Tulisan ini
tidak hendak mengurai problema sawit khususnya di tanah air secara rinci dan
konfrehensif. Karena hal itu tentu saja
membutuhkan waktu dan energi yang lebih besar.
Sementara tulisan ini hanya hasil amatan pustaka, laporan dan berselancar di dunia maya. Namun setidaknya dapat memberikan gambaran
umum terkait wajah sawit di tanah air untuk menjadi bahan diskusi lebih lanjut.
Banyak yang
bilang negeri ini (baca: Indonesia) merupakan negara agraris. Mungkin dikarenakan, bentang lanskap alamnya menyajikan potensi lahan yang subur
untuk ditanami. Kondisi iklim tropis dengan curah hujan yang merata memberikan
kondisi yang sangat baik untuk tumbuh dan berkembangnya berbagai komoditi
pertanian dan perkebunan di Indonesia. Selain itu, secara sosiologis pertanian
membentuk suatu indentitas sosial di Indonesia.
Pertanian tidak hanya jalan pemenuhan ekonomi semata namun juga
membentuk tradisi dan struktur budaya masyarakat.
Dimasa orde
baru sektor pertanian (termasuk perkebunan) menjadi leading sector untuk menopang pembangunan nasional. Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) selama 25 tahun yang terbagi dalam REPELITA (Rencana
Pembangnan Lima Tahun, menempatkan pertanian sebagai sektor utama
pembangunan. Secara konseptual, ada tiga
strategi utama dalam pengembangan pertanian Indonesia yakni intensifikasi,
ekstensifikasi dan diversifikasi. Namun
faktanya, konsep ini tidak berjalan secara berimbang dimana terlalu difokuskan
pada intensifikasi pertanian. Hal ini
menyebabkan pertanian merosot tajam sampai titik nadir baik dari aspek sosial,
ekonomi maupun ekologi.
Saat ini
pertanian Indonesia mencoba kembali bangkit termasuk sub sektor
perkebunan. Beberapa komoditi unggulan
perkebunan kemudian mulai dikembangtumbuhkan secara lebih massif. Namun tentu saja, komoditi perkebunan harus
didukung oleh industri perkebunan yang baik dan modern. Hal ini mengakibatkan tidak ada komoditi
unggulan perkebunan bisa dijalankan sepenuhnya oleh masyarakat (petani) seperti
halnya komoditi padi, palawija dan hortikultura karena latar belakang petani
kita yang miskin. Artinya pengembangan
perkebunan mensyaratkan dua aspek penting yang berjalan secara simultan yaitu budidaya
komoditi strategis di hulu dan industri pengolahan pasca panen di hilir.
Dari sini
saya melihat, pada sektor perkebunan cuma ada dua aktor yang dapat bersaing
yaitu negara melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pihak swasta yang
memiliki kapital besar. Secara, sistemik
akhirnya petani semakin terpinggirkan dari lahan perkebunan. Kalaupun mereka hadir ditengah-tengah kebun,
hanya sebagai buruh kebun dan mitra yang dimodali pemilik modal dengan
komitment tertentu.
Salah satu
komoditi perkebunan unggulan Indonesia adalah Kelapa Sawit (Elaeis guinensis JACQ). Saat ini,
sawit menjadi komoditi internasional karena menghasilkan produk utama minyak sawit, CPO dan CPKO yang
diburu oleh pelaku pasar internasional. Produk
utama tersebut menjadi bahan baku industri hilir pangan maupun non pangan.
