Entri Populer

Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

25 April, 2015

BUMI YANG TERDESAK; Bag. 2

Menemukan jalan keluar

Manusia sedang menggali liang kuburnya sendiri. Tak lagi perlahan dan juga pasti. Cukup sering kita melihat kerusakan lingkungan dimana-mana. Sejumlah gejala dan perubahan alam tak lagi terjadi secara alami tapi dipicu oleh ulah manusia. Banjir, tanah longsor, kekeringan, badai dan serangan hama pertanian acap kali kita dengar bahkan mungkin tengah kita rasakan saat ini.  Pemanasan global (global warming) telah melelehkan es dikutub dalam waktu singkat.  Pulau-pulau kecil terancam tenggelam, banyak biota laut terancam punah.  Manusia tak hanya sedang menggali liang kuburnya, tapi sedang menciptakan kiamatnya sendiri, secara perlahan dan pasti.
 
Ilustrasi
Tentu kita tak boleh tinggal diam.  Kita semua harus bersikap karena rumah kita sedang terancam, bumi tempat kita tinggal sedang terguncang.  Bumi yang indah ini sedang terdesak dan ibarat bom, sewaktu-waktu dapat meledak dahsyat.  Kita semua harus bisa menemukan jalan keluar dari keterdesakan ini.

But how..? gimana caranya..?

Telah cukup lama para pemikir, akademisi dan orang pintar merumuskan ini. Namun belum ada formula yang jitu.  Robert Malthus (1798) pernah mengungkapkan kepesimisannya tentang keberlanjutan bumi dimasa depan.  Malthus mengungkapkan bahwa ada hubungan dinamis antara populasi penduduk dengan ketersediaan pangan, dimana populasi bertambah dengan prinsip deret ukur sedangkan pangan bertambah dengan logika deret hitung.  Hingga pada akhirnya akan terjadi kelangkaan (scarcity) sumberdaya.  Terlebih lagi alam ini mengalami kecenderungan penurunan produktivitas seiring waktu yang disebut diminishing return.

Kelompok Malthusian yang ekstrim berpendapat bahwa bencana alam, peperangan dan wabah penyakit menjadi solusi untuk menghindari kepunahan bumi karena populasi manusia berkurang dengan massif.  Bahkan kalau perlu peperangan dan wabah tersebut di create untuk mengurangi beban bumi atas populasi manusia.  Saya (kita) tentu tidak setuju dengan jalan keluar yang dirumuskan oleh kelompok Malthusian ektrim itu.  Masa memperjuangkan hak-hak kemanusiaan dengan cara yang tidak manusiawi dan mengorbankan manusia pula.

Ilustrasi
Kelompok Ricardian menjawabnya dengan solusi ekonomi.  Ketersediaan sumberdaya dipicu dengan mendorong produktivitas bumi (lahan).  Alam ini dipandang sebagai mesin pertumbuhan (engine of growth) untuk menghasilkan sumberdaya. Inovasi teknologi menjadi variabel penting disini untuk memicu pertumbuhan.  Namun nyatanya, para ekonomlah yg selama ini menjadi pelaku utama degradasi alam.

Belakangan kelompok ini terlihat mulai “insaf” dengan melekatkan label “hijau” dalam proses produksinya.  Maka muncullah jargon ekonomi hijau, ekonomi pencemaran, industri hijau ataupun jargon lain yang seolah begitu sensitif dan peduli terhadap lingkungan. Saya dan kita boleh curiga dong dengan jargon itu.  Mengapa tidak, mempersandingkan dua istilah yang paradoks yakni “ekonomi” dan “hijau” (ekologi) menjadi terasa aneh.  Dimana nyambungnya yang satu sarat eksploitasi yang satu sarat konservasi, yang satu sarat merusak sedang satunya sarat memperbaiki dan menjaga. Aneh kan..?

Atau istilah ekonomi pencemaran dan istilah industri hijau.  Katanya, pada proses produksi sebuah industri harus menghitung biaya pencemaran atau biaya ekternalitas.  Biaya ini harus disiapkan untuk menanggulangi pencemaran yang timbul akibat aktivitas industri.  Saya hanya merasa janggal saja.  Saya menangkap kesan seolah pencemaran itulah adalah hal yang “disengaja” atau “mutlak” adanya dalam industri, cukup ditangani dengan menyediakan biaya pencemarannya.  Lagi pula betulkah biaya pencemaran itu ditanggung oleh industri.  saya sih kurang yakin, karena begitu biaya pencemaran masuk dalam input produksi maka output berupa produk industri sampai di pasaran harganya menjadi lebih mahal.  Jadi secara tidak langsung konsumenlah yang menanggung biaya pencemaran itu.  Hhhmmm.,capek dech….!!

