Anda pernah
mendengar Kota Baubau..? Anda pernah kesana..?.
Saya cukup mengenal daerah ini.
Mengapa tidak, selain mama saya adalah asli daerah ini saya juga lahir,
besar, sekolah di kota ini dan KTP sayapun masih beralamat di kota ini. Tepatnya, saya masih penduduk kota Baubau.
Dini hari malam
ini, saya terbangun dari tidur yang pulas dan tiba-tiba kota kelahiran saya
itu terlintas dalam benakku. Sudut-sudut kota itu sekejap muncul menguasai
pikiranku, wajah-wajah orang disana yang mungkin saja juga sedang terlelap,
wajah saudara dan berjuta kenangan bersama sahabat. Entah mengapa, tubuh ini terbangun dan
fikiran ini mencoba memahat kembali ingatan tentang Baubau tercinta. Mungkin saya sedang merindukannya.
Sudah hampir
setahun saya berada di Bogor untuk melanjutkan studi. Memang, waktu setahun belum terlalu lama
untuk merantau menimba ilmu. Tapi
bukankah kerinduan membuat waktu menjadi relatif. Apa lagi bagi para pecinta. Karena rindu
menjadikan waktu semenit menjadi terlampau lama untuk dilalui, karena rindu
laut dengan mudah disebrangi, gunung jadi enteng tuk di daki. Kok jadi
melankolis gini sih..,hahaha. Baiklah,
saya ingin menuliskan pahatan ingatan saya itu.
Bagi anda yang
belum pernah ke Kota Baubau bahkan belum pernah mendengar Kota Baubau, silahkan
lihat di peta Indonesia. Kota Baubau terletak di Pulau Buton penghasil aspal
itu. Pulau Buton berada di kaki pulau
Sulawesi, tepatnya bagian dari Propinsi Sulawesi Tenggara. Untuk menjangkau Kota Baubaupun relatif mudah. Bisa lewat udara, dapat pula lewat laut.
Jika lewat
udara, kita bisa menggunakan destinasi penerbangan Merpati, Lion Air dan
Ekspress Air yang tersedia setiap harinya.
Dari atas pesawat, pesona pemandangan gugusan pulau-pulau sudah
menyambut dengan keindahannya. Gugusan
pulau-pulau itu bak puzzle
yang belum tersusun. Sesekali tampak
buram karena tertutup kabut awan.
Jika kita ingin
menjangkaunya lewat laut, maka pelayaran kapal PELNI adalah pilihan yang sangat
tepat. Dari Makassar ke Baubau hanya
ditempuh satu malam atau tepatnya 14-18 jam saja. Selama perjalanan, mata kita akan disuguhi
pendangan bibir pantai dan pulau yang indah dan birunya samudra yang luas. Semuanya terpampang luas bak lukisan alam
diatas kanvas semesta. Angin yang meniup
dari anjungan ke buritan menampar lembut wajah kita menambah segarnya suasana.
Apalagi
menjelang sore. Sinar matahari yang
keemasan memantul ke samudra biru menghasilkan lukisan awan yang dihiasi
mozaik. Pada saat ini, saya akan merasa
angkuh terhadap matahari. Betapa tidak,
bila dari bibir pantai Kota Baubau,
matahari memberikan perpisahan dramatis dengan perlahan menyembunyikan
wajahnya di balik samudra dan menabur kerinduan melalui sinarnya. Sekejab semua menjadi gulita. Tapi dari atas kapal, saya terasa lari dengan
kencang menuju timur pergi meninggalkannya.
Tak cukup sampai
disitu. Malamnya, dari atas kapal kita
akan melihat titik-titik cahaya yang tak terlalu jauh dari kapal. Ada yang terpencar dan adapula yang bergerombol. Titik-titik cahaya itu laksana bintang
dilangit atau kunang-kunang. Titik-titik
cahaya itu adalah rumah-rumah yang ada di bibir pantai dan kapal-kapal nelayan
tradisional yang sedang membuang jaring dan melempar kail. Lampu nelayan yang temaram dan terguncang
oleh gelombang laut yang tak deras nampak seperti kunang-kunang yang sedang
terbang. Indah sekali.