SEPINTAS SEJARAH SAWIT DI
INDONESIA
Kelapa sawit
bukan tanaman endemik Indonesia. Sawit termasuk
golongan tumbuhan palma yang datang dari negara asalnya Afrika. Di Indonesia, penyebarannya mulai dari daerah
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), pantai timur Sumatera, lalu ke Jawa dan
Sulawesi. Sawit menjadi populer setelah Revolusi Industri pada akhir abad ke-19
yang menyebabkan permintaan minyak nabati untuk bahan pangan dan industri sabun
menjadi tinggi. Di Indonesia, kelapa sawit diintroduksi pertama kali oleh Kebun
Raya pada tahun 1848 dari Mauritius (Afrika). Saat itu Johannes Elyas Teysmann
yang menjabat sebagai Direktur Kebun Raya. Hasil introduksi ini berkembang dan merupakan
induk dari perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara. Pohon induk ini telah mati
pada 15 Oktober 1989, tapi anakannya bisa dilihat di Kebun Raya Bogor hingga
sekarang. Kelapa Sawit mulai diusahakan
secara komersil pada tahun 1912 dan eksport minyak sawit pertama dilakukan pada
tahun 1919.
Situs
wikipedia.org (2013) menjabarkan bahwa pada tahun 1911, kelapa sawit mulai
diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia
Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt.
Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan
Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran
kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di
Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912. Di Malaya, perkebunan pertama
dibuka pada tahun 1917 di Ladang Tenmaran, Kuala Selangor menggunakan benih
dura Deli dari Rantau Panjang.
|
Amirah dan ibunya di Monumen Kelapa Sawit, Kebun Raya Bogor (foto koleksi pribadi) |
Sejarah awalnya tampak
bahwa pelaku usaha kelapa sawit terbatas pada perusahaan asing berskala besar
dan terintegrasi antara budidaya, pengolahan Pabrik Kelapa Sawit (PKS), dan
pemasaran hasilnya. Hal ini berlangsung hingga periode awal Republik. Sekitar
1958, beberapa perusahaan Belanda dinasionalisasikan dan diambil alih sebagai
Perusahaan Perkebunan Negara. Rakyat menjadi pelaku usaha perkebunan kelapa
sawit baru sekitar tahun 1980 dengan dikembangkannya program PIR (Perkebunan
Inti Rakyat) dalam rangka program akselerasi pembangunan perkebunan. Terdapat
beberapa versi PIR sesuai dengan sasaran dan sumber pendanaannya, seperti
PIR-BUN atau NES (Nucleus Estate and
Smallholder), PIR-TRANS dan PIR-KKPA telah mempercepat perkembangan usaha
perkebunan rakyat ini (KPPU, 2007)
Masa
pemerintahan orde baru pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka untuk
menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sebagai
penghasil devisa negara (Guritno,
2000). Di masa ini, perkembangan
kelapa sawit rakyat ini dapat dikatakan fenomenal. Berawal pada tahun 1980,
dalam sepuluh tahun pertama mencapai sekitar 300 ribu Ha, sepuluh tahun berikutnya
mencapai sejuta hektar lebih, dan kini telah mencapai lebih dari 1,8 juta
hektar. Dari luas areal kelapa sawit rakyat ini, disamping perkebunan plasma,
sebagian besar adalah perkebunan swadaya yang berinvestasi menggunakan dana
sendiri atau pinjaman, termotivasi oleh pengalaman sukses petani lain serta
prospek bisnis yang cerah (KPPU, 2007). .
Saat ini perkebunan sawit berkembang sangat pesat. Semula pelaku
perkebunan kelapa sawit hanya terdiri atas Perkebunan Besar Negara (PBN), namun
pada tahun yang sama pula dibuka Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan
Rakyat (PR) melalui
pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan selanjutnya berkembang pola swadaya. Data
dari Direktorat Jenderal Perkebunan (2009) menunjukkan pada tahun 1980 luas
areal kelapa sawit adalah 294.000 ha dan pada tahun 2009 luas areal perkebunan
kelapa sawit diperkirakan sudah mencapai 7,32 juta ha dimana 47,81% dimiliki
oleh PBS, 43,76% dimiliki oleh PR, dan 8,43% dimiliki oleh PBN (Haryana et
al, 2010).
