Entri Populer

Pages

02 Juli, 2009

Akhirnya Sarjana Juga…!

















Petualanganku dikampus akhirnya usai sudah. Bagiku masa bermahasiswa adalah masa yang luar biasa dan sangat menentukan proses hidupku selanjutnya. Masa yang penuh tantangan untuk mencari jati diri. Sebelum saya masuk di UNHAS tahun 2002, saya kuliah di universitas swasta selama setahun di kampungku, Kota Bau-Bau yang sangat saya cintai. Namun kota itu harus saya tinggal karena sejak dari awal semangat petualanganku menuntunku untuk tidak serumah dengan orang tua. Biar lebih mandiri dan melatih diri untuk lebih dewasa. Demikian saya selalu membatin. Berangkatlah saya ke Makassar, kota Seribu Daeng.

Sejak awal, sebelum saya menginjakkan kaki di Makassar yang terbayang bahwa Makassar adalah kota yang keras. Apa lagi mendengar cerita mahasiswa sekampungku yang lebih dahulu menantang Makassar. Saya membayangkan potret kehidupan yang keras, jauh dari keluarga dan kerabat. Jangan-jangan setiba di Makassar saya kehabisan duit, jangan-jangan saya sakit keras siapa yang merawat, jangan-jangan saya mendapat musibah, jangan-jangan….jangan-jangan….seribu ketakutan mengepul diatas kepalaku. Memang sich banyak mahasiswa sekampungku yang kuliah di Makassar yang akhirnya gagal menyelesaikan studinya karena berbagai hal. Saya tidak gentar, itu tidak mengurungkan niatku untuk menaklukkan Makassar.

Akhirnya saya diterima kuliah di UNHAS, tepatnya fakultas Pertanian jurusan Budidaya pertanian program studi Agronomi. Masuk di UNHAS melalui SPMB tahun 2002. Mengambil formulir IPC menawar tiga jurusan; Teknik Geologi, Agronomi dan Antropologi. Saat itu saya berfikir lulus di jurusan mana saja asal di UNHAS dan tidak menganggur. Senangku luar biasa begitu saya lulus pada pilihan kedua yaitu Agronomi. Sejarah kemahasiswaanku di mulai dari sini.
Selama kuliah di UNHAS saya aktif diberbagai kegiatan lembaga kemahasiswaan baik ekstra maupun intra kampus. Mulai dari pengurus tingkat himpunan, Presiden BEM Fakultas, Pengurus BEM Universitas sampai koordinator badan-badan khusus. Bahkan sempat “buron” gara-gara berkali-kali terlibat aksi demonstrasi. Aakh..,saya nda mau cerita pengalaman itu. Ada pengalaman lucu namun sedikit tragis bersama teman sekampungku. Begini ceritanya..

Ketika semester dua, saya tinggal di kost-kostan – mahasiswa makassar lebih enak menyebutnya pondokan- di Jalan Inspeksi PAM dekat PLTU Tello. Satu kali naik pete-pete menuju kampus UNHAS. Kalau tidak salah sewa pete-pete saat itu Rp. 1.500. Kiriman beasiswa saya dari kampung saat itu paling banyak Rp. 300.000,- sementara nilai kiriman beasiswa sebanyak itu sangat jarang saya dapatkan. Fluktuasinya berkisar Rp. 200.000 sampai 250.000 dan setiap bulannya sepertiga dari kiriman itu pertama kali saya harus membelanjakan buku. Itu sudah tekadku. Sisanya dipakai untuk mempertahankan hidup.

Di pondokan itu saya tinggal bersama tiga orang teman saya yang juga dari Buton. Lukman teman sekelasku ketika SMA kuliah di ekonomi belakangan pindah ke jurusan Sastra Inggris UNHAS namun akhirnya studinya tidak selesai karena sakit, Iping biasa kita menyapanya Jung Jai Ping juniorku ketika SMA kuliah di Jurusan Elektro UNHAS dan Wawan orang Buton Utara kuliah di jurusan Pertambangan UVRI yang memutuskan merantau ke tempat lain sebelum menyelesaikan studinya. Pemilik pondokan adalah seorang Haji dari Sengkang juga tinggal disitu bersama anak istrinya di lantai 2. Ia sangat fanatik dengan Muhammadiyah nya. Menurutku haji itu pikirannya sangat konservatif namun jujur saja ia berkali-kali menyelamatkan kami.