Mohon maaf, makin kebelakang tulisan ini terkesan menjadi sinis.  Sekali lagi, mohon maaf tak ada niat untuk menjelek-jelekkan.  Mungkin ini hanya luapan perasaan atas traumatik ekologi yang terasa begitu pekat. Telah begitu lama terasa, jauh sebelum saya dilahirkan di muka bumi. Atau saya hentikan saja tulisan yang bernada sinis ini takut malah menjadi dosa dan fitnah.

Ilustrasi
Saya tak hendak menjadi  sok pahlawan dan idealis dengan bahasa yang rada kritis.  Ataupun merasa sok cerdas dengan menemukan solusi yang baik atas problem bumi kita hari ini.  Namun, saya memiliki satu keyakinan bahwa Tuhan menciptakan manusia dan alam ini dengan tujuan yang baik.  Manusia dan alam dicipta ibarat saudara kembar dengan postur dan substansi yang sama, saling mengisi satu sama lain. Jika alam dan manusia dicipta atas tujuan baik, maka alam dan manusia itu merupakan manifestasi kebaikan secara aktif dan kontinyu.

Dalam doktrin ekologi menegaskan bahwa alam ini, bumi yang kita pijak ini merupakan satu sistem ekologi yang saling terkoneksi yang disebut dengan ekosistem.  Entitas-entitas dalam ekosistem itu saling mempengaruhi satu sama lain secara fungsional, sehingga jika satu intensitas terganggu maka dapat menggangu sistem fungsi secara keseluruhan.  Ekosistem bumi ini juga memiliki sistem yang otomatis untuk memperbaiki (to improve).  Oleh Tuhan telah disiapkan bahwa alam memiliki daya untuk memperbaiki elemen-elemen yang rusak dan bertahan dari benturan dan tekanan.  Ini yang disebut dengan daya lenting (resilince).

Jika alam memiliki daya atau mekanisme seperti ini maka manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling paripurna tentu juga memiliki sistem yang sama.  Bahkan mungkin lebih canggih. 

Lalu apa daya atau mekanisme itu dalam diri manusia..??

Sebelum kita menjawabnya, saya ingin mengungkapkan keyakinan saya yang lain.  Fenomena dan perubahan alam yang kita sebut sebagai bencana yang terjadi saat ini bukanlah kejadian biasa secara alami.  Namun lebih dipicu oleh aktivitas manusia atau sebagai dampak interaksi eksploitatifnya terhadap alam. Karena bencana itu dipicu oleh manusia maka saya kurang sepakat jika menyebutnya sebagai bencana alam.  Atau tepatnya banjir, tanah longsor, kemarau panjang, badai, global warning, parahnya hama pertanian dan sejenisnya adalah bencana kemanusiaan, bukan bencana alam.

Kaitannya dengan pertanyaan diatas, menurut saya ada daya atau mekanisme to improve dalam diri manusia berada pada mode non active sehingga bencana kemanusiaan itu terjadi.  Teori Minimum Liebig mengatakan bahwa produktivitas sebuah sistem sangat ditentukan oleh elemen paling lemah dari sistem itu.  Dan menurut saya elemen paling lemah dari sistem kemanusiaan kita adalah elemen moralitas, etis, mentalitas ataupun sejenisnya. Akibatnya produktivitas kita berakhir dengan destruktive dan bencana.

Nampaknya kita sudah terlampau lama terhempas jauh dari nilai-nilai kerifan yang selama ini diajarkan oleh nenek moyang kita dan kitab suci kita. Diri kita terlalu menuruti hasrat ingin memiliki dan menguasai yang kita sendiri tidak tahu dimana batasnya.  Kata “cukup” seolah tak ada sisi pinggirnya. Buktinya, nenek moyang kita lebih berhasil menjaga alam ini ketimbang kita dan berhasil menjaga warisan itu dengan baik hingga sampai pada kita hari ini.

Bisa jadi kita telah keliru dalam mengambil tindakan penyelamatan lingkungan, karena sesungguhnya bukan alam lah yang rusak tapi kemanusiaan kitalah yang sedang tergerus dan terdegradasi.  Bukan alam yang harus dikonservasi dan direhabilitasi tapi kemanusiaan kitalah yang harus dikonservasi dan direhabilitasi. 

