Entri Populer

Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

24 Mei, 2016

ISLAM YANG MENYEJUKKAN


Ilustrasi
Saya agak kurang mengerti dengan kelompok Islam yang anti demokrasi dan pancasila dan “ngotot” ingin menggantinya dengan yang mereka klaim sebagai negara Islam.  Sebagai awwam saya tidak ingin berdebat soal tafsir negara Islam dalam nash-nash suci Al Quran.  Mohon maaf, saya bukanlah seorang hafidz apalagi seorang yang mahfum tafsir.

Namun ini hanyalah pikiran nyeleneh dari seorang awwam seperti saya. Apakah saat ini negara Indonesia begitu tidak Islami sehingga kita harus menjadikannya sebagai negara “Islam”. Coba perhatikan, negara ini tidak menjadikan Al Quran dan Hadist secara formal sebagai ideologi dan konstitusi ataupun sebagai dasar negara.  Akan tetapi ada banyak Undang-Undang dan regulasi lainnya mengakomodir kepentingan orang Islam. 

Sebut saja Undang-Undang pernikahan, Zakat, hukum waris, haji dan hal-hal muamalah lainnya yang semua mengakomodir kepentingan umat Islam.  Bahkan orang Islam disiapkan secara khusus oleh negara sebuah pengadilan sendiri untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang berkaitan dengan syariah muamalah yakni Pengadilan Agama Islam (PAI). Tak hanya itu, disediakan pula oleh negara sebuah kementerian yang seolah-olah hanya milik orang Islam yaitu Kementerian Agama (KEMENAG). 
Walaupun ikut mengurusi agama selain agama Islam tapi liat saja logonya adalah Al Qu’ran dan berapa banyak pegawainya adalah muslim dan mengasuh ribuan pondok pesantren dan madrasah. Atau periksa pula struktur organisasi kementerian itu bidang-bidang kerjanya lebih banyak adalah domain Islam.  Belum lagi istilah-istilah yang digunakan juga istilah bahasa Arab.  Toh itupun kalau kita sepakat bahwa bahasa Arab identik dengan bahasa Al Qur’an/Islam karena Rasulullah Muhammad berbangsa Arab.

Kurang Islami apa lagi negara ini, kita hendak menuntut apa lagi..?? 

Bagi saya yang terpenting bukan mendirikan negara Islam tapi seberapa nyaman negara menyediakan fasilitas dan menciptakan kondisi bagi saya umat Islam untuk secara nyaman menjalankan agama saya dan bisa bermuamalah dengan sesama muslim atau umat yang lainnya.  Bagi saya saat ini, saya telah menemukan kenyamanan untuk menjalankan ibadah saya dengan baik.  Lihat saja dimana-mana kita dengan mudah menemukan masjid dan mushallah.  Setiap kantor, hotel  hingga restoran dan rumah makan menyediakan fasilitas untuk kita menjalankan shalat lima waktu.  Lantas belum optimalkah situasi ini bagi kita sebagai ummat Islam menjalankan Ibadah kita..??

Walaupun tidak dapat dipungkiri, di beberapa daerah di Indonesia pernah atau sedang terjadi konflik SARA.  Tapi bagi saya itu lebih pada permukaannya saja, penyebab utamanya lebih pada soal-soal ekonomi politik, kemiskinan, pemerataan pembangunan dan semacamnya.  Jika itu problem utamanya maka solusinya dibutuhkan kehadiran negara disana menciptakan kesejahteraan dan mengokohkan keadlian.  Dan untuk melakukan itu tak perlu negara yang berlabel Islam.
Bagi saya, makna Rahmatan Lil Alamin itu laksana air.  Air, bagaimanapun bentuk bejananya ia akan tetap menjadi air.  Ia akan menyelusup masuk disetiap ruang dan sudut bejana lalu memberi kedamaian dan kesejukan disana.  Begitulah Islam. Biarlah Islam melalui tangan-tangan kita muslim berinteraksi dengan indah dengan berbagai kultur di nusantara, menyelusup masuk dalam setiap sendi-sendi kehidupan kita. Perlahan mereka beradaptasi dengan prinsip akidah Islam lalu akhirnya Islam memberi kesejukan rahmatan lil alamin.

Sebagaimana pula air akan mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah. Jika kita ummat muslim ingin mengalirkan Islam maka tinggikanlah akhlak dan haluskanlah budi pekerti keummatan kita.  Dengan cara ini, saya yakin Islam tak hanya menjadi rahmatan lil alamin namun menjadi keteladan bagi umat yang lain. Negara tak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk me-Revolusi Mental rakyat, ummat muslim dengan sendirinya merevolusi mentalnya lalu mereplikasinya.

