Anda pernah menonton film
Balibo? Ya betul, film yang membuat
pemerintah Indonesia begitu geram karena dianggap membeberkan cerita yang salah
tentang perang di Timor Timur pada tahun 1975.
Film ini kemudian dicekal oleh pemerintah dan dinyatakan tak layak tonton. Apa lagi memang diketahui film ini disponsori
oleh Australia yang katanya juga “berkonspirasi” dan turut andil dalam hasil
refendum sehingga Timor Timur lepas dari NKRI pada tahun 1999 saat masa
pemerintahan transisi BJ. Habibie pasca lengsernya Soeharto. Saya bisa mengatakan bahwa film ini secara
langsung ikut membenarkan bahwa Timor Timur memang harus “merdeka” dan lepas
dari Indonesia.
Malam ini saya baru saja selesai
menonton film Balibo. Film itu saya dapatkan
dari seorang teman kuliah pasca di PSL IPB-sebut saja namanya Riza (bukan nama
samaran)- seusai acara nonton bareng final liga Champion 2013 di rumahnya. Hasilnya, Muenchen berhasil mengalahkan
Dormunt 2-1 setelah kemenangannya ditentukan oleh gol Robben di masa injury
time. Setelah menonton film itu, justru
saya semakin samar atas sejarah, bukan hanya sejarah Timor Timur tetapi sejarah
bangsa ini secara utuh. Mungkin karena
memang saya bukanlah sejarawan atau orang yang sekolah di jurusan sejarah.
Terlepas dari pro-kontra Timor
Timur, saya tidak hendak berpretensi ingin menjustifikasi mana yang benar atas
tafsiran sejarah Timor Timur yang pro-kontra itu. Saya hanya sekedar menuangkan rasa gelisah
saya atas bangsa ini, rasa gelisah akan makna sebuah nasionalisme. Mungkin baiknya kita memulainya dengan isi
cerita film Balibo itu. Secara singkat,
saya akan mencoba untuk menuturkannya.
Balibo adalah film buatan
Australia pada tahun 2009 yang disutradarai oleh Robert Connolly. Kisah ini
diangkat berdasarkan buku Cover-Up
karya Jill Jollife. Sebagai pintu
masuk, film itu hendak menceritakan kisah tentang enam orang jurnalist
Australia yang dibunuh (mungkin tepatnya dibantai) di Timor Timur (sekarang
Timor Leste). Lima orang diantaranya (Greg Shackleton , Gary Cunningham, Malcolm
Rennie, Brian Peters dan Tony Stewart) dibunuh oleh sekelompok orang, yang dari
film itu kita dapat menilainya adalah kelompok tentara walaupun mengenakan
pakaian biasa. Lima orang Jurnalist itu
tewas disebuah daerah di Timor Timur yang disebut Balibo. Hasil rekaman yang berhasil mereka liput yang
berisi tentang penderitaan warga Timor Timur di desa-desa dan beberapa konflik
bersenjata, habis dibakar oleh kelompok bersenjata itu diatas tumpukan mayat
para jurnalist itu.
Salah satu jurnalis berhasil
keluar dari Balibo namun beberapa hari kemudian mati ditembak setelah diseret
keluar dari hotel di Dili tempat ia ingin menyelesaikan tulisan-tulisannya. Ia
ditembak oleh seorang berseragam TNI pada saat pendudukan Timor Timur oleh TNI
pada Desember 1975 saat dimulainya operasi Seroja di Timor Timur. Jurnalist itu
bernama Roger East dan dari
sudut pandang East inilah film Balibo dikisahkan.
Film Balibo berlatar perang di Timor Timur. Perang itu dipicu oleh Fretilin yang hendak
menjadikan Timor Timur sebagai negara komunis.
Pasukan Fretilin tidak hanya berperang melawan TNI namun juga
warga Timor Timur yang pro integrasi Indonesia dan tidak menginginkan Timor
Timur menjadi komunis. Para jurnalist
Australia itu hadir di Timor Timur ingin meliput gejolak itu dan hendak mengisahkannya
pada dunia.
Diawal film, Jose Ramos Horta pimpinan gerakan revolusioner kemerdekaan Timor
Timur yang sekarang menjadi Presiden Timor Leste yang ke-2 mendatangi Roger
East ke Australia. Horta menemui Roger East untuk
memintanya ke Timor Timur guna meliput bagaimana perjuangan mereka di sana
sekaligus menemui lima orang jurnalis Australia yang telah lebih dahulu meliput
gejolak di Timor Timur.