Laporan Oil World (2010)
menjelaskan bahwa tahun 2009 Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit
terbesar di dunia dengan jumlah produksi diperkirakan sebesar 20,6 juta ton
minyak sawit, kemudian diikuti dengan Malaysia dengan jumlah produksi 17,57
juta ton. Produksi kedua negara ini mencapai 85% dari produksi dunia yang
sebesar 45,1 juta ton. Sebagian besar hasil produksi minyak sawit di Indonesia
merupakan komoditi ekspor. Pangsa ekspor kelapa sawit hingga tahun 2008
mencapai 80% total produksi. India adalah negara tujuan utama ekspor kelapa sawit
Indonesia, yaitu 33% dari total ekspor kelapa sawit, kemudian diikuti oleh Cina
sebesar 13%, dan Belanda 9%.
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar berada di pulau
Sumatera diikuti oleh Kalimantan. Berdasarkan provinsi, Riau merupakan provinsi
penghasil minyak sawit terbesar di Indonesia dengan produksi mencapai 24% dari
produksi nasional pada tahun 2009, sementara Jambi menyumbang minyak sawit
sebesar 7,70% dari produksi nasional dengan luas lahan mencapai 8,82% dari luas
lahan nasional. Stakeholders industri kelapa sawit menyadari bahwa kelapa sawit
telah menunjukkan kontribusi yang signifikan dalam perekonomian global dan
nasional bahkan lokal. Minyak sawit telah menjadi bagian dari minyak nabati
dunia dan kontribusinya cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Oil World
(2009) mencatat produksi minyak sawit tahun 2009 (45,1 juta ton = 34% dari
minyak nabati dunia) naik sepuluh kali lipat dibandingkan tahun 1980, sementara
minyak kedelai pada periode yang sama hanya naik 2,7 kali lipat (Haryana et al, 2010).
SISI SURAM SAWIT KITA
Perkembangan
perkebunan kelapa sawait yang begitu fantastis ternyata juga memberikan dampak
buruk utamanya terhadap lingkungan.
walaupun tidak bisa kita pungkiri bahwa ada banyak pula dampak positif
yang diberikan sektor perkebunan kelapa sawit untuk pembangunan ekonomi nasional dalam
hal serapan tenaga kerja dan perolehan
devisa negara. Tetapi kita tidak dapat
pula menutup mata terhadap dampak ekologis yang timbul akibat perkebunan
sawit. Inilah yang menjadi sisi suram
dari industri sawit kita yang selalu digembar-gemborkan oleh para aktivis
lingkungan.
Setidaknya
dalam catatan sisi suram ini ada tiga hal penting yang ingin disinggung
mengenai dampak buruk ekologis dari pembangunan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia. Pertama, aspek lahan yakni
mulai dari status lahan, alih fungsi lahan, degradasi lahan sampai pada
keanekaragaman hayati diatas lahan tersebut. Kedua, limbah atau emisi yakni limbah
sisa hasil olahan industri kelapa sawit.
Ketiga, persoalan sosial terkait masyarakat sekitar hutan.
|
Penampungan limbah cair sawit (foto koleksi pribadi) |
Oleh Teoh (2010), mengutip pandangan berbagai LSM, menyatakan bahwa
masalah lingkungan terkait dengan usaha kelapa sawit diantaranya
adalah masalah deforestasi,
biodiversitas dan perubahan iklim. Beberapa waktu terakhir, proses alih fungsi hutan
alam dan lahan gambut berkontribusi negatif berupa deforestasi, degradasi lahan
gambut, degradasi sumber daya air, dan kehilangan keanekaragaman hayati.
Pembangunan kelapa sawit juga diklaim tidak sesuai dengan peraturan tata ruang;
dan terdapat kebun kelapa sawit di kawasan dengan nilai konservasi tinggi (HCV).
Terlepas dari isu tersebut, pada dasarnya telah banyak perusahaan perkebunan kelapa
sawit tetap memperhatikan aspek lingkungan dalam melakukan usaha dan mereka
menjadi anggota Roundtable on Sustainable
Palm Oil (RSPO) Development.
