Entri Populer

Pages

24 Mei, 2015

MENGHADIRKAN MAKNA


Ilustrasi

Oh simple thing, where have you gone?
I’m getting old and I need someone to rely on
So tell me when you’re gonna let me in
I’m getting tired and I need somewhere to begin

~penggalan lirik lagu Somewhere Only We Knew yang dilantunkan oleh Keane~

Semalam seorang kawan dekat mengabarkan bahwa ia sedang dimintai tolong oleh seorang kawan lamanya untuk memberikan ide terkait nama putri pertama mereka yang sudah seminggu lahir.  Kawan dekat itu nampaknya sedikit kesususahan memberikan ide yang diminta. Sudah tiga ide nama disodorkan namun semua ditolak oleh yang empunya putri.  Tapi kawan dekat itu maklum, bagaimana perasaan sepasang orang tua muda saat menerima kehadiran anak pertama. Sekian waktu kebahagian itu dinanti, segala doa dan harapan ingin dicurahkan Sang orang tua baru kepada anaknya, termasuk pilihan nama terbaik tentunya.  Berbagai ide susul-menyusul akhirnya mantap pada satu nama, nama yang terbaik tentunya.

Di belahan bumi lain, pagi ini seorang sahabat saya yang lain tengah melangsungkan prosesi ijab kabul.  Saya cukup memahami bagaimana perasaan yang bergumul di dadanya pagi ini. Bahagia haru dan kecemasan bergumul jadi satu merajai dirinya.  Bahagia haru dirasakan karena inilah nikmat Tuhan, jawaban atas doa-doanya selama ini untuk dipertemukan pada perempuan pilihan terbaik.  Namun kecemasan juga mengambil tempat di batin sahabat itu, mengingat masa depan yang tidak pasti setelah ijab kabul menjadi babakan baru dalam hidupnya.  Tentu setiap langkah akan semakin dihitung dan ditakar ketimbang waktu masih sendiri.  Mungkin disinilah perlunya mengundang sanak famili dan handai taulan untuk hadir mengantar, meminta bantuan mereka memberikan doa-doa terbaik sebagai pembuka jalan dan cahaya penerang bagi mempelai.

Dan saya disini tengah larut dalam alunan musik dan lirik lagu Somewhere Only We Knew yang dilantunkan oleh Keane.  Dentuman musiknya memang luar biasa, tapi saya lebih menemukan kedalaman dari liriknya.  Sekejab diri saya membentuk jejaring makna kejadian diatas dengan penggalan-penggalan lirik Keane.
I walked across an empty land
I knew the pathway like the back of my hand
I felt the earth beneath my feet
Sat by the river and it made me complete
…..
Oh simple thing, where have you gone?
I’m getting old and I need someone to rely on
So tell me when you’re gonna let me in
I’m getting tired and I need somewhere to begin

Lirik lagu itu begitu dalam menelusuk masuk ke batinku. Ia seolah sedang menggambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan yang di dalamnya terdapat etape-etape yang harus dilewati.  Putri cantik yang diberi nama itu menjadi etape bagi dirinya untuk memulai perjalanan hidup yang mungkin juga akan sampai pada etape sahabat saya yang sedang ijab kabul.  Rasa-rasanya hidup ini bagai siklis dengan pola berulang.

Saya lalu terhenti lama pada sutu pertanyaan, lalu apa tujuan hidup ini, kemana kita akan berakhir..?

Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855)
Pertanyaan itu telah lama dipikirkan oleh para filsuf dan sampai hari ini jawabannya masih samar.  Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) seorang filsuf beraliran eksistensialisme menawarkan satu rumusan tentang hidup.  Bagi Kierkegaard hidup adalah milik individu, setiap orang merupakan subjek atas proses hidupnya sendiri, apa yang dilakukannya sehari-hari.  Karena itu Kierkegaard menekankan pentingnya seorang bersungguh-sungguh dalam menghayati hidupnya secara benar untuk menemukan ke-auntetikan atas kehadirannya.

Entah seperti apa penghayatan hidup yang dipahami Kierkegaard, yang jelas ia memutuskan pertunangannya dengan seorang perempuan cantik bernama Regine Olsen.  Padahal kala itu semua orang tahu bahwa mereka saling mencintai.  Saat Regine Olsen ingin kembali menemui Kierkegaard di Denmark, Kierkegaard telah terkujur kaku dalam kesunyian sendiri ditengah pekat cintanya kepada Regine Olsen.  Sebagai bukti cintanya pada Kierkegaard, Regine Olsen meminta dikuburkan disamping makam Kierkegaard.

saya tidak dapat menemaninya di alam ini, mungkin saya bisa abadi bersamnya di alam sana” pikir Regine Olsen.

Saya teringat pada sebuah buku yang ditulis oleh professor filsafat Louis O. Kattsoff. Dalam bukunya itu Kattsoff sedikit mengurai tentang konsep Being (mengada) dan Becoming (proses menjadi).  Menurutnya setelah proses “mengada” (Being)  manusia adalah makhluk yang belum selesai, ia harus melalui rentetan proses menjadi untuk menyempurnakan kemanusiaannya (Becoming).  Filasafat timur pun percaya bahwa kemanusiaan adalah sekumpulan potensi yang inhern menjadi fitrah untuk teraktual selama hidupnya.

Namun sampai kapan proses Becoming itu berujung atau dengan kata lain kapan manusia bisa menyempurna..?  Rasa-rasanya saya agak kepikiran bahwa hanya kematian yang mengantarkan pada kesempurnaan itu.  Atau bisa jadi Kierkegaard sudah menemukan jawabannya hingga harus menghadapi kematian dengan cara itu.  Pantas saja bagi para sufi menganggap kematian sebagai berjumpaan dari kerinduan Sang Kekasih.  Mungkin kita harus menghayati makna Innalillahi wa Innailaihi Rajiun.

Di ujung waktuku, suara Keane masih terdengar sayup-sayup  melantunkan lagu Somewhere Only We Knew.  Diakhir lagu, liriknya kendati bernada tanya namun memberikan semangat optimistik terhadap hidup.

And if you have a minute why don’t we go
Talk about it somewhere only we know?
‘Cause this could be the end of everything,
So why don’t we go
Somewhere only we know?
Somewhere only we know?

Bagi saya hidup itu adalah soal memilih tindakan dan menghadirkan makna atas tindakan itu.  Pertanyaannya, sudahkah kita memaknai tindakan-tindakan itu..?

 

Bogor, 24 Mei 2015
Pukul 07.30 WIB




0 komentar:

Posting Komentar