Para jurnalist itu berhasil
meliput bagaimana kegiatan dan kontak senjata pasukan Fretelin dan TNI. Mereka menyusuri hutan untuk menjangkau
desa-desa di Timor Timur. Menurut film itu, kelima jurnalist itu tewas
ditembaki dari dekat oleh pasukan TNI yang melakukan penyerbuan kesebuah desa
yang diduga sebagai posko pasukan Fretelin. Beberapa ratus meter sebelum masuk desa,
pasukan TNI itu mengganti seragam mereka dengan baju biasa sebagai bentuk
penyamaran. Adegan itu berhasil direkam
oleh kamera para jurnalist. Singkatnya,
kelimanya berhasil ditangkap lalu dibunuh, sedangkan semua hasil liputan
dimusnahkan. Sampai sekarang siapa yang
mengeksekusi kelima jurnalist masih samar dan pro kontra.
Adegan lima orang jurnalist Australia saat dikejar oleh TNI di Balibo |
Diakhir film, sosok Ramos Horta
hadir ditengah masyarakat Timor Timur.
Ia disambut sebagai pahlawan pembebasan rakyat Timor Timur setelah
menghabiskan waktu ke luar negeri dan berjuang secara diplomatik melalui PBB
untuk memperjuangkan pembebasan rakyat Timor Timur. Ia disambut laksana Sang Mesias yang membawa
harapan masa depan dan pembebasan.
Akhirnyanya tahun 1999 Timor Timur lepas dari Indonesia setelah 23 tahun
merupakan bagian dari NKRI melalui referendum.
Maka, dimulailah sejarah Timor Leste.
Refleksi Sejarah Yang Samar
Sekali lagi saya bukanlah seorang
sejarawan dan tidak hendak melakukan justifikasi atas tafsiran atas sejarah
Timor Timur. Saya hanya hendak
menuangkan kegelisahan tentang negara ini, kegelisahan tentang makna nasionalisme,
makna tentang berbangsa dan bernegara.
Entah mengapa setiap insiden di negara ini ada saja tentara dibelakang
insiden itu. Tentara selalu saja
memainkan peranan penting dan menjadi pemenang diatas pentas sejarah negeri
ini. Mungkin memang itu tuntutan sebuah negara bahwa tentara harus menang
karena mereka adalah alat dan simbol serta bukti kedigdayaan negara. Tentara harus menang pada setiap arena
konflik terhadap pihak yang -katanya- mencoba merongrong kedaulatan dan
nasionalisme. Tapi betulkah tentara itu
berjuang untuk negara, lantas apa sebetulnya tujuan kita bernegara toh banyak
kita melihat moncong senjata justru diarahkan ke wajah rakyatnya sendiri.
konflik berdarah tak hanya
terjadi di Timor Timur. Di berbagai daerah di Indonesia juga terjadi konflik
berdarah. Tentarapun yang menjadi pemeran utama dan harus menjadi pemenang. Sebut saja tragedi tahun 1969 di tanah
kelahiran saya Buton dimana banyak putra daerah ditangkap, disiksa dan dibunuh
karena dianggap sebagai PKI. Bahkan
Bupati Buton,Drs. Muh. Kasim mati dalam
jeruji penjara Kodim setelah tubuhnya babak belur penuh lebam karena
disiksa. Buton dianggapa sebagai basis
PKI yang saat itu katanya PKI dianggap membahayakan ideologi negara. Walaupun belakangan
terbukti ternyata Buton bukan basis PKI seperti yang digembar-gemborkan itu.
Tragedi itu menjadi memori
kolektif bagi setiap orang Buton. Memori
itu kemudian menjadi luka kolektif dan menjadi radang pada generasi
selanjutnya. Karena stigma tersebut tak
hanya mengambil nyawa orang Buton namun banyak orang Buton yang “malu” mengaku
sebagai orang Buton dan terpaksa harus meninggalkan tanah Buton dengan harapan
didaerah baru terlepas dari stigma itu dan bisa memulai hidup baru. Lagi-lagi, pemeran utama tragedi itu adalah
tentara. Mereka mengambil nyawa anak
negeri atas nama tugas negara.
Masih banyak tragedi lain yang
bisa kita sebutkan. Kasus Tanjung Priok,
kasus PETRUS (Penembak Misterius), kasus orang hilang tahun 1998, konflik Aceh
dan Papua. Semua kasus itu berakhir
misterius dalam sejarah yang samar, bahkan sekarang bahkan masih ada yang tengah
berlangsung.
