Entri Populer

Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

26 Mei, 2015

EKSPEDISI WAKATOBI 2: Getir Cinta dan Peperangan

Ilustrasi (Foto:Guntur)



Tulisan ini memang sejak awal diniatkan untuk mengisi ruang kosong diblog untuk episode Ekspedisi Wakatobi.  Hanya saja, beberapa waktu lalu diminta untuk dimuat dalam buku berlatar wisata “Wakatobi; Catatan Para Penyaksi” yang diterbitkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi bekerjasama dengan PSP3-IPB dan Komunitas Informasi Wisata (KiTA) Wakatobi.  Namun, batin ini rasanya tak elok sesuatu yang telah diniatkan kemudian urung untuk dilaksanakan karena tanpa alasan.  Judulnya dalam buku dimodiifikasi menjadi BENTENG LIYA; Dari Romantisme Hingga Patriotisme.


*****

Siapa yang menyangka, dibalik puing reruntuhan batu-batu gunung cadas itu menyimpan selaksa kisah kasih yang tak sampai.  Mengharap menyatunya dua negeri dari sepasang hati, justru yang terjadi ujung parang dan belati yang saling mengacungi. Dendam dan amarah yang meluap-luap karena kaum yang merasa dikhianati. Ini bukan lagi hanya soal hati, namun telah mencederai jati dan harga diri. Kisah romantisasi kemudian melahirkan para patriot sejati.

Pintu Gerbang (lawa) Benteng Liya
Saat ini, kisah itu masih dikenang dalam memori kolektif orang Liya. Memang tak pernah ada yang mengharapkan peperangan, tapi jika muka dan harga diri yang tersakiti jangankan harta, nyawapun akan menjadi taruhannya. Kisah dua insan dan negeri inilah yang hendak saya telusuri di Benteng Liya dan melalui penuturan salah seorang tokoh Liya.

Perjalanan dimulai dari rumah tokoh tersebut di Kelurahan Pongo.  Tokoh tersebut menjadi tour guide perjalanan saya menyusuri jejak-jejak kejayaan Benteng Liya.  Usianya yang renta yakni 64 tahun tak lalu membuatnya kehilangan semangat.  Tubuhnya masih saja kuat menyusuri perkampungan di Benteng Liya. Kami ngobrol sebentar untuk menyepakati rencana perjalanan.

Dari kelurahan Pongo kami menggunakan mobil rental menuju perkampungan di Benteng Liya.  Dari sini, Benteng Liya dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 20 menit.  Benteng Liya tepat berada di ujung selatan Pulau Wangi-Wangi tepatnya Desa Liya Togo.   Tepat berhadapan dengan Pulau Kaledupa.


Meriam di salah satu gerbang

Kebetulan rumah tokoh itu berada di pasar pagi Wangi-Wangi.  Pasar ini banyak menjajakan makanan tradisional khas Wakatobi.  Kami lalu membeli panganan tradisional sebagai bekal.  Ada baruasa, karasi, kue putar dan aneka panganan tradisional lainnya.  Bagi anda yang hendak melakukan trip ke spot-spot wisata Pulau Wangi-Wangi, saya menyarankan untuk singgah terlebih dahulu di pasar pagi ini untuk membeli perbekalan.  Tapi ingat, sesuai namanya pasar pagi hanya buka sampai pukul 10 pagi.

Perjalananpun dimulai.  Sang tokoh mulai berkisah.  Wakatobi dimasa lampau merupakan bagian yang terintegrasi dengan Kesultanan Buton.  Jika di Kaledupa ada bharata Kaledupa, maka di Pulau Wangi-Wangi terdapat empat kadieKadie ini tempat bermukimnya empat sub etnis Buton yaitu Mandati, Wanci, Liya dan Kapota.  Masing-masing kadie dipimpin oleh seorang Meantuu. Berbeda dengan kadie lain di kesultanan Buton, kepala kadie disebut dengan lakina.

Menuju Benteng Liya, kami menyusuri sepanjang pantai barat pulau Wangi-Wangi yang indah dengan pasir putihnya yang bersih.  Sepanjang pantai barat ini terdapat gugusan karang indah yang cocok untuk snorkling dan diving.  Disepanjang pantai barat ini pula saat senja akan nampak panorama sunset.
 