Kenangan
keindahan-keindahan itu seolah menjadi panggilan kembali pulang. Dipagi hari
menjelang kapal masuk perairan Baubau, saya menunggu kejutan baru. Gerombolan ikan Lumba-Lumba akan muncul di
samping kapal. Mereka seolah sedang
berebut mengucap selamat datang kepada para penumpang kapal. Saya tak akan menyia-nyiakan waktu itu karena
pemandangannya hanya beberapa menit saja.
Saat-saat seperti ini kerinduan semakin memuncak.
Setelah ikan
Lumba-Lumba, menjelang merapat ke Pelabuhan Murhum Baubau, berganti kapal-kapal
speed kecil mengiringi. Mereka adalah
penghubung ke pulau Muna, Wakatobi atau pulau-pulau kecil lainnya. Senyuman akan sumringah dari wajah
mereka. Mereka ingin menunjukkan
keramahan dan selamat datang. Mereka
seolah berkata “kami ada, kami disini, kami siap menemani dan mengantar anda
menuju ke pulau-pulau”. Ya.,kapal-kapal
kecil itu adalah layanan jasa bagi para penumpang yang masih ingin melanjutkan
ke daerah seberang sekitar seperti Baruta, GULAMAS (Gu, Lakudo dan Mawasangka), pulau
Makassar, Tolandona dan daerah seberang lainnya.
Disisi kanan
pelabuhan, ada beberapa kapal kayu yang sedang berlabuh dengan barisan yang
rapi. Kapal-kapal itu berukuran lebih
besar dari speed tadi dan kelihatan lebih kokoh. Mereka mampu menampung ratusan penumpang dan
berton-ton barang. Kapal-kapal itu
adalah armada yang siap mengantar penumpang melanjutkan perjalanan ke
Wakatobi. Kapal-kapal sejenis itu
dulunya digunakan untuk menjangkau Ibu kota Pulau Muna dan Ibu Kota Propinsi
Kendari. Sekarang selain digunakan ke
Wakatobi, kapal jenis ini digunakan sebagai kapal niaga yang mengangkut barang
dagangan ke daerah Timur dan Barat Indonesia.
Tak hanya itu, bahkan sampai keluar negeri seperti Singapura. Mereka adalah armada kapal niaga yang sangat
tangguh.
Tetapi ada pula
kapal yang tak kalah tangguhnya, kapal lambo
dalam istilah orang Buton. Kapal ini
berukuran sedikit lebih kecil dari kapal yang ke Wakatobi. Mereka juga adalah armada niaga yang yang
menjangkau daerah Timur Indonesia ataupun untuk menangkap ikan. Dimasa lalu, armada itu sangat digdaya karena
menjangkau belahan dunia seperti Australia dengan menggunakan
layar. Jenis ini berbeda dengan Pinisi
di Sulawesi selatan karena bagian buritannya yang agak melebar. Makanya biasa disebut lambo
panta bebe (mirip pantat bebek).
Ada pula
segerombolan sampan kecil atau orang Buton menyebutnya koli-koli. Diatas koli-koli itu ada 2-3 orang anak yang
bertelanjang dada. Usia mereka sekitar
5-12 tahun. Kulit mereka legam karena
sehari-hari berjibaku dengan laut di bawah terik matahari. Mereka akan
menunjukkan atraksi menyelam tanpa alat diving
asal penumpang melemparkan sejumlah koin ke laut. Saya selalu menyiapkan beberapa buah uang
koin untuk melihat atraksi mereka. Aksi
mereka menjadi tontonan yang menarik. Tidak heran, banyak penumpang lainpun
menyiapkan uang koin seperti saya.
Anak-anak penyelam koin |
Begitu koin
dilempar, mereka akan berlomba terjun menyelami laut laksana ikan Piranha yang
sedang menggrogoti mangsanya. Selama dalam laut, koin tadi akan dimasukkan ke
mulut mereka dan dikumpulkan ke atas koli-koli. Koli-koli
berisi 2-3 orang anak yang saling berbagi tugas. Satu orang yang mengendalikan koli-koli, 1 atau 2 orang bertugas
memburu koin. Namun tak jarang, Si
Pengendali koli-koli juga akan terjun
ke laut jika jumlah koin yang dilemparkan penumpang begitu banyak. Betapa seru atraksi mereka.
