Ilustrasi |
Oh simple thing, where have you gone?
I’m getting old and I need someone to rely on
So tell me when you’re gonna let me in
I’m getting tired and I need somewhere to begin
~penggalan lirik lagu Somewhere Only We Knew yang dilantunkan oleh Keane~
Semalam seorang kawan dekat
mengabarkan bahwa ia sedang dimintai tolong oleh seorang kawan lamanya untuk
memberikan ide terkait nama putri pertama mereka yang sudah seminggu lahir. Kawan dekat itu nampaknya sedikit kesususahan
memberikan ide yang diminta. Sudah tiga ide nama disodorkan namun semua ditolak
oleh yang empunya putri. Tapi kawan
dekat itu maklum, bagaimana perasaan sepasang orang tua muda saat menerima
kehadiran anak pertama. Sekian waktu kebahagian itu dinanti, segala doa dan
harapan ingin dicurahkan Sang orang tua baru kepada anaknya, termasuk pilihan
nama terbaik tentunya. Berbagai ide
susul-menyusul akhirnya mantap pada satu nama, nama yang terbaik tentunya.
Di belahan bumi lain, pagi ini
seorang sahabat saya yang lain tengah melangsungkan prosesi ijab kabul. Saya cukup memahami bagaimana perasaan yang
bergumul di dadanya pagi ini. Bahagia haru dan kecemasan bergumul jadi satu
merajai dirinya. Bahagia haru dirasakan
karena inilah nikmat Tuhan, jawaban atas doa-doanya selama ini untuk
dipertemukan pada perempuan pilihan terbaik.
Namun kecemasan juga mengambil tempat di batin sahabat itu, mengingat
masa depan yang tidak pasti setelah ijab kabul menjadi babakan baru dalam
hidupnya. Tentu setiap langkah akan
semakin dihitung dan ditakar ketimbang waktu masih sendiri. Mungkin disinilah perlunya mengundang sanak
famili dan handai taulan untuk hadir mengantar, meminta bantuan mereka
memberikan doa-doa terbaik sebagai pembuka jalan dan cahaya penerang bagi
mempelai.
Dan saya disini tengah larut
dalam alunan musik dan lirik lagu Somewhere Only
We Knew yang
dilantunkan oleh Keane. Dentuman musiknya
memang luar biasa, tapi saya lebih menemukan kedalaman dari liriknya. Sekejab diri saya membentuk jejaring makna kejadian
diatas dengan penggalan-penggalan lirik Keane.
I walked across an empty land
I knew the pathway like the
back of my hand
I felt the earth beneath my
feet
Sat by the river and it made
me complete
…..
Oh simple thing, where have
you gone?
I’m getting old and I need
someone to rely on
So tell me when you’re gonna
let me in
I’m getting tired and I need
somewhere to begin
Lirik lagu itu begitu dalam
menelusuk masuk ke batinku. Ia seolah sedang menggambarkan bahwa hidup ini
adalah sebuah perjalanan yang di dalamnya terdapat etape-etape yang harus
dilewati. Putri cantik yang diberi nama
itu menjadi etape bagi dirinya untuk memulai perjalanan hidup yang mungkin juga
akan sampai pada etape sahabat saya yang sedang ijab kabul. Rasa-rasanya hidup ini bagai siklis dengan
pola berulang.
Saya lalu terhenti lama pada sutu
pertanyaan, lalu apa tujuan hidup ini, kemana kita akan berakhir..?
Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) |
Pertanyaan itu telah lama
dipikirkan oleh para filsuf dan sampai hari ini jawabannya masih samar. Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) seorang
filsuf beraliran eksistensialisme menawarkan satu rumusan tentang hidup. Bagi Kierkegaard hidup adalah milik individu,
setiap orang merupakan subjek atas proses hidupnya sendiri, apa yang
dilakukannya sehari-hari. Karena itu Kierkegaard
menekankan pentingnya seorang bersungguh-sungguh dalam menghayati hidupnya
secara benar untuk menemukan ke-auntetikan atas kehadirannya.
Entah seperti apa penghayatan
hidup yang dipahami Kierkegaard, yang jelas ia memutuskan pertunangannya dengan
seorang perempuan cantik bernama Regine Olsen. Padahal kala itu semua orang tahu bahwa
mereka saling mencintai. Saat Regine
Olsen ingin kembali menemui Kierkegaard di Denmark, Kierkegaard
telah terkujur kaku dalam kesunyian sendiri ditengah pekat cintanya kepada Regine Olsen. Sebagai
bukti cintanya pada Kierkegaard, Regine Olsen
meminta dikuburkan disamping makam Kierkegaard.
“saya tidak dapat menemaninya
di alam ini, mungkin saya bisa abadi bersamnya di alam sana” pikir Regine Olsen.
Saya teringat pada sebuah buku
yang ditulis oleh professor filsafat Louis O. Kattsoff. Dalam bukunya itu Kattsoff
sedikit mengurai tentang konsep Being (mengada) dan Becoming (proses
menjadi). Menurutnya setelah proses “mengada”
(Being) manusia adalah makhluk
yang belum selesai, ia harus melalui rentetan proses menjadi untuk
menyempurnakan kemanusiaannya (Becoming). Filasafat timur pun percaya bahwa kemanusiaan
adalah sekumpulan potensi yang inhern menjadi fitrah untuk teraktual selama
hidupnya.
Namun sampai kapan proses Becoming
itu berujung atau dengan kata lain kapan manusia bisa menyempurna..? Rasa-rasanya saya agak kepikiran bahwa hanya
kematian yang mengantarkan pada kesempurnaan itu. Atau bisa jadi Kierkegaard sudah menemukan
jawabannya hingga harus menghadapi kematian dengan cara itu. Pantas saja bagi para sufi menganggap
kematian sebagai berjumpaan dari kerinduan Sang Kekasih. Mungkin kita harus menghayati makna Innalillahi
wa Innailaihi Rajiun.
Di ujung waktuku, suara Keane
masih terdengar sayup-sayup melantunkan lagu
Somewhere Only We Knew. Diakhir lagu,
liriknya kendati bernada tanya namun memberikan semangat optimistik terhadap
hidup.
And if you have a minute why
don’t we go
Talk about it somewhere only
we know?
‘Cause this could be the end
of everything,
So why don’t we go
Somewhere only we know?
Somewhere only we know?
Bagi saya hidup itu adalah soal
memilih tindakan dan menghadirkan makna atas tindakan itu. Pertanyaannya, sudahkah kita memaknai
tindakan-tindakan itu..?
Bogor, 24 Mei 2015
Pukul 07.30 WIB
0 komentar:
Posting Komentar