Pulau Oroho terlihat dari Benteng Liya
Sebelum memasuki kawasan Benteng Liya, kami harus melalui Desa Liya Bahari.  Liya Bahari merupakan hasil dinamisasi komunitas di Desa Liya Togo.  Disinilah kami menyakasikan pusat budidaya rumput laut.  Tour guide mengajak kami mampir sebentar disitu untuk berinteraksi dengan komunitas rumput laut. Awalnya, komunitas ini dulunya bermata pencaharian petani jagung dan singkong.  Desa Liya Bahari oleh UNESCO di tetapkan sebagai salah satu spot konservasi biosfer dunia di Wakatobi.

Hasil penelusuran yang saya lakukan, di Pulau wangi-Wangi ini pemukiman pertama terdapat di sebelah selatan tepat di daerah pantai.  Lokasi tersebut didiami oleh orang-orang Mandati.  Sementara orangLiya awalnya bermukim di Oroho.  Disinilah kisah cinta yang tragis itu bermula.

Kisah cinta Itu Berakhir Perang
Dahulu, orang Liya awalnya bermukim di Oroho.  Oroho adalah nama sebuah pulau kecil yang terdapat diantara Pulau Wangi-Wangi dan pulau Kaledupa.  Pulau Oroho biasa disebut juga dengan Pulau Komponu One.  Kata Komponu One berati perutnya pasir.  Di Pulau tersebut komunitas Liya mendiami sebuah tempat yang disebut Tonganu Togo atau dalam bahasa Indonesia berarti tengahnya kampung.

Pulau ini memiliki keindahan pantai yang luar biasa.  Pasirnya putih bersih dengan laut yang masih jernih.  Ikan-ikan karang yang menari-nari mengitari gugusan karang menjadi daya tarik tersendiri buat para penyelam.  Seolah-olah kepulauan Wakatobi tecipta dari tetesan embun sorga yang menetes dari kolong langit dan Pulau Oroho salah satu percikan embun sorga itu.  Jika berkunjung ke Pulau Wangi-Wangi, Pulau Oroho sangat recomended untuk dikunjungi.
 
Gadis Wakatobi (foto:Deddy)
Lalu muncul inisiatif antara orang Mandati yang mendiami pantai selatan Wangi-Wangi dengan orang Liya yang mendiami Pulau Oroho untuk saling mendekatkan diri.  Dua komunitas ini bersepakat untuk menikahkan seorang putri cantik dari Pulau Oroho dengan pangeran tampan dari pesisir selatan Wangi-Wangi.  Pertautan cinta dan hati dari sepasang insan ini hendak mereka jadikan sebagai simbol ikatan persaudaraan.

Konon katanya, putri tersebut memiliki paras wajah yang sangat cantik.  Setiap gerakaanya gemulai laksana tarian lariangi yang terkenal itu.  Budi baik, tutur kata dan perangainya yang santun menambah kesempurnaan kecantikannya.  Sementara pangeran dari Mandati memiliki wajah nan tampan.  Tentu dimasa lampau lelaki terpilih selalu dibekali ilmu kanuragan yang mampuni untuk menjaga negeri. Keduanya memang sepadan untuk dipertautkan.

Tibalah saat para tetua kedua komunitas menentukan “hari baik”.  Kedua insan dipertemukan lalu pandangan mereka saling bertautan.  Sejenak keduanya terbawa oleh susana hasrat jiwa yang menghanyutkan. Dada keduanya berdebar-debar bukan karena ketakutan tapi semangat kebahagiaan.  Energi cinta makin terasa pekat merajai kedua insan yang dirundung kasmaran itu.  Chemistry  sangat kuat diantara mereka.

“Hari baik” ditentukan dengan dua buah pohon kayu.  Sepotong pohon kayu di tancapkan di Oroho dan sepotong pohon kayu lainnya ditancapkan di kampung orang Mandati.  Kesepakannya adalah, jika sepotong kayu tersebut telah lapuk dimakan masa maka saat itulah pelamaran dan ijab kabul dilangsungkan.  Orang Mandati akan datang membawa seserahan dan adat untuk meminang Sang Putri.

