pulau Wangi-Wangi, saya menyarankan untuk singgah terlebih dahulu di pasar pagi ini untuk membeli perbekalan.  Tapi ingat, sesuai namanya pasar pagi hanya buka sampai pukul 10 pagi.

Perjalananpun dimulai.  Sang tokoh mulai berkisah.  Wakatobi dimasa lampau merupakan bagian yang terintegrasi dengan Kesultanan Buton.  Jika di Kaledupa ada bharata Kaledupa, maka di Pulau Wangi-Wangi terdapat empat kadieKadie ini tempat bermukimnya empat sub etnis Buton yaitu Mandati, Wanci, Liya dan Kapota.  Masing-masing kadie dipimpin oleh seorang Meantuu. Berbeda dengan kadie lain di kesultanan Buton, kepala kadie disebut dengan lakina.

Menuju Benteng Liya, kami menyusuri sepanjang pantai barat pulau Wangi-Wangi yang indah dengan pasir putihnya yang bersih.  Sepanjang pantai barat ini terdapat gugusan karang indah yang cocok untuk snorkling dan diving.  Disepanjang pantai barat ini pula saat senja akan nampak panorama sunset.
 
Pulau Oroho terlihat dari Benteng Liya
Sebelum memasuki kawasan Benteng Liya, kami harus melalui Desa Liya Bahari.  Liya Bahari merupakan hasil dinamisasi komunitas di Desa Liya Togo.  Disinilah kami menyakasikan pusat budidaya rumput laut.  Tour guide mengajak kami mampir sebentar disitu untuk berinteraksi dengan komunitas rumput laut. Awalnya, komunitas ini dulunya bermata pencaharian petani jagung dan singkong.  Desa Liya Bahari oleh UNESCO di tetapkan sebagai salah satu spot konservasi biosfer dunia di Wakatobi.

Hasil penelusuran yang saya lakukan, di Pulau wangi-Wangi ini pemukiman pertama terdapat di sebelah selatan tepat di daerah pantai.  Lokasi tersebut didiami oleh orang-orang Mandati.  Sementara orangLiya awalnya bermukim di Oroho.  Disinilah kisah cinta yang tragis itu bermula.

Kisah cinta Itu Berakhir Perang
Dahulu, orang Liya awalnya bermukim di Oroho.  Oroho adalah nama sebuah pulau kecil yang terdapat diantara Pulau Wangi-Wangi dan pulau Kaledupa.  Pulau Oroho biasa disebut juga dengan Pulau Komponu One.  Kata Komponu One berati perutnya pasir.  Di Pulau tersebut komunitas Liya mendiami sebuah tempat yang disebut Tonganu Togo atau dalam bahasa Indonesia berarti tengahnya kampung.

Pulau ini memiliki keindahan pantai yang luar biasa.  Pasirnya putih bersih dengan laut yang masih jernih.  Ikan-ikan karang yang menari-nari mengitari gugusan karang menjadi daya tarik tersendiri buat para penyelam.  Seolah-olah kepulauan Wakatobi tecipta dari tetesan embun sorga yang menetes dari kolong langit dan Pulau Oroho salah satu percikan embun sorga itu.  Jika berkunjung ke Pulau Wangi-Wangi, Pulau Oroho sangat recomended untuk dikunjungi.
 
Gadis Wakatobi (foto:Deddy)
Lalu muncul inisiatif antara orang Mandati yang mendiami pantai selatan Wangi-Wangi dengan orang Liya yang mendiami Pulau Oroho untuk saling mendekatkan diri.  Dua komunitas ini bersepakat untuk menikahkan seorang putri cantik dari Pulau Oroho dengan pangeran tampan dari pesisir selatan Wangi-Wangi.  Pertautan cinta dan hati dari sepasang insan ini hendak mereka jadikan sebagai simbol ikatan persaudaraan.

Konon katanya, putri tersebut memiliki paras wajah yang sangat cantik.  Setiap gerakaanya gemulai laksana tarian lariangi yang terkenal itu.  Budi baik, tutur kata dan perangainya yang santun menambah kesempurnaan kecantikannya.  Sementara pangeran dari Mandati memiliki wajah nan tampan.  Tentu dimasa lampau lelaki terpilih selalu dibekali ilmu kanuragan yang mampuni untuk menjaga negeri. Keduanya memang sepadan untuk dipertautkan.

Tibalah saat para tetua kedua komunitas menentukan “hari baik”.  Kedua insan dipertemukan lalu pandangan mereka saling bertautan.  Sejenak keduanya terbawa oleh susana hasrat jiwa yang menghanyutkan. Dada keduanya berdebar-debar bukan karena ketakutan tapi semangat kebahagiaan.  Energi cinta makin terasa pekat merajai kedua insan yang dirundung kasmaran itu.  Chemistry  sangat kuat diantara mereka.

“Hari baik” ditentukan dengan dua buah pohon kayu.  Sepotong pohon kayu di tancapkan di Oroho dan sepotong pohon kayu lainnya ditancapkan di kampung orang Mandati.  Kesepakannya adalah, jika sepotong kayu tersebut telah lapuk dimakan masa maka saat itulah pelamaran dan ijab kabul dilangsungkan.  Orang Mandati akan datang membawa seserahan dan adat untuk meminang Sang Putri.

Semua orang menanti “hari baik” itu.  Saat inilah sepasang kekasih dirundung rindu yang sangat.  Waktu seolah berjalan lambat menunggu saat yang menentukan.  Hari berganti pekan, pekan berganti bulan dan bergulir menjadi tahun.  Penantian itu dilewati dengan sangat berat.
 
