Perempuan Subuh
Pagi
itu begitu cerah setelah beberapa hari sebelumnya matahari selalu disambut oleh
gemericik air dari langit disertai angin yang dingin seolah menyampaikan salam
dari kutub. Akhirnya, orang terlihat
sukar menikmati kehangatan mentari pagi.
Tapi sebagian orang malah bersyukur, mengencangkan sarung dan selimut
lalu melanjutkan kemalasannya. Tak
jarang pula karena hujan pagi banyak orang mengumpat dan mencaci, entah siapa
yang dimaki karena karena hujan tak kunjung usai.
Namun pagi itu terlihat lain. Pagi itu begitu cerah setelah beberapa hari
sebelumnya matahari selalu disambut oleh gemericik air dari langit disertai
angin yang dingin seolah menyampaikan salam dari kutub.
Seperti
pada hari-hari sebelumnya, mataku sudah terjaga sebelum suara bang subuh
membangunkan orang-orang berselimut.
“Lagi-lagi dia yang membangunkanku”,
gumamku
Tapi
aku senang ia selalu melakukan itu karena ia selalu memberiku kesempatan
membacakan beberapa bait puisi lalu menceritakan hikayat-hikayatku padanya.
“sejak kapan engkau mengagumiku” tanyanya
padaku
“sejak aku memahami bahwa perempuan itu
adalah wajah Tuhan di bumi. Bahwa
perempuan tidak hanya menciptakan kehidupan dari rahimnya tetapi juga menjaga,
merawat dan membesarkan kehidupan itu dengan keringat dan air susunya”,
jawabku selembut mungkin agar tidak membangunkan orang disekeliling.
“apakah karena itu sampai engkau tak dapat
melupakanku?” lanjutnya bertanya
“tidak hanya itu. Engkau adalah malaikat pelindungku,
melindungiku dari kegelapan dan kejahatan, menghangatkan tubuhku ketika dingin,
menemaniku ketika susah dan menasehatiku ketika lalai. Engkau memang setia padaku” paparku lagi
padanya
“apa lagi…? Ia bertanya dan menyimak jawabanku dengan begitu
serius
“engkau telah mengajarkan aku banyak buah
pengetahuan, mengajarkan bagaimana memaknai hidup karena hidup tak akan berarti
tanpa dimaknai. Karenanya hidup memang
harus diperjuangkan. Belajar tentang
kebebasan yang dari padanya kita berbuat dan daripadanya pula kita bertanggung
jawab. Belajar tentang kebenaran yang
dari padanya kekuatan hadir dan dari padanya pula keberanian hadir. Belajar tentang keadilan yang dari padanya
keharmonisan dan keindahan hidup hadir dan dari padanya pula menunjukkan adanya
perbedaan. Engkaupun mengajarkan ku
tentang cinta dan pengorbanan yang dari padanya keabadian hadir dan kehidupan
baru tumbuh” sahutku
“seberharga itukah aku di hatimu..?”
“oh.. lebih dari itu..!” tegasku
Keesokan
harinya, perempuan itu datang lagi.
Dengan sedikit mengejutkan ia memelukku dari belakang, tangannya yang
lembut membelai rambutku lalu dengan mesra ia mencium keningku. Aroma tubuhnya yang khas terhirup oleh
paru-paruku langsung menyusup masuk ke sum-sum tulangku dan bersemayam di ubun-ubunku. Lalu dengan lembut ia berbisik ditelingaku
“aku datang lagi untuk mendengar hikayat-hikayatmu
dan cerita masa depanmu”
“tapi
engkau datang terlalu awal” kataku
“itulah aku yang selalu hadir tanpa engkau
duga-duga. Aku ingin bercerita lebih lama
denganmu” katanya
Aku tersenyum simpul dan menjawab
“itulah engkau,
selalu menjadi surprise dalam hidupku.
Dan setiap surprise yang engkau suguhkan selalu menghadirkan semangat
baru bagiku”
“semangat adalah energi. Semangat akan menjadikan hari yang kita lalui
terasa selalu hidup. Semangat akan
selalu menjelma menjadi ruh yang meniupkan angin kehidupan. Kehilangan semangat adalah
kematian dan kematian itu melahirkan kemalasan, kemalasan lalu membunuh
kreativitas. Ketika kreativitas terbunuh
kesia-siaan pun akan meraja.