Biasanya, untuk penghematan kami masak bersama. Patungan beli beras kemudian masak pakai rice cooker nya Lukman. Terus patungan pula beli lauk. Menu andalan adalah indomie telur. Tapi makan siang saat itu agak istimewa. Indomie telur dicampur sayur bayam yang dibeli wawan tadi pagi ketika pagandeng sayur (penjual keliling yang mengendarai sepeda atau motor) lewat depan pondokan. Seperti biasa makan siang telat dua jam setelah perut keroncongan. Nasi sudah siap dari tadi. Sudah disendok di piring masing-masing pula. Kami berempat duduk jongkok mengelilingi kompor usang berkarat yang sedang menyala. Diatasnya terdapat panci indomie telur plus bayam. Dengan penuh hasrat yang meluap-luap dan liur yang hampir mentes kami menatap isi panci yang setengah matang.

Si Iping memegang kendali sendok besar yang digunakan untuk mengaduk. Sekaligus Ia merasa punya kuasa untuk sewaktu-waktu mencicipi kuah indomie telur plus bayam itu. Ia melakukannya berkali-kali dihadapan kami dan kami menganggap itu adalah tindakan kriminal. Betapa tidak, kami semua berfikir betapa teganya Si Iping mencicipi kuahnya berkali-kali di hadapan kami yang kelaparan dengan alasan memastikan rasanya sudah pas atau belum. Lukman reaktif melihat kelakuan Iping. Sambil mengambil alih sendok besar dari tangan Iping Lukman kemudian bertanya

“..sudah pas blum..?” Si Lukman juga melakukan tindakan kriminal yang sama dihadapan kami. Tiba-tiba sendok besar seolah menjadi arena perebutan kekuasaan dan otoritas untuk mencicipi. Saya pun terpancing. Dengan cepat saya menyambar sendok besar dari tangan Lukman setelah saya melihat ekspresi Lukman yang begitu menikmati kuah indoomie telur plus bayam. Saya juga melakukan tindakan kriminal itu. Tinggal Si Wawan yang tambah ngiler dan tidak sabaran ingin mencoba setelah melihat ekspresi kami. Si Wawan tidak merebut sendok besar di tanganku namun mencelupkan ujung jarinya kedalam kuah lalu dijilatnya. Panasnya kuah tidak terasa oleh Si Wawan lantaran hasratnya itu. Wawan lalu berkata “..sudah masak, ayo angkat..!”

Iping merasa berkompeten untuk mengangkat panci dari atas kompor yang menyala. Tiba-tiba kami semua serentak bersuara “..Aaaakh..”. Dasar Si Iping lantaran hasrat dan kecerobohannya ia menumpahkan semua indomie telur plus bayam yang nikmat itu di atas lantai yang hitam karena jarang dibersihkan. Kami semua kesal dan menyesal. Masing-masing memegang piring berisi nasi dengan ekspresi sedih. Kami saling menatap tanpa suara sembari sesekali melihat bekas tumpahan indomie telur plus bayam itu di atas lantai. Lalu kami tiba-tiba serentak sama-sama tertawa. Menertawai sikap masing-masing sambil menikmati makan siang hanya nasi. Lalu Si Wawan berkata “..begitumi memang kalau tidak sabaran q, makanan belum waktunya di makan semua sudah pada mau mencicipi..”. kami tertawa terbahak-bahak.
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Ada kisah kami yang lain tapi kali ini Wawan tidak ada, sudah merantau ke daerah lain. Kami hanya bertiga saya, Lukman dan Iping. Hari itu sudah tanggal tua. Kami bertiga sudah tidak punya duit lagi untuk beli makanan. Yang tersisa Lukman masih punya duit Rp 5.000,-. Sementara kucuran beasiswa dari kampung belum ada tanda-tanda untuk cair. Kami pun tak punya Handphone untuk SMS ataupun menelpon. Kami berdiskusi mau diapakan duit Rp 5.000 itu. Karena kami prediksi seminggu lagi bahkan lebih kiriman baru datang.