Apakah kasus-kasus itu
terselesaikan dan ada pengadilan yang adil? Tidak.,tidak ada sama sekali. Negara ini terbiasa menutupi sebuah kasus
dengan kasus lain dan itu dianggap selesai.
Lantas dimana tanggung jawab negara atas hal itu. Dimana tanggung jawab
negara atas perasaan orang-orang Buton yang telah difitnah selama puluhan
tahun, dimana tanggung jawab negara atas kesedihan para keluarga korban dari
berbagai tragedi yang terjadi. Dimana
tanggung jawab negara terhadap hilangnya kenyamanan warga daerah konflik di
Aceh dan Papua. Apa sebenarnya tujuan
kita bernegara..??
Benedict Anderson |
Benedict Anderson pernah
menjelaskan tentang Imagined Communites
(komunitas-komunitas terbayang).
Anderson mencoba menjelaskan nasionalisme dengan menggunakan pendekatan
kultural antropologis. Dari sini
Anderson kemudian membedakan definisi bangsa (nation) dengan negara (state)
dimana yang pertama adalah definisinya dibangun atas tinjauan kultural
antropologi sedang yang kedua adalah terminologi ekonomi politik. Secara sederhana saya bisa mengatakan bahwa
menggunakan pandangan Anderson, sebuah bangsa lahir karena adanya gagasan yang
sama dan mimpi yang sama tentang masa depan yang baik. Gagasan dan mimpi
tentang masa depan ini terbayang-bayangkan (imagined)
secara kolektif hingga membentuk satu kesatuan orang-orang (community). Norma, tradisi atau apapun namanya digunakan
untuk mencapai impian bersama itu.
Pertanyaannya, apakah mimpi
bersama dari warga negara Indonesia…? Soekarno bersama para pendiri bangsa ini
berhasil membangun bayangan dan mimpi masa depan bersama untuk mendirikan negara
ini. Mereka mampu menginternalisasikan
kepada rakyat yang tersebar di Nusantara bahwa adanya penderitaan yang sama
karena penjajahan dan secara bersama memimpikan adanya kemerdekaan.
Bila hendak pula kita bertanya,
bagaimana mimpi-mimpi itu pasca kemerdekaan.
Pada masa orde baru, rezim Soeharto memberangus habis mimpi-mimpi itu
dengan otoritarianisme dan militerisme.
Setiap persoalan di daerah diselesaikan dengan menggerakkan
tentara. Pada masa orde baru, militer
hadir menjadi suatu bayang-bayang (imamagination)
baru. Konflik “disamarkan” dengan
konflik yang baru dan dianggap konflik sebelumnya selesai. Sejarah negeri ini berjalan dalam lintasan yang
samar yang kemudian memproduksi sejarah yang samar lagi. Demikian seterusnya.
Pada akhirnya, bila ada warga
negara yang secara mandiri membangkitkan kesadaran sejarah dirinya justru akan
meragukan makna nasionalisme itu sendiri dan gagasan tentang keindonesiaan. Hal itu terjadi karena tidak adanya
kesesuaian antara kesadaran sejarahnya dengan fakta yang ia temukan saat ini
dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Dimasa reformasi, pola ini masih
terulang. Kasus-kasus hukum seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang
didalangi oleh penyelenggara negara
tidak tersentuh dan terselesaikan.
Namun, kasus itu hanya “disamarkan” oleh kasus lain dan mengalihkan
perhatian rakyat ke kasus yang baru. Dan
sayangnya, bangsa ini memang memiliki ingatan yang pendek dan cenderung terlalu
mudah “melupakan” dan “memaafkan”. Bila
kesadaran sejarah muncul maka jangan heran bila kesadaran itu cenderung
melahirkan ketidakpercayaan terhadap penyelengagara negara.
Negara sudah terlalu banyak dosa,
bukan pada Tuhan tapi pada rakyatnya sendiri. Rakyat yang memberikan legitimasi
kekuasaan terhadap negara. Negara terlalu
sering berbohong dan khianat. Kekuasaan yang
diamanahkan digunakan untuk memperkaya diri sementara rakyat disistematiskan
untuk menahan lapar berhari-hari, tinggal dikolong-kolong jembatan, anak kecil
berkeliaran di jalan-jalan mencari makan dengan menjual suara yang
pas-pasan. Banyak orang miskin sakit
lalu mati terkapar karena tak mampu mengakses obat dan rumah sakit. Anak-anak negeri makin bodoh karena tak mampu
beli buku, seragam sekolah dan tagihan SPP.