Semua orang menanti “hari baik” itu.  Saat inilah sepasang kekasih dirundung rindu yang sangat.  Waktu seolah berjalan lambat menunggu saat yang menentukan.  Hari berganti pekan, pekan berganti bulan dan bergulir menjadi tahun.  Penantian itu dilewati dengan sangat berat.
 
Penduduk asli Benteng Liya
Perihal yang tak diharapkan terjadi. Potongan pohon kayu tadi yang diharapkan menjadi pintu masuk kebahagiaan berubah menjadi sumber malapetaka.  Potongan pohon kayu di Oroho telah lapuk dimakan masa, tapi sayang tanpa sepengatahuan orang Liya potongan kayu di Mandati justru berakar, bertunas dan tumbuh menjadi pohon baru.  Akibatnya,  Lamaran tak kunjung datang.

Orang Liya pun mengklaim bahwa orang Mandati telah mengkhianati kesepakatan.  Cinta sepasang kekasih menjelma menjadi genderang perang antar dua negeri.  Kerinduan saat “hari baik” menjadi kemarahan yang luar biasa.  Bagi orang Liya ini adalah pengkhianatan yang telah mencoreng harga diri negeri dan tak termaafkan.  Orang Liya lalu membalasnya dengan penyerangan atas orang mandati.

Liya berhasil menaklukkan Mandati dan merebut wilayah pesisir selatan Wangi-Wangi.  Orang Mandati terpukul mundur ke utara hingga sekarang menempati pesisir barat Pulau wangi-Wangi.  Saat ini, perkampungan Mandati menjadi pusat kota di Pulau Wangi-Wangi. Komunitas Liya lalu membangun perkampungan di wilayah selatan Pulau Wangi-Wangi.  Perkampungan itu agak menjorok keatas yang kini dikenal sebagai Desa Liya Togo.  Disinilah dibangun sebuah benteng yang mengelilingi pemukiman penduduk.  Komunitas Liya saat ini telah berkembang menjadi beberapa desa yang mendiami wilayah sekitarnya.

Cinta dan Patriotisme
Selain romantisme, sejarah Liya juga diisi dengan kisah heroik dan patriotisme.  Tokoh yang sangat dikenang sebagi tokoh heroik oleh orang Liya adalah La Kuhairi yang diberi gelar talo-talo.  Gelar ini diberikan padanya setelah berhasil menghalau gempuran bajak laut dari Tobelo.  Selain itu, La Kuhairi juga berhasil menumpas pemberontakan di Bombonawulu atas perintah sultan Buton.  Kisah peperangan ini dikenang dalam memori kolektif orang Liya melalui tari Honari Mosega dan Tamburu.  Tarian ini hingga sekarang masih digelar pada event tahunan di Benteng Liya.  Dengan berbagai prestasinya, La Kuhairi diangkat menjadi Meantuu Liya ke 7. Tak hanya itu, Liya juga menjadi penasehat sultan Buton untuk pertanahan keamanan.
 
Meantu'u Liya sedang berziarah di makam La Kuhairi
Struktur ruang benteng ditata sedemikian rupa sebagai mekanisme pertahanan benteng.  Ada zona inti yang berada ditengah sebagai pusat.  Di zona inti terdapat masjid tua yang berhadapan dengan baruga.  Baruga digunakan untuk pertemuan perangkat pemerintahan Liya.  Masjid dan baruga dipisahkan oleh tanah lapang atau alun-alun untuk pusat aktifitas adat.  Sisi kiri dan kanan lapangan terdapat kompleks makam tokoh Liya dan meantuu Liya 7 serta liang yang telah ditutupi dengan susunan batu gunung hingga menyerupai monumen.

Sekitar zona inti dikelilingi oleh pemukiman penduduk.  Rumah-rumah penduduk hingga saat ini masih banyak yang bertahan dan telah berusia ratusan tahun dengan arsitektur rumah adat Liya.  Disetiap sudut-sudut empat penjuru mata angin terdapat pos pertahanan yang masing-masing pos pertahanan dijaga seorang panglima.  Di zona inti terdapat bangunan tua sebagai pusat kordinasi pertahanan.  Dibangunan inilah La Kuhairi mengatur strategi perang dan pertahanan.