Kurniawan
(2007) menjabarkan bahwa Penggunaan lahan gambut untuk perkebunan lahan sawit yang salah,
ternyata sangat besar pengaruhnya terhadap pemanasan global. Hutan alam menjadi sangat monokultur. Hutan
alam yang seharusnya menjadi sumber penangkap carbon menjadi berkurang
kemampuannya dalam menangkap carbon yang dapat mempengaruhi pemanasan global
(Efek Rumah Kaca). Kemudian menyebabkan terganggunya keseimbangan ekologis,
hilangnya berbagai flora dan fauna yang khas dan unik. Air tanah juga akan
semakin menipis karena kebutuhan tanaman kelapa sawit yang sangat haus akan air
tanah.
Secara umum, kerusakan hutan di Indonesia disebabkan oleh dua
hal yaitu industri kayu dan
konversi lahan menjadi perkebunan utamanya kelapa sawit. Saat ini di Indonesia
terdapat 133 juta hektar hutan, dimana 20,3 juta hektar merupakan hutan
konservasi, 33,3 juta hektar hutan lindung, 59,2 juta hektar hutan produksi dan
22,8 juta hektar hutan produksi terbatas (Kementrian Kehutanan, 2008).
Selain itu, berbagai
penelitian menunjukkan industri kelapa sawit yang menghasilkan limbah baik
cair, padat maupun gas. Limbah cair
berupa air buangan sisa hasil pengolahan yang mengandung bahan kimia dan
organik yang tinggi. Limbah cair
tersebut berwarna kecoklatan yang banyak mengandung padatan terlarut dan
tersuspensi berupa koloid serta residu minyak dengan kandungan biological oxygen demand (BOD) yang
tinggi. Limbah cairan tersebut jika
dibuang ke perairan tentu akan mencemari lingkungan, mengganggu ekosistem
perairan. Karenanya, organisme utamanya
biota perairan akan mengalami keracunan.
Untuk itu, pengolahan limbah hingga dibawah baku mutu mesti dilakukan sebelum dilepas ke lingkungan.
Pengolahan limbah
cair kelapa sawit biasanya melalui penampungan di kolam-kolam terbuka yang melalui
fase aerob dan anaerob. Pada proses ini,
limbah cair tersebut akan melepaskan gas metan (CH4) dan CO2 ke
udara ambient yang kedua senyawa tersebut memberikan konstribusi terbesar
terhadap pemanasan global. Selain itu,
gas metan menghasilkan aroma tak sedap karena proses dekomposisi yang
terjadi. Mestinya pengolahannya tidak
pada udara bebas karena gas yang dihasilkan dapat pula menjadi bahan bakar
alternatif (biogas).
Limbah padat
juga cukup banyak dihasilkan oleh kelapa sawit. Limbah padat yang dihasilkan
berupa tandan kosong kelapa sawit (20-23 %), serat (10-12 %), dan tempurung /
cangkang (7-9 %) dan sisa biomass lainnya (pelepah dan batang sawit). Di indonesia, limbah pada ini dapat
dihasilkan hingga mencapai 15,20 juta ton/tahun. Limbah padat tersebut akan menimbulkan bau
yang tak sedap terhadap udara ambient namun memiliki nilai ekonomi jika diolah
lebih lanjut menjadi kompos dan bahan industri lainnya.
|
Limbah organik indutri kelapa sawit (foto koleksi pribadi) |
Persoalan sosial
juga sering kali muncul terkait alih fungsi lahan. Hutan yang dialihfungsikan menjadi perkebunan
kelapa sawit memicu terjadinya konflik dengan masyarakat sekitar hutan. Bagi masyarakat sekitar hutan, hutan bukan
semata-mata tempat menggantungkan kehidupan secara ekonomi. Namun di Indonesia
hutan oleh masyarakat sekitar hutan masih mengaitkannya dengan tata nilai adat,
sprituaitas dan warisan budaya leluhur. Selain
itu, bagi masyarakat hutan juga berperan sebagai gudang obat masyarakat karena masyarakat sekitar hutan menyadari
hutan memiliki nilai biodiversitas (keanekaragaman hayati) yang tinggi termasuk
bermacam tanaman obat.