Ilustrasi
Telah sejak lama nenek moyang kita dan para nabi melalui kitab sucinya mengingatkan pesan-pesan moril ini, tapi sayang kita cenderung abai terhadapnya.  Kitab-kitab itu kita hafalkan dengan baik tapi tak mengejawantah dalam tingkah dan laku kita.  Jika kita tidak membuang sampah disembarang tempat dan tidak menembang sembarang pohon mungkin tak ada laut dan sungai yang tercemar.  Tidak ada longsor yang terjadi, banjir juga tak seheboh dan sedahsyat seperti sekarang ini.

Sejarah kemanusiaan kita membuktikan, saat kemanusiaan kita hampir tergerus habis maka akan datang “nabi” baru sebagai juru selamat.  Mungkin sudah waktunya “nabi” baru itu hadir ditengah-tengah kita.  “Nabi” baru yang hadir dalam bentuk pemimpin yang menginspirasi kita.

Sudah terlalu lama kepemimpinan dipegang oleh para politisi, ekonom bahkan akademisi.  Namun ternyata mereka telah membuktikan bahwa mereka gagal menginspirasi kita.  Atau mungkin sudah waktunya tokoh agamawan,budayawan dan seniman yang selama ini memahami, menyatu dan penjaga moral menjadi pemimpin kita.

Atau bisa jadi tak ada yang pantas dari kita yang menjadi pemimpin dan pewaris bumi sampai betul-betul tidak abai terhadap kemanusiaan kita sendiri.  Asal jangan sekali-kali mengatakan bahwa Tuhan telah lama meninggalkan kita dan bumi yang kita pijak ini.


Bogor, 24 April 2015
Masih dalam suasana Hari Bumi.





 

BUMI YANG TERDESAK; Bag. 1




Bumi ini cukup  untuk memberi makan seluruh populasi manusia
Tapi tidak cukup memberi makan untuk seorang manusia rakus
~Mahatma Gandhi~



 JUDUL tulisan ini saya ambil dari salah satu judul buku lama yang terselip di rak buku. Judul aslinya adalah Consumption, Population and Sustainability; Perspective from Science and Religion yang di editori oleh oleh Audrey R Chapman, Rodney L. Petersen dan Barbara Smith-Moran.   Buku inipun kalau nggak salah saya belinya ditempat buku-buku loak dan bajakan.  Tapi saya jamin buku yang ini asli lho..,

Yah betul.,buku ini tentang lingkungan, atau tepatnya keresahan tentang lingkungan, tentang bumi kita, rumah besar tempat kita tinggal. Temanya tak ada yang baru tapi masih cukup up to date untuk menggambarkan kondisi lingkungan kekinian.  Memang cukup sulit untuk menemukan tema-tema baru seputar keresahan lingkungan karena dari dulu persoalan lingkungan tak kunjung  terselesaikan bahkan semakin pelik.  Kendati inovasi baru terkait penyelamatan bumi semakin gencar dilakukan, tapi seolah tak memberikan pengaruh yang “wah”.  Kerusakan masih saja terus terjadi.

Saya sangat tertarik dengan core issue buku ini. Yah., mungkin karena berkaitan dengan disiplin ilmu saya.  Tapi saya semakin tertarik lagi karena core issue tersebut berkaitan dengan tesis saya, daya dukung (carrying capasity) dari bumi kita.  Judulnya pun cukup metaforis dan provokatif untuk menggambarkan core issue nya.

Isu-isu lingkungan saat ini mulai mendapat perhatian serius dimata global (global warning).  Perhatian tersebut memuncak diawal dekade 80-an dengan mulai dicetuskannya KTT Bumi.  Namun lagi-lagi belum memberikan jalan keluar atas ketersesatan ekologi penduduk bumi dan obat mujarab bagi penyakit yang diderita bumi kita.

Daya dukung (carrying capasity) secara sederhana dimaknai sebagai kemampuan suatu lahan tertentu untuk menampung atau memberi kehidupan secara baik dan layak berdasarkan sumber daya yang dimilikinya.  Konsep ini menurut Soemarwoto (2003) awalnya digunakan untuk menghitung kapasitas optimal suatu padang rumput untuk menghidupi populasi ternak secara baik dan sehat.  Konsep daya dukung kemudian semakin berkembang sesuai dengan bidang penerapannya.  Dari sini lalu berkembang istilah daya tampung (assimilative capasity) dan daya lenting (resilience) untuk menjelaskan daya dukung secara lebih konprehensif.