Lalu dimana negara pada saat itu. Penyelenggaranya lagi asyik berada di
hotel-hotel, restoran mewah dan gedung bertingkat. Mereka membahas orang miskin di ruang ber-AC
dengan perut yang kekenyangan. Mereka lagi
jalan-jalan ke luar negeri bersama keluarga menggunakan uang rakyat atas nama
tugas negara melakukan studi banding. Bila rakyat melawan kekuatan represif
idiologis berseragam yang menghadang. Busyet dah..,saya tak mampu menyebutkan
satu persatu.
Pertanyaan selanjutnya, lantas
apa yang harus kita lakukan sekarang..???
Darmaga,Bogor- 28 Mei 2013
Pukul 23.00 WIB
tulisan yang panjang.... namun panjang saja belum cukup.
BalasHapusBisa dipahami jika menonton film balibo ada kegelisahan dalam diri anda...mungkin tidak hanya anda sendiri, tapi sebagian besar rakyat Indonesia (yang selama puluhan tahun dalam cengkramana rezim ORBA, terisolasi dari informasi sejarah yg sebenarnya tentang Timor Leste, bekas jajahan Portugis lebih kurang 450tahun, diokupasi Jepang pad PD II selama 3 tahun,dan tahun 1975 diokupasi militer dari negeri tetangga Indonesia. Saya tidak tahu persis kegelisahan anda setelah menonton film BALIBO (apakah gelisah atas kematian journalist) atau versi sejarah yang amat berbeda dengan sejarah orde baru/militer yang selama puluhan tahun menutup rapat sebuah kebenaran sejarah tentang pulau kecil itu terhadap rakyatnya sendiri....singkat kata, saya hanya ingin sedikit memperbaiki informasi keliru selama ini...bahwa setelah revolusi anyelir pecah di lisbon (portugis) pada 25 April, tahun 1974 dimana rezim salazar (yg kekejamannya hampir setara dengan Orde Baru Soeharto) terguling oleh para perwira muda militer yg sudah capek berperang di daerah2 koloninya seperti Angola, Mosambique, Guine-Bissau dll...maka dimulaiah babak baru sejarah Timor Portugis a/ timor-Dili (nama yg dipakai ketika masih dibawah koloni portugis) diberikan kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Beberapa partai lahir di TL, tapi partai terbesar adalah FRETILIN yang ingin merdeka secara total dari Portugis, dibanding dengan UDT yang ingin lepas dari koloni portugis secara bertahap sebelum menuju kemerdekaan. Sedangkan partai dengan masa paling sedikit (terkecil namun mendapat dukungan dari intelijen indonesia) adalah APODETI yang menginginkan integrasi dengan ndonesia.....singkat kata....yang memicu perang awal di TL bukanlah FRETILIN melainkan UDT yang melakukan kup pada 11 Agustus 1975, yang kemudian dibalas oleh FRETILIN seminggu kemudian dan mengontrol wilayah Timor-Leste seutuhnya, dan memproklamirkan kemerdekaan Timor Leste pada 28 November 1975 (dan sampai sekarang 28 November diperingati sebagai hari kemerdekaan TL, sdangakn 20 Mei 2002 adalah peringatan hari restaorasi kemerdekaan TL). dan sejarah yang benar pula adalah FRETILIN adalah partai nasionalis yang ingin memerdekakan TL dari penjajahan portugis. dan isu komunisme bahwa FRETILIN ingin menjadikan TL menjadi negara komunis adalah rekayasa inteligen indonesia agar bisa menjadi alat justifikasi militer Indonesia untuk menginvasi TL dengan persetujuan Amerika Serikat dan Australia (karena saat itu perang dingin sedang bekecamuk dan AS masih trauma dengan kekalahanya dalam perang Vietnam. jangan lupa bahwa negara yang pertama sekali mendukung "integrasi", atau dalam bahasa kami adalah invasi dan aneksi Indonesia adalah Australia...tapi rakyat australia tidak pernah sependapat dengan pemerintahnya, karena terus memberikan solidaritasnya terhadap perjuangan Timor Leste. FRETILIN adalah partai nasionalis, terbukti hingga sampai sekarang, setelah Timor Leste merdeka tetap sebagai partai nasionalis.
BalasHapusterima kasih Tahi Calu, komentarnya sangt mencerahkan. Saya hanyalah anak bangsa yg tersesat diantara belantara tafsiran sejarah bangsanya sendri.,
BalasHapus