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perkebunan kelapa sawit,
sebetulnya juga terkait dengan masalah tata kelola. Isu yang berkembang adalah
adanya anggapan bahwa pemerintah daerah melakukan politisasi perizinan,
sehingga izin pembangunan perkebunan
kelapa sawit tidak terkendali. Izin di daerah dikeluarkan Bupati dengan atau didasarkan
Perda dan bisa mendahului persyaratan lain, seperti Analisa Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL). Seperti diketahui, perusahaan dapat mengajukan kepada
pemerintah daerah (kabupaten) untuk penggunaan lahan. Prosesnya meliputi beberapa
ijin dan memerlukan negosiasi dengan individu dan masyarkat lokal. Politisasi
perijinan ini terjadi karena pengetahuan yang kurang dari individu dan
masyarakat atas hak mereka dan bagaimana proses dan prosedur yang harus diikuti
(Haryana et al, 2010).
Melihat
potensi pengembangan sawit berbanding
lurus terhadap peluang kerusakan alam sekaligus dalam rangka memperkuat daya
saing minyak nabati selain minyak sawit, maka di tingkat dunia dikembangkan Roundtable on Sustainable Palm Oil
(RSPO). RSPO didorong oleh LSM
lingkungan dan sosial. Alasannya
adalah peningkatan luas areal kelapa sawit diklaim sebagian berasal dari
konversi hutan alam dan lahan gambut yang berpengaruh terhadap perubahan iklim
global. Hanya saja, hal ini kesannya menjadi tidak fair karena melalui RSPO minyak kelapa sawit menghadapi hambatan teknis perdagangan melalui
pemberlakuan prinsip dan kriteria pembangunan berkelanjutan, sementara hal yang
sama tidak berlaku untuk minyak nabati lain (minyak rape seed, kedelai dan
lainnya). Akibatnya, persaingan antar minyak nabati menjadi tidak sesuai ketentuan
WTO yang menerapkan tarif impor (Haryana et al, 2010).
MUNGKINKAH..??
Melihat
banyaknya potensi kerusakan lingkungan yang dapat diakibatkan oleh perkebunan
kelapa sawit bukan berarti pengembangan kelapa sawit di Indonesia harus
dihentikan secara total. Sebagian orang
berpendapat bahwa menghapuskan sawit dari bumi Indonesia adalah tindakan yang
kurang bijak juga karena perkebunan sawit tenyata memberikan faedah yang tidak
sedikit bagi keberlangsungan hidup
manusia. Faedah yang paling terasa
adalah pada sektor ekonomi yang membeikan konstribusi yang sangat besar
terhadap pendapatan devisa negara dan serapan tenaga kerja yang tidak
sedikit. Selain itu, boleh dikatakan
semua rumah tangga yang ada di Indonesia memanfaatkan hasil pangan olahan
kelapa sawit misalnya minyak goreng.
Jikalau begitu,
hal penting sekarang adalah tidak mengarahkan pikiran untuk terus-terusan
mengkritik dan mengutuk perkebunan kelapa sawit yang telah meberikan dampak
yang begitu buruk terhadap lingkungan kita.
Yang terpenting adalah bagaimana menciptakan perkebunan kelapa sawit
yang berkelanjutan dan lebih mengedepankan aspek ekologis ketimbang aspek
ekonomi semata. Dibutuhkan berbagai
kreativitas dan inovasi untuk
meminimalisir dampak buruk itu. Bagaimana merubah limbah industri sawit
untuk dapat di manfaatkan kembali dan ramah lingkungan. Muaranya adalah menciptakan perkebunan sawit
yang lestari, lingkungan yang lestari dan masyarakat sawit yang lestari hingga
di masa-masa mendatang.
Tapi mungkinkah
itu..???
Bogor, 10 januari 2014