Benteng Liya memiliki daya tarik tersendiri sebagai salah satu destinasi wisata di Pulau Wangi-Wangi.  Benteng tersebut menyuguhkan wisata sejarah dan budaya.  Berbagai situs bersejarah ratusan tahun masih bertahan hingga sekarang.  Dinding benteng masih berdiri kokoh walaupun beberapa sisinya telah runtuh dimakan usia.  Beberapa pintu gerbang (lawa) sebagai pintu masuk benteng yang diapit oleh meriam Portugis yang siap menghadang musuh yang menyerang.

Dari benteng ini dapat disaksikan view laut dan pulau yang begitu indah.  Berjejer pulau-pulau utama Wakatobi yaitu Kaledupa, Tomia dan Binongko.  Nampak pula Pulau Oroho tempat dimana nenek moyang orang Liya berasal.

Sejak awal perjalanan hingga kembali pulang, hati saya dipenuhi decak kagum.  Imaginasi saya terhempas ke masa lalu untuk menemukan wujud yang dikisahkan.  Saya baru menyusuri satu sisi kepulauan Wakatobi namun telah menemukan deretan anugerah Ilahi yang begitu dahsyat melalui budaya komunitas dan keindahan alamnya.  Tuhan seolah sedang tersenyum saat menciptakan gugusan pulau Wakatobi.

Dalam hati saya berbisiksaya harus kembali bekunjung ke pulau ini, sebagian hati saya telah tertambat disini”.


Wakatobi, 15 November 2014.


24 Mei, 2015

MENGHADIRKAN MAKNA


Ilustrasi

Oh simple thing, where have you gone?
I’m getting old and I need someone to rely on
So tell me when you’re gonna let me in
I’m getting tired and I need somewhere to begin

~penggalan lirik lagu Somewhere Only We Knew yang dilantunkan oleh Keane~

Semalam seorang kawan dekat mengabarkan bahwa ia sedang dimintai tolong oleh seorang kawan lamanya untuk memberikan ide terkait nama putri pertama mereka yang sudah seminggu lahir.  Kawan dekat itu nampaknya sedikit kesususahan memberikan ide yang diminta. Sudah tiga ide nama disodorkan namun semua ditolak oleh yang empunya putri.  Tapi kawan dekat itu maklum, bagaimana perasaan sepasang orang tua muda saat menerima kehadiran anak pertama. Sekian waktu kebahagian itu dinanti, segala doa dan harapan ingin dicurahkan Sang orang tua baru kepada anaknya, termasuk pilihan nama terbaik tentunya.  Berbagai ide susul-menyusul akhirnya mantap pada satu nama, nama yang terbaik tentunya.

Di belahan bumi lain, pagi ini seorang sahabat saya yang lain tengah melangsungkan prosesi ijab kabul.  Saya cukup memahami bagaimana perasaan yang bergumul di dadanya pagi ini. Bahagia haru dan kecemasan bergumul jadi satu merajai dirinya.  Bahagia haru dirasakan karena inilah nikmat Tuhan, jawaban atas doa-doanya selama ini untuk dipertemukan pada perempuan pilihan terbaik.  Namun kecemasan juga mengambil tempat di batin sahabat itu, mengingat masa depan yang tidak pasti setelah ijab kabul menjadi babakan baru dalam hidupnya.  Tentu setiap langkah akan semakin dihitung dan ditakar ketimbang waktu masih sendiri.  Mungkin disinilah perlunya mengundang sanak famili dan handai taulan untuk hadir mengantar, meminta bantuan mereka memberikan doa-doa terbaik sebagai pembuka jalan dan cahaya penerang bagi mempelai.