Ilustrasi
Persoalan [Bumi] Kita
Daya dukung (carrying capasity) dalam banyak riset ekologi digunakan sebagai ukuran keberlanjutan ekosistem (ecosistem sustainability).  Kaitannya dengan keberlanjutan bumi kita, ada 3 masalah pelik yang tengah kita hadapi saat ini dalam taraf yang cukup akut, yaitu masalah tekanan penduduk (populasi), kebutuhan ruang tinggal dan ketersediaan sumberdaya.

Tahun 2013, PBB pernah merilis bahwa penduduk bumi kita telah mencapai 7,2 milyar dan akan terus tumbuh menjadi 8,1 milyar pada tahun 2025, lalu menjadi 9,6 milyar pada tahun 2050.  Prediksi tersebut semakin dipertegas oleh Dr Adrian Raftery, profesor statistik dan sosiologi di Universitas Washington, AS.  Bahkan diprediksi pada tahun 2100 jumlah penghuni dunia akan mencapai 11 milyar.,Woowww….!!!

Raftery menegaskan pentumbuhan penduduk dunia ini sangat nampak pada negara di benua Afrika, China dan India.  Hasil kalkulasinya ia menegaskan bahwa terdapat peluang 80 % populasi Afrika menjadi 3,5 sampai 5,1 milyar dipenghujung abad ini. Sedangkan populasi India dan China mencapai puncaknya hingga 5 milyar pada tahun 2050.  Peningkatan populasi manusia di bumi berbanding lurus dengan peningkatan penyebaran penyakit, kemiskinan, kriminalitas dan penyakit sosial lainnya.

Masalah ruang juga masalah yang cukup pelik akhir-akhir ini. Peningkatan jumlah populasi juga diikuti meningkatnya kebutuhan ruang tinggal yang layak. Problemnya adalah populasi penduduk merupakan sesuatu yang dinamis dimana ukurannya terus meningkat, sedangkan ruang adalah sesuatu yang statis, dimana ukuran bumi dari dulu tetap sejak adanya makhluk hidup.

Ilustrasi
Contoh kecil saja, sepasang pengantin baru setelah mengucap janji suci melalui ijab kabul lalu membeli rumah. Mereka sepakat rumahnya tak perlu besar asalkan penuh cinta di dalamnya. Cukup 2 kamar tidur 1 ruang tengah yang merangkap ruang tamu, ruang keluarga dan ruang makan sekaligus.  10 tahun kemudian telah hadir 3 pendatang baru hasil buah cinta mereka.  Kini rumah sederhana itu tak lowong lagi, terasa lebih sempit karena jumlah orang telah bertambah.  Cinta yang tadinya memenuhi ruang harus tergusur di depan pintu karena ada “konflik” ruang di dalam rumah.

Seperti itulah bumi kita hari ini.  Ruang bumi semakin terasa sesak karena populasi yang terus mendesak.  Belum lagi ulah manusia-manusia rakus yang merasa kebutuhannya tak pernah cukup kendati kantung dan rekeningnya sudah ber digit-digit.  Hutan terus saja dirambah, tegakan pohon dalam waktu singkat berganti menjadi tegakan tembok.  Pencemaran dimana-mana. Dulunya air dan udara adalah barang illith (bebas tak berharga), kini mulai menjadi barang mahal dan susah dicari.

Masalah pelik lainnya hari ini adalah terkait sumberdaya untuk keberlangsungan hidup.  Sumberdaya utama yang sangat mendesak adalah pangan dan energi.  Disatu sisi semakin banyak penduduk yang mebutuhkan pangan sehat, namun disisi lain lahan pertanian terus tergerus menjadi pemukiman dan mall.  Aneh juga rasanya, pertanian menjadi tidak digemari dan dipandang kolot oleh banyak orang.  Seolah mereka tak lagi makan nasi tapi makan batu dan tembok.

Ilustrasi
Terkait energi, penduduk bumi terlalu bergantung pada energi fosil yang tidak (dapat) terbarukan. Sementara cadangan energi fosil bumi semakin menipis.  Saya heran, di Indonesia saat BBM dinaikkan masyarakat marah dan demostrasi dimana-mana.  Belum lagi para politisi busuk “menggoreng” isu kenaikan BBM demi kepentingan pragmatisnya.

