Ilustrasi (sumber) |
Saya terdorong untuk menuliskan ini, tatkala seorang sahabat
berkomentar dalam sebuah grup facebook yang saya inisiasi bersama
kawan-kawan. Tetapi dibalik itu
sebetulnya kami pula hendak membangun satu tradisi berdemokrasi yang lebih terbuka, proaktif
dan fair melalui jejaring media sosial. Komentar
sahabat itu intinya menyatakan ketidaksukaan dia terhadap politik yang katanya
tidak jelas.
Saya pikir, komentar sahabat itu lumrah dan bisa jadi masih ada jutaan
orang dibangsa ini beranggapan demikian.
Betapa tidak, sejarah perjalanan demokrasi bangsa ini lebih dominan
diwarnai oleh praktik politik hitam (black
politic) mulai dari money politic,
black campign, politik kartel dan seterusnya
yang berimplikasi pada lahirnya pemerintahan yang rapuh (soft goverment) dan lemahnya supremasi hukum. Bila kita meminjam perspektif genealogi
pengetahuan Foucoult, perjalanan sejarah demokrasi yang suram itu membentuk
rantai genetik sosial (social genetic)
yang buruk terhadap praktik-praktik demokrasi termasuk politik. Selanjutnya, akan melahirkan ekspresi social genetic yang buruk pula terhadap
politik.
Makanya bukan hal yang mengherankan, masyarakat yang lahir dan hidup
dengan sejarah seperti itu akan menderung meragukan demokrasi baik struktur
maupun aktornya. Masyarakat akan menjadi
“alergi” terhadap politik karena politik akan dimaknai sebagai sistem kebohongan
dan manipulasi, apatis dan pesimis terhadap kontestasi demokrasi. Masyarakat akan cenderung sinis pada
orang-orang yang ingin terjun dalam kontestasi demokrasi seperti pemilu. Kehilangan kepercayaan terhadap pemimpin
pemerintahan dan bahkan kelompok idiologis tertentu melihat ini peluang untuk mengganti
demokrasi dengan sistem lain dengan mencibir bahwa demokrasi telah gagal (failed).
Saya memahami, beban masyarakat kita sangat berat. “Dipaksa” untuk
menggantungkan harapan pada demokrasi dalam lintas sejarahnya yang suram. Terlebih lagi setelah bergulirnya
desentralisasi justru harapan-harapan itu semakin pupus. Masyarakat sipil adalah elemen terbanyak
dalam demokrasi namun justru menjadi elemen paling lemah dalam konteks demokrasi
bangsa kita. Ini jauh dari
harapan-harapan itu bahwa demokrasi menjadikan rakyat berdaulat.
Lantas gimana dong..??
Saya pikir tidak cara lain selain masyarakat itu mesti berdaya. Apakah keberdayaan ini muncul dari agen-agen
prodemokrasi atau dari individu-individu masyarakat sipil itu sendri. Idealnya adalah tumbuh dari individu-individu
yang kemudian terkonsolidasi mengawal jalannya demokrasi secara baik dan
ideal. Untuk itu diperlukan pula
kreativitas untuk menemukan ruang untuk “bersuara lantang” dalam konteks
mengawasi proses demokrasi berjalan lebih fair dan transparan.
Sumber Foto |
Terkait judul diatas, nampaknya media sosial adalah ruang kreatif yang
sangat efektif untuk bisa “bersuara keras
dan kritis” terhadap pelaku-pelaku politik dalam demokrasi. Sekaligus menggiring proses demokrasi bisa
berjalan dengan transparan. Media sosial
juga sangat efektif untuk mendorong pembelajaran politik.
Namun, ibarat pisau bermata dua, media sosial juga bisa dimanfaat oleh
orang atau kelompok tertentu dalam mengkampanyekan kepentingan politiknya. Bahkan, Barack Obama terpilih dua kali
menjadi prsedien AS karena dibantu oleh media sosial. Saya kira ini dapat
menjadi sebuah peluang bagi masayarakt sipil untuk berhadap-hadapan langsung
dengan orang atau kelompok yang sedang memperebutkan kekuasaan politk dalam
demokrasi. Masyarakat sipil hampir tanpa
batas bisa menggugat mereka, mempertanyakan mereka dan membuktikan itikad baik
mereka.
Singkatnya, media sosial memberikan ruang bersuara yang sangat lebar
bagi masayarakat sipil untuk menggugat, mengontrol dan berkonsolidasi. Ruang inilah yang telah lama hilang dan samar
selama masa orde baru.
Tentu saja, media sosial tidak hanya berfungsi dalam konteks politik. Segala aspek dan sendi demokrasi bisa lebih
dikuatkan dan dihidupkan. Melalui media
sosial, masayarakat sipil bisa salain menyatu dan berkonsolidasi tanpa
batas. Masyarakat sipil dapat berhimpun
dalam ikatan profesi, agama, etnis, bahkan ikatan kepedulian, kemanusiaan dan
idiologi.
Saya kira media media sosial telah menunjukkan tajinya dalam iklim
demokrasi. So, sudah waktunya kita
masyarakat sipil merebut peluang itu, memekikkan kembali suara lantang dan
kritis dalam demokrasi yang telah lama diredup, diredam dan dibungkam. Kepada kelompok
atau orang yang sedang memperebutkan kekuasaan politik, mari menggugat mereka,
mempertanyakan mereka dan membuktikan itikad baik mereka.
Bogor, 13 Nopember 2013
Pukul 11:12 WIB
0 komentar:
Posting Komentar