Airpun bisa memanas bahkan mendidih jika suhunya dinaikkan.  Jika suhu air naik maka ia akan kehilangan kesejukan.  Demikian pula Islam akan kehilangan kesejukan jika kita umat muslim mendahulukan amarah dan kekerasan dalam berdakwah.  Air pula dapat membeku kaku tak dinamis jika suhunya dibawah titik nol.  Islam pun demikian kan terasa sangat kaku, jika kita umat muslim yang tidak berfikir dinamis dan inklusif serta membangun semangat etos bekerja keras dan berkarya.

Mohon maaf, ini cara saya orang awwam ber-Islam, saya tak akan memaksakan ini ke diri anda.

Wallahu A’lam Bissawab.

Bogor,  24 Mei 2016
Pukul  00.39 WIB

22 Mei, 2016

ANAK NELAYAN KOLAGANA MENANTANG ZAMAN

Anak Nelayan Kolagana

Matanya awas tajam menatap hamparan samudra. Kulitnya yang legam menandakan betapa akrabnya Ia dengan dunianya,laut.  Baginya hamparan samudra biru adalah bentangan sejuta harapan.  Sesekali ia duduk diatas ujung sampannya sembari melepas pandanganya ke arah samudra.  Mungkin saja dalam benaknya ia sedang membuat perhitungan dengan sang samudra.  Lalu keceriaan kembali merajainya saat teman-temannya menyapa untuk kembali bermain disela-sela membantu kesibukan orang tuanya yang membudidayakan rumput laut.  Sekelompok anak nelayan Kolagana usia 4-7 tahun telah terbiasa dengan hempasan air laut dan cadasnya batu karang.

Beberapa waktu yang lalu bersama keluarga saya pergi melihat kebun almarhum kakek saya di Kolagana.  Letak kebun itu tepat dekat laut,luasnya beberapa hektar namun agak landai.  Sayang kebun itu hampir tak terurus sama sekali.  Saya membayangkan di kebun itu dibangun villa dan pemandaangannya langsung menjorok ke laut.  Hanya saja investasinya pasti sangat besar.

Tak jauh dari situ, ada sebuah sumur tepat dibibir pantai.  Anehnya menurut penduduk setempat yang lagi hendak mencuci dan mengambil air minum,air sumur tersebut rasanya tawar dan langsung bisa diminum tanpa dimasak.  Sumur itu menjadi sumber utama untuk memenuhi kebutuhan air minum warga Kolagana. Sumur itu menjadi oase bagi warga ditengah tandus dan teriknya alam Kolagana.  Setiap hari warga datang berbondong-bondong lalu mencari posisi strategis disekitar sumur untuk melakukan sebagian ritual rumah tangga.  Apa lagi kalau bukan mandi, mencuci dan mengangkut air untuk dibawa pulang ke rumah.  Anak-anak merekapun tak ketinggalan. Setelah puas bermain sampan di laut, bergegas ke sumur untuk membilasl badan mengusir rasa asin yang melekat.

Paman saya begitu akrabnya menyapa setiap warga yang ia temui.  Sesekali mereka bercanda dan saling mengejek menggunakan bahasa yang tidak saya mengerti.  Menurut cerita paman saya bahwa penduduk Kolagana ini semua adalah orang Baruta.  Sejak dulu orang Baruta bermigrasi ke Kolagana dan berkebun.  Rupanya tepat di depan Kolagana adalah Baruta,hanya berjarak kurang lebih 500 meter dipisahkan oleh selat Buton.  Selat inilah yang setiap harinya dilalui oleh kapal cepat menuju raha dan Kendari.  Bahkan kapal PELNI yang berukuran kecil melalui selat itu ketika hendak merapat ke Pelabuhan Murhum Baubau.  Menurut informasi,kendati sempit selat di depan Baruta itu sangat dalam.  Menurut cerita Ibu saya, Paman saya itu waktu kecil biasa berenang dari Baruta ke Kolagana untuk pergi sekolah.

Dari bahasa yang mereka gunakan sehari-hari, nampaknya termasuk dalam rumpun bahasa Pancana.  Rumpun bahasa ini tersebar hampir disetiap pinggiran Pulau Buton dan hampir seluruh bagian Pulau Muna dengan beragam dialek dan beberapa kosa kata dengan fonologi yang agak berbeda.  Mereka terkenal sebagai pelaut yang ulung untuk menangkap hasil laut ataupun berdagang.  Makanya saat ini banyak dari mereka menetap dan berdagang di daerah timur nusaantara sana.  Dalam sebuah catatan yang pernah saya baca bahwa rumpun Pancana ini jauh lebih dulu datang menempati pulau Buton sebelum datangnya Mia Patamiana dari Johor itu.

Nampaknya cukup beralasan ketika antropolog Pelras dari hasil penelitiannya memasukkan bangsa Buton sebagai salah satu dari lima bangsa maritim di Nusantara.  Empat bangsa yang lain adalah Bajo, Makassar, Mandar dan Madura.