*****
Kota Baubau
adalah Kota Pantai. Sejak dulu memainkan
peran sentral sebagai pusat pelabuhan dari daerah-daerah sekitarnya. Kota Baubau awalnya adalah wilayah
administrasi Kabupaten Buton bersama Wakatobi, Bombana dan Buton Utara yang
sejak awal tahun 2000an telah memekarkan diri menjadi kota/kabupaten. Kota Baubau juga merupakan pusat pemerintahan
kesultanan Buton yang wilayah pengaruh kekuasaannya juga melingkupi pulau Muna
dan pulau-pulau sekitarnya. Bukti
sejarah itu bisa kita saksikan sampai sekarang berupa benteng.
Benteng tersebut
seluas satu kampung, kurang lebih 22 ha dengan ketebalan dinding 1-2 meter
serta tinggi dinding 2 – 4 meter.
Makanya Museum Rekor Indonesia (MuRI) mengukuhkannya sebagai benteng
terluas di Indonesia, bahkan katanya sebagai benteng terluas di dunia. Saya dan warga kota lainnya sering berkunjung
ke benteng itu. Dari benteng menyuguhkan
pemandangan yang sangat menarik. Kota
Baubau akan terlihat dari atas benteng.
Matahari terbenam juga akan menjadi pemandangan yang manarik. Saya selalu terbawa ke masa lalu begitu
melihat beberapa meriam yang berada di bastion benteng. Moncong meriam mengarah
ke arah laut seolah siap memuntahkan pelurunya menghalau para bajak laut.
View indah dari dalam benteng keraton Buton |
Teman-teman saya
di Makassar ataupun di Bogor terkadang merasa heran dengan Baubau. “Kok namanya Baubau sih, kesannya seperti
aroma apa gitu” kata teman-teman saya itu.
Saya hanya tersenyum sambil berkata “ayolah,
jalan-jalanlah kesana biar kalian bisa menghirup juga aroma yang wangi itu”.
Kebetulan saya
pernah terlibat dalam penyusunan naskah akademik untuk hari jadi Kota Baubau
bersama kawan-kawan lain dan dari naskah itu saya dipercayakan untuk mengeditorinya
menjadi sebuah buka. Disana dijelaskan
bahwa kata Baubau diserap dari bahasa Buton “bhaau”
yang artinya "baru". Dalam sejarahnya,
pemukiman awalnya berada dalam kawasan benteng namun karena pertumbuhan
dinamika sosial dan terjadi kebakaran besar dalam benteng pada masa sultan
Buton ke 29 La Ode Idrus Kaimuddin, maka
berkembanglah pemukiman keluar daerah benteng hingga ke pesisir.
Kota Baubau
memberikan pemandangan pantai yang indah dan berpasir putih diantaranya pantai
Nirwana. Dari pelabuhan Murhum ke pantai
Nirwana kira-kira 30 km ke arah barat.
Perjalanan bisa ditempuh kurang lebih 20 menit. Pada sudut yang lain kita bisa menyaksikan
panorama laut saat terbenam. Dari
Pelabuhan Murhum kita ke arah timur kurang lebih 20 km. kita akan menemukan tempat yang namanya Bukit
Wantiro dan Bukit Kolema. Dari sana ada
pemandangan luar biasa.
Berpose di Pantai Nirwana Baubau |
Menikmati Senja di Bukit Wantiro |
Tak hanya nuansa
pesisir, pemandangan pegunungan akan bisa kita dapatkan di Kota ini. Dari Bukit Wantiro, kita mundur ke belakang
kurang lebih 30 km dengan waktu tempuh 30 menit. Kita akan menemukan kawasan
hutan pinus di Kecamatan Sorawolio yang menyuguhkan tidak hanya pemandangan
namun udara yang segar. Setiap kesini, saya
akan menarik napas dalam-dalam. Sekejap,
tubuh akan terasa segar karena rongga dada terisi udara yang segar pula. Begitu masuk pinggiran Sorawolio, kita
menyusuri kawasan hutan lindung. Dari
sini udara segar dan sejuk mulai terasa.
Hutan Pinus yang sejuk di Kota Baubau |
Belum lagi saat
datangnya haroa. Haroa
adalah sebuah tradisi orang Buton yang diadakan saat memperingati hari-hari
besar Islam atau pergantian bulan Islam.