Dan saya disini tengah larut dalam alunan musik dan lirik lagu Somewhere Only We Knew yang dilantunkan oleh Keane.  Dentuman musiknya memang luar biasa, tapi saya lebih menemukan kedalaman dari liriknya.  Sekejab diri saya membentuk jejaring makna kejadian diatas dengan penggalan-penggalan lirik Keane.
I walked across an empty land
I knew the pathway like the back of my hand
I felt the earth beneath my feet
Sat by the river and it made me complete
…..
Oh simple thing, where have you gone?
I’m getting old and I need someone to rely on
So tell me when you’re gonna let me in
I’m getting tired and I need somewhere to begin

Lirik lagu itu begitu dalam menelusuk masuk ke batinku. Ia seolah sedang menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan yang di dalamnya terdapat etape-etape yang harus dilewati.  Putri cantik yang diberi nama itu menjadi etape bagi dirinya untuk memulai perjalanan hidup yang mungkin juga akan sampai pada etape sahabat saya yang sedang ijab kabul.  Rasa-rasanya hidup ini bagai siklis dengan pola berulang.

Saya lalu terhenti lama pada sutu pertanyaan, lalu apa tujuan hidup ini, kemana kita akan berakhir..?

Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855)
Pertanyaan itu telah lama dipikirkan oleh para filsuf dan sampai hari ini jawabannya masih samar.  Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) seorang filsuf beraliran eksistensialisme menawarkan satu rumusan tentang hidup.  Bagi Kierkegaard hidup adalah milik individu, setiap orang merupakan subjek atas proses hidupnya sendiri, apa yang dilakukannya sehari-hari.  Karena itu Kierkegaard menekankan pentingnya seorang bersungguh-sungguh dalam menghayati hidupnya secara benar untuk menemukan ke-auntetikan atas kehadirannya.

Entah seperti apa penghayatan hidup yang dipahami Kierkegaard, yang jelas ia memutuskan pertunangannya dengan seorang perempuan cantik bernama Regine Olsen.  Padahal kala itu semua orang tahu bahwa mereka saling mencintai.  Saat Regine Olsen ingin kembali menemui Kierkegaard di Denmark, Kierkegaard telah terkujur kaku dalam kesunyian sendiri ditengah pekat cintanya kepada Regine Olsen.  Sebagai bukti cintanya pada Kierkegaard, Regine Olsen meminta dikuburkan disamping makam Kierkegaard.

saya tidak dapat menemaninya di alam ini, mungkin saya bisa abadi bersamnya di alam sana” pikir Regine Olsen.

Saya teringat pada sebuah buku yang ditulis oleh professor filsafat Louis O. Kattsoff. Dalam bukunya itu Kattsoff sedikit mengurai tentang konsep Being (mengada) dan Becoming (proses menjadi).  Menurutnya setelah proses “mengada” (Being)  manusia adalah makhluk yang belum selesai, ia harus melalui rentetan proses menjadi untuk menyempurnakan kemanusiaannya (Becoming).  Filasafat timur pun percaya bahwa kemanusiaan adalah sekumpulan potensi yang inhern menjadi fitrah untuk teraktual selama hidupnya.

Namun sampai kapan proses Becoming itu berujung atau dengan kata lain kapan manusia bisa menyempurna..?  Rasa-rasanya saya agak kepikiran bahwa hanya kematian yang mengantarkan pada kesempurnaan itu.  Atau bisa jadi Kierkegaard sudah menemukan jawabannya hingga harus menghadapi kematian dengan cara itu.  Pantas saja bagi para sufi menganggap kematian sebagai berjumpaan dari kerinduan Sang Kekasih.  Mungkin kita harus menghayati makna Innalillahi wa Innailaihi Rajiun.

Di ujung waktuku, suara Keane masih terdengar sayup-sayup  melantunkan lagu Somewhere Only We Knew.  Diakhir lagu, liriknya kendati bernada tanya namun memberikan semangat optimistik terhadap hidup.

And if you have a minute why don’t we go
Talk about it somewhere only we know?
‘Cause this could be the end of everything,
So why don’t we go
Somewhere only we know?
Somewhere only we know?

Bagi saya hidup itu adalah soal memilih tindakan dan menghadirkan makna atas tindakan itu.  Pertanyaannya, sudahkah kita memaknai tindakan-tindakan itu..?

 

Bogor, 24 Mei 2015
Pukul 07.30 WIB