Seburuk-buruknya keburukan adalah kesia-siaan” jelasku lebih lanjut.
“apakah engkau punya harapan masa depan..?”
tanyanya padaku
“harapan bagiku menggapai
tujuan hidup. Untuk meraih tujuan hidup
mesti membuat jalan setapak ke arahnya bukan menapaki jalan setapak yang sudah
ada. Membuat jalan setapak adalah usaha
dan kerja keras membawa kita sekaligus kepada takdir. Maka aku mengupayakan tujuan hidupku untuk
menjadi takdir bagiku. Alangkah lemahnya
kita ketika menapaki setapak hidup orang lain”
“lantas, apa tujuan hidupmu..?”
Ia
menghujamku dengan pertanyaannya yang bertubi-tubi dan sedikit merepotkaku,
tapi justru membuat aku lebih senang dan menjawabnya dengan tenang.
“tujuan hidupku adalah
menyempurna di keabadian” sahutku
Dengan
meripat wajahnya yang selalu terlihat anggun dan tatapan matanya yang teduh
semakin menampakkan sosok kemuliaan seorang perempuan. Lalu tangan kanannya ia letakkan diatas
kepalaku, mengusap-usap rambutku. Kemudian
tangan kanannya itu pula, ia letakkan sejenak diatas wajahku sebelah kiri. Dibelainya pipiku dengan lembut oleh ibu
jarinya. Sekejap sekujur tubuhku dirajai
oleh kehangatan kasih sayang yang ia curahkan.
Sejenak
kami terdiam, larut dalam kehangatan kasih sayang itu. Begitu kompak kami terdiam menciptakan
keheningan dalam keheningan subuh.
Akhirnya, dari bibirnya yang lembut terdengar suara merdu yang memecah
kesunyian
“aku tahu engkau begitu menyayangi dan
mencintaiku, engkaupun tahu hatiku seperti itu pula padamu. Tapi ketahuilah di alam yang tak definitif
ini, kebersamaan kita tak mungkin abadi.
Di alam ini berlaku hukum Tuhan bahwa setiap pertemuan meniscayakan
adanya perpisahan. Maka sejak pertemuan itu
siapkanlah diri untuk berpisah karena perpisahan kadang menjadi duka yang tak
menyisakan luka”.
Badannya
sedikit ia bungkukkan sehingga wajahnya lebih dekat dengan wajahku, lalu
berucap
“satu hal yang aku inginkan darimu. Aku ingin engkau selalu dikenang oleh sejarah
sebagai manusia yang tak punya mudarat kendati bumi telah merenggutmu. Berbuatlah dan jangan pernah berhenti karena
satu yang pasti dalam hidup ini, hidup adalah menanti kematian. Ingatlah pesanku ini, sayang”
Akhirnya,
perempuan itu permisi karena mentari mulai memancarkan warnanya yang keemasan. Ia kemudian perlahan lenyap begitu saja dari
hadapanku. Awalnya bayangannya seperti
lukisan abstrak namun wajahnya masih agak nampak sampai akhirnya bak embun pagi
yang diterpa cahaya matahari. Menguap,
hilang ditelan semesta.
Pagi
ini begitu cerah setelah beberapa hari sebelumnya matahari selalu disambut oleh
gemericik air dari langit disertai angin yang dingin seolah menyampaikan salam
dari kutub. Akhirnya, orang terlihat
sukar menikmati kehangatan mentari pagi.
Tapi sebagian orang malah bersyukur, mengencangkan sarung dan selimut
lalu melanjutkan kemalasannya. Tak
jarang pula karena hujan pagi banyak orang mengumpat dan mencaci, entah siapa
yang dimaki karena hujan tak kunjung usai.
Namun pagi ini terlihat lain.
Pagi ini begitu cerah setelah beberapa hari sebelumnya matahari selalu
disambut oleh gemericik air dari langit disertai angin yang dingin seolah
menyampaikan salam dari kutub.
Sekepulanganmu,
pagi ini aku begitu bahagia. Dalam hati, janjiku semakin terpatri
“aku
kan selalu berbakti dan setia menyayangimu, karena engkau adalah perempuan suci,
rahim yang melahirkanku, Ibuku…”
Muhammad MF
Minggu, 3 Februari 2008
Pukul 00:54 WITA
Di Tamalanrea, Makassar.
0 komentar:
Posting Komentar