Entri Populer

Pages

22 Mei, 2016

ANAK NELAYAN KOLAGANA MENANTANG ZAMAN

Anak Nelayan Kolagana

Matanya awas tajam menatap hamparan samudra. Kulitnya yang legam menandakan betapa akrabnya Ia dengan dunianya,laut.  Baginya hamparan samudra biru adalah bentangan sejuta harapan.  Sesekali ia duduk diatas ujung sampannya sembari melepas pandanganya ke arah samudra.  Mungkin saja dalam benaknya ia sedang membuat perhitungan dengan sang samudra.  Lalu keceriaan kembali merajainya saat teman-temannya menyapa untuk kembali bermain disela-sela membantu kesibukan orang tuanya yang membudidayakan rumput laut.  Sekelompok anak nelayan Kolagana usia 4-7 tahun telah terbiasa dengan hempasan air laut dan cadasnya batu karang.

Beberapa waktu yang lalu bersama keluarga saya pergi melihat kebun almarhum kakek saya di Kolagana.  Letak kebun itu tepat dekat laut,luasnya beberapa hektar namun agak landai.  Sayang kebun itu hampir tak terurus sama sekali.  Saya membayangkan di kebun itu dibangun villa dan pemandaangannya langsung menjorok ke laut.  Hanya saja investasinya pasti sangat besar.

Tak jauh dari situ, ada sebuah sumur tepat dibibir pantai.  Anehnya menurut penduduk setempat yang lagi hendak mencuci dan mengambil air minum,air sumur tersebut rasanya tawar dan langsung bisa diminum tanpa dimasak.  Sumur itu menjadi sumber utama untuk memenuhi kebutuhan air minum warga Kolagana. Sumur itu menjadi oase bagi warga ditengah tandus dan teriknya alam Kolagana.  Setiap hari warga datang berbondong-bondong lalu mencari posisi strategis disekitar sumur untuk melakukan sebagian ritual rumah tangga.  Apa lagi kalau bukan mandi, mencuci dan mengangkut air untuk dibawa pulang ke rumah.  Anak-anak merekapun tak ketinggalan. Setelah puas bermain sampan di laut, bergegas ke sumur untuk membilasl badan mengusir rasa asin yang melekat.

Paman saya begitu akrabnya menyapa setiap warga yang ia temui.  Sesekali mereka bercanda dan saling mengejek menggunakan bahasa yang tidak saya mengerti.  Menurut cerita paman saya bahwa penduduk Kolagana ini semua adalah orang Baruta.  Sejak dulu orang Baruta bermigrasi ke Kolagana dan berkebun.  Rupanya tepat di depan Kolagana adalah Baruta,hanya berjarak kurang lebih 500 meter dipisahkan oleh selat Buton.  Selat inilah yang setiap harinya dilalui oleh kapal cepat menuju raha dan Kendari.  Bahkan kapal PELNI yang berukuran kecil melalui selat itu ketika hendak merapat ke Pelabuhan Murhum Baubau.  Menurut informasi,kendati sempit selat di depan Baruta itu sangat dalam.  Menurut cerita Ibu saya, Paman saya itu waktu kecil biasa berenang dari Baruta ke Kolagana untuk pergi sekolah.

Dari bahasa yang mereka gunakan sehari-hari, nampaknya termasuk dalam rumpun bahasa Pancana.  Rumpun bahasa ini tersebar hampir disetiap pinggiran Pulau Buton dan hampir seluruh bagian Pulau Muna dengan beragam dialek dan beberapa kosa kata dengan fonologi yang agak berbeda.  Mereka terkenal sebagai pelaut yang ulung untuk menangkap hasil laut ataupun berdagang.  Makanya saat ini banyak dari mereka menetap dan berdagang di daerah timur nusaantara sana.  Dalam sebuah catatan yang pernah saya baca bahwa rumpun Pancana ini jauh lebih dulu datang menempati pulau Buton sebelum datangnya Mia Patamiana dari Johor itu.

Nampaknya cukup beralasan ketika antropolog Pelras dari hasil penelitiannya memasukkan bangsa Buton sebagai salah satu dari lima bangsa maritim di Nusantara.  Empat bangsa yang lain adalah Bajo, Makassar, Mandar dan Madura.

*************

Anak-anak nelayan Kolagana itu masih terus bermain dengan senyum lugunya.  Mereka hanya mengenal dunia laut.  Mereka belum tau bahwa disekitar mereka tangan-tangan tak kelihatan (invisible hand) telah lama bergerak mengeksploitasi sumber daya alam.  Tak jarang tangan-tangan tak kelihatan itu berselingkuh dengan kekuasaan saling bertanam saham dan berbagi laba.  Mereka (mungkin saja) belum sadar bahwa zaman berlari dengan kencangnya digerakkan oleh motor ke-modern-an.  Geliat zaman begitu cepat, dalam hitungan detik dunia terus berubah.

Apakah yang akan terjadi pada anak-anak nelayan Kolagana itu nantinya?  Tak mungkin ke-edan-an dunia dijawab dengan ke-lugu-an.  Entahlah..,mungkin mereka akan tenang-tenang saja selama sumur mereka tak diganggu, orang tua mereka masih bisa membudidayakan rumput laut dan mereka masih bisa bermain sampan di laut Kolagana yang Biru.


Baubau, 2 September 2010
Jam 13:20 WITA.

0 komentar:

Posting Komentar