Entri Populer

Pages

13 November, 2013

MEDIA SOSIAL PEMAIN BARU DALAM DEMOKRASI


Ilustrasi (sumber)
 Saya terdorong untuk menuliskan ini, tatkala seorang sahabat berkomentar dalam sebuah grup facebook yang saya inisiasi bersama kawan-kawan.  Tetapi dibalik itu sebetulnya kami pula hendak membangun satu tradisi berdemokrasi yang lebih terbuka, proaktif dan fair melalui jejaring media sosial.  Komentar sahabat itu intinya menyatakan ketidaksukaan dia terhadap politik yang katanya tidak jelas. 

Saya pikir, komentar sahabat itu lumrah dan bisa jadi masih ada jutaan orang dibangsa ini beranggapan demikian.  Betapa tidak, sejarah perjalanan demokrasi bangsa ini lebih dominan diwarnai oleh praktik politik hitam (black politic) mulai dari money politic, black campign, politik kartel dan seterusnya yang berimplikasi pada lahirnya pemerintahan yang rapuh (soft goverment) dan lemahnya supremasi hukum.  Bila kita meminjam perspektif genealogi pengetahuan Foucoult, perjalanan sejarah demokrasi yang suram itu membentuk rantai genetik sosial (social genetic) yang buruk terhadap praktik-praktik demokrasi termasuk politik.  Selanjutnya, akan melahirkan ekspresi social genetic yang buruk pula terhadap politik.

Makanya bukan hal yang mengherankan, masyarakat yang lahir dan hidup dengan sejarah seperti itu akan menderung meragukan demokrasi baik struktur maupun aktornya.  Masyarakat akan menjadi “alergi” terhadap politik karena politik akan dimaknai sebagai sistem kebohongan dan manipulasi, apatis dan pesimis terhadap kontestasi demokrasi.  Masyarakat akan cenderung sinis pada orang-orang yang ingin terjun dalam kontestasi demokrasi seperti pemilu.  Kehilangan kepercayaan terhadap pemimpin pemerintahan dan bahkan kelompok idiologis tertentu melihat ini peluang untuk mengganti demokrasi dengan sistem lain dengan mencibir bahwa demokrasi telah gagal (failed).

Saya memahami, beban masyarakat kita sangat berat. “Dipaksa” untuk menggantungkan harapan pada demokrasi dalam lintas sejarahnya yang suram.  Terlebih lagi setelah bergulirnya desentralisasi justru harapan-harapan itu semakin pupus.  Masyarakat sipil adalah elemen terbanyak dalam demokrasi namun justru menjadi elemen paling lemah dalam konteks demokrasi bangsa kita.  Ini jauh dari harapan-harapan itu bahwa demokrasi menjadikan rakyat berdaulat.

Lantas gimana dong..??

Saya pikir tidak cara lain selain masyarakat itu mesti berdaya.  Apakah keberdayaan ini muncul dari agen-agen prodemokrasi atau dari individu-individu masyarakat sipil itu sendri.  Idealnya adalah tumbuh dari individu-individu yang kemudian terkonsolidasi mengawal jalannya demokrasi secara baik dan ideal.  Untuk itu diperlukan pula kreativitas untuk menemukan ruang untuk “bersuara lantang” dalam konteks mengawasi proses demokrasi berjalan lebih fair dan transparan.

Sumber Foto
Terkait judul diatas, nampaknya media sosial adalah ruang kreatif yang sangat efektif untuk bisa “bersuara keras dan kritis” terhadap pelaku-pelaku politik dalam demokrasi.  Sekaligus menggiring proses demokrasi bisa berjalan dengan transparan.  Media sosial juga sangat efektif untuk mendorong pembelajaran politik.

Namun, ibarat pisau bermata dua, media sosial juga bisa dimanfaat oleh orang atau kelompok tertentu dalam mengkampanyekan kepentingan politiknya.  Bahkan, Barack Obama terpilih dua kali menjadi prsedien AS karena dibantu oleh media sosial. Saya kira ini dapat menjadi sebuah peluang bagi masayarakt sipil untuk berhadap-hadapan langsung dengan orang atau kelompok yang sedang memperebutkan kekuasaan politk dalam demokrasi.  Masyarakat sipil hampir tanpa batas bisa menggugat mereka, mempertanyakan mereka dan membuktikan itikad baik mereka. 

Singkatnya, media sosial memberikan ruang bersuara yang sangat lebar bagi masayarakat sipil untuk menggugat, mengontrol dan berkonsolidasi.  Ruang inilah yang telah lama hilang dan samar selama masa orde baru.

Tentu saja, media sosial tidak hanya berfungsi dalam konteks politik.  Segala aspek dan sendi demokrasi bisa lebih dikuatkan dan dihidupkan.  Melalui media sosial, masayarakat sipil bisa salain menyatu dan berkonsolidasi tanpa batas.  Masyarakat sipil dapat berhimpun dalam ikatan profesi, agama, etnis, bahkan ikatan kepedulian, kemanusiaan dan idiologi.

Saya kira media media sosial telah menunjukkan tajinya dalam iklim demokrasi.  So, sudah waktunya kita masyarakat sipil merebut peluang itu, memekikkan kembali suara lantang dan kritis dalam demokrasi yang telah lama diredup, diredam dan dibungkam. Kepada kelompok atau orang yang sedang memperebutkan kekuasaan politik, mari menggugat mereka, mempertanyakan mereka dan membuktikan itikad baik mereka.


Bogor, 13 Nopember 2013
Pukul 11:12 WIB

0 komentar:

Posting Komentar