Diakhir diskusi mentok pada dua opsi. Pertama; duit digunakan untuk beli beras karena bisa untuk 2 liter beras kemudian digunakan untuk mempertahankan hidup sampai kucuran beasiswa dari kampung datang. Kedua; duit Rp 5.000 itu digunakan untuk menelpon ke kampung dan mengabarkan kami sudah tak punya duit lagi dan kucuran beasiswa dari kampung dicairkan lebih awal. Akhirnya keputasan jatuh pada opsi pertama karena opsi kedua resikonya lebih besar. Duit Rp 5.000 cepat raib untuk interlokal setelah itu kami pasti tak punya duit untuk beli makanan. Dan belum tentu besoknya kiriman bakalan datang. Iping bergegas beli beras di Warung sebelah. Dia sangat rajin dan suka menjadi utusan kami ke warung karena pemilik warung itu punya anak gadis yang cantik, putih, bodinya semampai, padat dan seksi. Cewek itu selalu ramah melayani kami belanja. Terus terang saya juga tertarik, apalagi Si Lukman tak perlu dibilang. Selalu saja alasan pergi beli rokok walaupun rokoknya masih ada sembari meminta korek api biar bisa diajak cerita lebih lama.

Duit Rp 5.000 cukup untuk ditukar dengan beras dua liter. Hanya dengan berbekal beras dua liter kami bertiga siap menanti kucuran beasiswa dari kampung. Kamipun sudah membayangkan hasil masakan pasti lain dari biasanya. Bukan bubur apalagi nasi. Bayangkan saja, tiga gengam beras sekali makan untuk kami bertiga. Biar cukup, beras yang tiga genggam itu di masak pakai air dua kali lipat jumlah air untuk buat bubur. Bisa dibayangkan biji beras setelah dimasaknya jadinya seperti apa. Untung saja Lukman punya rice cooker sehingga kami tak perlu beli minyak tanah.
Setelah makan kami kekenyangan, kekenyangan bukan karena nasi atau bubur tapi karena air. Dua jam kemudian pasti terkencing-kencing karena perut kelebihan air setelah itu rasa lapar akan melilit. Untuk menghilangkan rasa lapar kami isi dengan cerita lucu ataupun tidur sampai waktu makan selanjutnya tiba. Hal ini kami lakukan lamanya seminggu lebih. Betul-betul kami merasakan krisis ekonomi yang sebetul-betulnya krisis namun kami menikmatinya. Masa-masa yang tak bisa dilupakan.

Akhirnya setelah tujuh tahun bergelut di dunia kampus dengan penuh dinamikanya, pertanyaan orang tuaku terjawab juga. Tanggal 25 Juni yang lalu kedua orang tua saya hadir ke baruga AP Pettarani UNHAS untuk menyaksikan wisudaku. Dari lantai 2 mamaku menyaksikan saya menerima map merah dari rektor. Mamaku menangis terharu, dalam hatinya Ia membatin “..akhirnya anakku sarjana juga..”. Sementara Pembantu Rektor I, II dan III heran saat saya salami. Mereka kaget melihat saya baru mengenakan Toga, jubah kebesaran kaum intelektual. Bahkan saat saya menerima map merah dari rektor, beliau berkata “..saya kira kamu sudah lama selesai, Min..”. saya cuma tersenyum sembari menjabat tangannya, tak menghiraukan sorotan cahaya blits kamera bertubi-tubi mengabadikan kami.

Setelah acara wisuda selasai, di luar gedung teman saya Jeto sudah menunggu. Dia memberikan selamat dan kami foto bersama. Saya sadar, saat itu orang tua saya sangat bahagia saya wisuda. Bahkan Mamaku berkali-kali memintaku untuk mengusahan agar kami berempat bisa berfoto bersama rektor. Tapi itu tidak mungkin. Apalagi Bapakku, senangnya luar biasa. Berkali-kali ia meminta saya yang masih memakai toga untuk berfoto dengannya menggunakan kamera digital yang saya bawa. Bahkan Bapakku langsung membawa pulang CD file hasil pemotretan di studio dadakan yang banyak disekitar baruga UNHAS saat wisuda berlangsung. Katanya mau diprint dengan ukuran besar, dibingkai lalu di pajang di rumah. Saya sangat bahagia bercampur haru melihat orang tuaku yang sangat berbahagia. Bagiku, saat saya wisuda bukan gelar sarjana yang kusandang namun kedua orang tuakulah yang membuatnya jadi istimewa. Saat itu, dalam hati kecilku membatin “Bapak..,Mama..,saya masih punya hutang pada kalian berdua walaupun kalian berdua tak pernah menganggap itu hutang apalagi sampai menagihnya..”.

0 komentar:

Posting Komentar