*************

Anak-anak nelayan Kolagana itu masih terus bermain dengan senyum lugunya.  Mereka hanya mengenal dunia laut.  Mereka belum tau bahwa disekitar mereka tangan-tangan tak kelihatan (invisible hand) telah lama bergerak mengeksploitasi sumber daya alam.  Tak jarang tangan-tangan tak kelihatan itu berselingkuh dengan kekuasaan saling bertanam saham dan berbagi laba.  Mereka (mungkin saja) belum sadar bahwa zaman berlari dengan kencangnya digerakkan oleh motor ke-modern-an.  Geliat zaman begitu cepat, dalam hitungan detik dunia terus berubah.

Apakah yang akan terjadi pada anak-anak nelayan Kolagana itu nantinya?  Tak mungkin ke-edan-an dunia dijawab dengan ke-lugu-an.  Entahlah..,mungkin mereka akan tenang-tenang saja selama sumur mereka tak diganggu, orang tua mereka masih bisa membudidayakan rumput laut dan mereka masih bisa bermain sampan di laut Kolagana yang Biru.


Baubau, 2 September 2010
Jam 13:20 WITA.

04 Mei, 2016

LUKISAN II : Untuk Seseorang

Gadis Di Depan Cermin Karya Pablo Picasso
Engkau adalah lukisan
Dengan pancaran coretan warna
Yang tergores indah diatas kanvas tubuhmu
Sukmaku hanyut, tenggelam diantara
Belantara keindahan yang kau pancarkann

Engkau bagaikan lentera
Di kegelapan
Yang dengan cahayamu
Menuntunku
Aku rela menerjang padang berduri
Dan kuharap engkau berkenan
Mendamparkan wajahmu diatas serpihan rusukku

Rerumputan bergoyang gemulai
Mengikuti musik irama angin
Seperti itu pulalah tarian tubuhmu
Setiap perjaka yang melihatmu
Pasti akan penuh hasrat birahi
Tetapi aku tak seperti mereka
Sebab engkau adalah
Lukisan yang terselesaikan


UNHAS, Februari 2003

LUKISAN I

Aku adalah lukisan
Yang belum terselesaikan
Dan mungkin tak akan pernah terselesaikan
Melalui kanvas di bibirmu
Padahal aku sudah berjanji
Akan melumat semua di bibirmu

Kehidupan, alam adalah lukisan
Sang Kreator Agung
Yang sesekaali dapat
Ia sobek kembali
Keindahan disekelilingku
Tidak melihat aku sebagai lukisan utuh
Dengan keindahan paripurna
Karena aku adalah lukisan yang tak terselesaikan
Oleh kanvas bibirmu

Tapi aku tak akan menyalalahkan
Sang Kreator
Aku akan setia memuja
Mengharapakan Cinta yang mengantarkan
Pada Kreator
Cinta adalah keabadian
Yang menghantar pada kesempurnaan

Kehidupan manusia laksana
Bahtera tanpa layaar
Bila tak tersentuh cinta
Cinta bukan ciuman, pelukan ataupun persenggamaan
Cinta datang mewakili dirinya

Turutilah kata cinta
Meskipun ia membawamu pada kematian
Karena kehidupan adalah
Menunggu kematian, maka
Lukisanpun terselesaikan

Makaassar, 2003

MENGANGKUH….

Ilustrasi
 Sejak kita ditakdirkan untuk terdampar dan masuk dalam scenario kehidupan
 yang tidak jelas mana yang benar dan salah
sementara tindakan kita mesti jelas hitam putihnya. 
Larut dalam ketidakpastian membuat kita hanyut dalam keputusasaan. 
Namun, pada diri kita yang lain masih meyakini ada jalan pulang yang pasti,
ada sisi kemanuasiaan kita yang selalu saja meyakinkan bahwa
hidup ini harus diperjuangkan. 
Kita masih punya perasaan cinta dan sayang.

Dalam konteks social perjuangan kadang kita salah tempatkan
bahkan banyak yang mengaku pejuang tapi tidak tahu
 apa yang sedang diperjuangkan.  Atas nama perjuangan justru kita
menggiring diri dalam lembah yang mengangkuh.
Bagiku perjuangan tidak lain hanyalah manifestasi adanya cinta
karena cinta memang harus di perjuangkan.  Itu saja... 
Perjuangan yang tidak beraras cinta adalah mengangkuh
dan itu adalah pengkhianatan paling besar terhadap diri sendiri.
 Jujurlah untuk mengakui bahwa kita memang mencintai. 
Cinta punya sejuta bahasa untuk pengakuan. 
Kesejatian dan kesempurnaan diri
tidak akan kita temukan dalam ruang yang masih
mengarifi kepura-puraan dan menyembunyikan kejujuran.

Tamalanrea, 23 November 2007