Menurut saya, problemnya bukan naiknya harga BBM tapi dampak kenaikan BBM dan  disiapkannya energi alternatif terbarukan dan ramah lingkungan.  Harga BBM memang harus naik untuk menggeser secara perlahan pola konsumsi energi masyarakat dari energi fosil ke energi alternatif terbarukan.  Sebut saja sebagai misal energi biomass, energi surya, panas bumi, energi air, angin dan samudera.  Di Indonesia energi-energi itu begitu melimpah hanya belum mendapat perhatian yang serius.

Bahkan untuk energi panas bumi Indonesia memiliki 40 % cadangan panas bumi dunia.  Betapa tidak wilayah nusantara dipenuhi gunung berapi.  Saat ini Indonesia melalui Pertamina tengah mengembangkan energi panas bumi di Sibayak (Sumatera Utara), Kamojang (Garut, Jawa Barat) dan Lahendong (Sulawesi Utara) dengan total kapasitas terpasang sebesar 162 MW.  Menurut saya ini inovasi cerdas untuk menjawab kebutuhan energi masa depan.

23 April, 2015

SENJA KEMBALI DATANG

Foto: Muhammad MF



Senja kembali datang.  Mataharipun kembali sembunyi dibalik kegelapan sembari menabur kerinduan melalui cahayanya yang merah temaram.  Kerinduan yang menjanjikan sejuta harapan bersama tetes embun pagi esok pagi.  Sungguh, senja ini seolah mewakili kerinduanku yang selalu semakin pekat terasa dari sebelumnya.

Senja kembali datang.  Untuk 12.151 kalinya saya menemui senja selama hidupku. Senja kali ini saya sedang berada di teras rumah kontrakan dikompleks yang sesak.  Sesesak dada ini yang pekat oleh kerinduan.  Sesekali saya mengurutnya dengan mata yang berkaca-kaca.

Biasanya, kita akan semakin meresapi makna sesuatu setelah kita kehilangannya.  Kita akan lebih meresapi betapa berharganya kebersamaan setelah hadirnya perpisahan.  Ini yang tengah saya hadapi sekarang.  Berpisah jauh dari keluarga dan orang-orang terkasih.

Sepintas, saya merasa sedang berada diajungan waktu yang terus bergulir.  Lalu tiba-tiba terhempas kembali ke masa lalu melalui jendela kenangan.  Bayangan kebersamaan itu hadir kembali.  Kebersamaan yang penuh canda dan tawa, ciuman dan pelukan juga sedih dan tangis bergumul jadi satu.  Saya kembali mengurut dada.,

“ah.,saya sedang merindu”  Bisikku dalam hati.

Dalam situasi seperti ini biasanya kita menemukan makna baru.  Makna baru yang memberikan  jawaban atas kehidupan yang tengah kita jalani kendati kita mungkin belum sempat mempertanyakannya.  Mungkin beginilah salah satu cara Tuhan membisikkan kita petunjuk.  Petunjuk-Nya hadir dalam situasi kita terhempas agar lebih tersimpan dalam benak kita.

Mungkin jarang orang menyadari bahwa kehidupan ini berputar dengan pola yang berulang. Matahari yang tenggelam disenja hari ini adalah matahari yang juga terbit esok hari. Jika matahari senja mengumpulkan segala kerinduan maka pagi menjanjikan segala harapan. Demikian seterusnya

Tapi bukankah kerinduan dan harapan adalah cinta. Lantas apa hubungannya dengan dengan kehidupan..?

Hidup dan cinta adalah bagai dua sisi mata uang.  Keduanya adalah ruang dan waktu.  Jika hidup adalah lintasannya maka cinta adalah pelarinya.  Jika hidup adalah wadahnya maka cinta adalah isinya.  Jika hidup adalah jasadnya maka cinta adalah ruhnya. Jika kehidupan tanpa cinta maka ia tak punya makna,demikian pula sebaliknya.  Hidup dan cinta bermetamorfosis untuk saling mengisi dan memberi makna.  Menjalani hidup maka berarti sedang meresapi hadirnya cinta.

Artinya, cinta tidak abadi dong karena kehidupan akan berakhir oleh kematian.

Hidup memang adalah menunggu kematian tapi kematian bukanlah akhir dari segala kehidupan.  Kematian hanyalah salah satu etape dalam proses transformasi.  Kematian menjadi pintu masuk untuk mengawali kehidupan yang baru. Sama halnya kelahiran, kematian merupakan ekspresi  yang paling konkrit dari kemenyatuan kerinduan dan harapan.  Jadi, tak ada alasan yang logis untuk menakuti hadirnya kematian.




Bogor, 22 April 2015
Senja di Bogor ditengah penatnya menuntaskan tesis..,