Diacara haroa ini berbagai
masakan buton (nasu wolio) dan
panganan buton akan disajikan dalam satu talang besar berkaki lalu ditutup oleh
tudung saji. Namun sebelum itu semua
saya lahap, seorang lebe akan
merapalkan sejumlah bacaan terlebih dahulu.
Bacaan itu berupa puji-pujian dan rasa syukur kepada Allah SWT dan
shalawat kepada Rasul sembari meminta doa keselamatan, rahmat dan segala
kebaikan kepada Yang Maha Kuasa. Mamaku
masih rutin menunaikan tradisi ini di rumah.
Ah..terkadang
saya sudah tak sabar ingin melahap jamuan itu saat lebe masih merapalkan doa.
Betapa tidak aromanya sudah menusuk tajam di hidungku mengundang selera
makan. Pikiranku lalu terbayang bongkahan
nasi ketan putih seperti gunung bulat yang dicampur minyak kelapa dan bawang
goreng. Diatasnya terdapat beberapa
butir telur ayam kampung rebus. Nasi ketan putih itu dikelilingi oleh berbagai
panganan kue tradisional seperti bolu,
baruasa, waje, taripa, epu-epu, kalo-kalo, sanggara, kaowi-owi dan terfavorit onde-onde berisi cairan gula merah yang
diselubingi parutan kelapa. “Uuhh.,alangkah nikamatnya gula merahnya
meleleh di mulut saat gigitan pertama” khayalku.
Tak hanya itu,
lauk pauk juga ada di dalam talang besar itu. Ada ikane dole, ikane hole, ontolu hole, kaholeo,dan tawanakau. Tetapi pikiran saya tertuju pada potongan
paha ayam besar yang terendam dalam kuah kental kelapa goreng. Tak sabar rasanya ingin menyantapnya.
sedang menikmati isi talang haroa |
ayam kampung nasu wolio kesukaanku |
Dorongan kalap
ini, kalaparan maksudnya, semakin besar karena isi talang itu hanya satu meter
didepan mataku tapi terlarang untuk saya ambil sampai lebe menuntaskan rapalan doanya yang panjang. Waduuhh…
Tapi lebih
penting dari itu semua, saya rindu, teramat rindu pada anak saya Amirah dan
Ibunya. Saya rindu tatapan sayang dan
senyuman mereka. Saya ingin memeluk
dan mencium kening mereka satu persatu.
Terlebih anak saya Amirah yang sekarang sudah berusia 1,4 tahun. Saya meninggalkannya saat usianya kurang
lebih 7 bulan. Kala itu Amirah baru belajar
duduk.
Lewat telepon,
Ibunya selalu cerita amirah sudah pandai berlari, giginya sudah banyak yang
tumbuh. Ia sudah pandai memegang botol susunya sendiri. Amirah langsung menari
bila mendengar musik. Ia langsung meniru
ala gangnam style saat melihat Psy
menyanyi di TV.
Ia sudah mulai
pandai melafal kata-kata. Orang-orang
dirumah sudah bisa ia sebut namanya satu persatu. Ia sudah pandai meniru suara kucing dan tokek
di rumah. Ia suka ikut nimrung saat sepupu-sepunya bermain bola di dalam rumah.
Keceriaan amirah membawa keceriaan seisi rumah.
Ketika ditanya mana ayah, dia akan menujuk fotoku yang terpampang besar
di dinding kamar.
Saat istriku
bercerita, mataku berkaca “saya telah melewatkan moment terbaik
pertumbuhan Amirah demi ambisiku untuk sekolah” saya membatin.
Ah.,pahatan
ingatan dan kerinduan itu mendorong saya untuk lekas pulang. Malam ini saya merasakan itu.
Darmaga, Bogor
Selasa, 4 Juni 2013, pukul 02.00 dini hari.
Saat rindu untuk pulang..,
sepertinya ikan bakarnya yang ter'pahat' hingga membuatnya sulit melebur dengan susana kota Bogor yang dibalut hawa pegunungan sambil sesekali memantau sekeliling hingga tak berdaya untuk memancing ikan sekedar seperti di laut Baubau.
BalasHapushahaha.,betul sekali pak Rabani,di bogor susah cari ikan segar tp klu cari yang segar-segar selalu ada setiap saat.,hehehe
BalasHapusWah, dalam sekali tulisannya
BalasHapusSaya minggu depan bakal mulai kerja di baubau, jadi ga sabar segera berangkat kesana :'D