Penduduk asli Benteng Liya
Perihal yang tak diharapkan terjadi. Potongan pohon kayu tadi yang diharapkan menjadi pintu masuk kebahagiaan berubah menjadi sumber malapetaka.  Potongan pohon kayu di Oroho telah lapuk dimakan masa, tapi sayang tanpa sepengatahuan orang Liya potongan kayu di Mandati justru berakar, bertunas dan tumbuh menjadi pohon baru.  Akibatnya,  Lamaran tak kunjung datang.

Orang Liya pun mengklaim bahwa orang Mandati telah mengkhianati kesepakatan.  Cinta sepasang kekasih menjelma menjadi genderang perang antar dua negeri.  Kerinduan saat “hari baik” menjadi kemarahan yang luar biasa.  Bagi orang Liya ini adalah pengkhianatan yang telah mencoreng harga diri negeri dan tak termaafkan.  Orang Liya lalu membalasnya dengan penyerangan atas orang mandati.

Liya berhasil menaklukkan Mandati dan merebut wilayah pesisir selatan Wangi-Wangi.  Orang Mandati terpukul mundur ke utara hingga sekarang menempati pesisir barat Pulau wangi-Wangi.  Saat ini, perkampungan Mandati menjadi pusat kota di Pulau Wangi-Wangi. Komunitas Liya lalu membangun perkampungan di wilayah selatan Pulau Wangi-Wangi.  Perkampungan itu agak menjorok keatas yang kini dikenal sebagai Desa Liya Togo.  Disinilah dibangun sebuah benteng yang mengelilingi pemukiman penduduk.  Komunitas Liya saat ini telah berkembang menjadi beberapa desa yang mendiami wilayah sekitarnya.

Cinta dan Patriotisme
Selain romantisme, sejarah Liya juga diisi dengan kisah heroik dan patriotisme.  Tokoh yang sangat dikenang sebagi tokoh heroik oleh orang Liya adalah La Kuhairi yang diberi gelar talo-talo.  Gelar ini diberikan padanya setelah berhasil menghalau gempuran bajak laut dari Tobelo.  Selain itu, La Kuhairi juga berhasil menumpas pemberontakan di Bombonawulu atas perintah sultan Buton.  Kisah peperangan ini dikenang dalam memori kolektif orang Liya melalui tari Honari Mosega dan Tamburu.  Tarian ini hingga sekarang masih digelar pada event tahunan di Benteng Liya.  Dengan berbagai prestasinya, La Kuhairi diangkat menjadi Meantuu Liya ke 7. Tak hanya itu, Liya juga menjadi penasehat sultan Buton untuk pertanahan keamanan.
 
Meantu'u Liya sedang berziarah di makam La Kuhairi
Struktur ruang benteng ditata sedemikian rupa sebagai mekanisme pertahanan benteng.  Ada zona inti yang berada ditengah sebagai pusat.  Di zona inti terdapat masjid tua yang berhadapan dengan baruga.  Baruga digunakan untuk pertemuan perangkat pemerintahan Liya.  Masjid dan baruga dipisahkan oleh tanah lapang atau alun-alun untuk pusat aktifitas adat.  Sisi kiri dan kanan lapangan terdapat kompleks makam tokoh Liya dan meantuu Liya 7 serta liang yang telah ditutupi dengan susunan batu gunung hingga menyerupai monumen.

Sekitar zona inti dikelilingi oleh pemukiman penduduk.  Rumah-rumah penduduk hingga saat ini masih banyak yang bertahan dan telah berusia ratusan tahun dengan arsitektur rumah adat Liya.  Disetiap sudut-sudut empat penjuru mata angin terdapat pos pertahanan yang masing-masing pos pertahanan dijaga seorang panglima.  Di zona inti terdapat bangunan tua sebagai pusat kordinasi pertahanan.  Dibangunan inilah La Kuhairi mengatur strategi perang dan pertahanan.

Benteng Liya memiliki daya tarik tersendiri sebagai salah satu destinasi wisata di Pulau Wangi-Wangi.  Benteng tersebut menyuguhkan wisata sejarah dan budaya.  Berbagai situs bersejarah ratusan tahun masih bertahan hingga sekarang.  Dinding benteng masih berdiri kokoh walaupun beberapa sisinya telah runtuh dimakan usia.  Beberapa pintu gerbang (lawa) sebagai pintu masuk benteng yang diapit oleh meriam Portugis yang siap menghadang musuh yang menyerang.

Dari benteng ini dapat disaksikan view laut dan pulau yang begitu indah.  Berjejer pulau-pulau utama Wakatobi yaitu Kaledupa, Tomia dan Binongko.  Nampak pula Pulau Oroho tempat dimana nenek moyang orang Liya berasal.

Sejak awal perjalanan hingga kembali pulang, hati saya dipenuhi decak kagum.  Imaginasi saya terhempas ke masa lalu untuk menemukan wujud yang dikisahkan.  Saya baru menyusuri satu sisi kepulauan Wakatobi namun telah menemukan deretan anugerah Ilahi yang begitu dahsyat melalui budaya komunitas dan keindahan alamnya.  Tuhan seolah sedang tersenyum saat menciptakan gugusan pulau Wakatobi.

Dalam hati saya berbisiksaya harus kembali bekunjung ke pulau ini, sebagian hati saya telah tertambat disini”.


Wakatobi, 15 November 2014.