Ilustrasi (sumber foto) |
Hari ini, seperti biasa saya pulang menjelang Isya. Perasaan sumpek oleh sesaknya kenderaan dan
asap knalpot telah menyatu disetiap jalan raya Bogor. Entah apa yang sedang diurus orang-orang di
kota ini. Kenderaan selalu saja ramai
lalu lalang seolah kerjaan mereka tak kunjung usai. Orang-orang di kota ini seolah tak kenal
lelah dan tak pernah terlelap, siang malam selalu saja ramai.
“mungkin inilah
pengaruh Bogor sebagai daerah satelit ibu kota”
gumamku
Selagi dalam Angkutan Kota (angkot) kampus dalam jurusan Darmaga
yang melaju tak kencang akibat sesaknya kenderaan, tiba-tiba tampak rombongan bocah-bocah
berpakaian santri melantunkan Salawat Badar diiringi oleh dentuman rebana. Masing-masing mereka memegang obor. Pemandangan ini ramai terlihat sepanjang
jalan dari terminal Laladon menuju kampus IPB Darmaga.
Sejenak saya hanyut dalam lantunan Salawat Badar itu, memupuskan
rasa sesak akibat kemacetan. Dengan wajah lugu dan semangat berapi-api para
bocah santri itu melantunkan shalawat secara koor dengan suara terbaik mereka.
Diantara barisan mereka ada pula orang-orang dewasa ikut mengiringi.
Rupa-rupanya ini adalah tradisi menyambut datangnya Tahun Baru Hijriyah.
Tidak hanya kegembiraan, saya menangkap pancaran aura keimanan dan
harapan dari suara-suara mereka. Jika dulu obor adalah cahaya untuk menerangi
jalan di desa-desa agar tak menginjak duri dan onak, maka tentu obor itu tak
berfungsi lagi ditengah kota yang bermandikan cahaya lampu listrik.
Bagi saya, obor itu tak hendak menerangi jalan aspal yang mereka tapaki. Namun, itu adalah simbol secercah cahaya
keimanan yang akan menerangi jalan kehidupan.
Mungkin cahaya obor keimanan itu tampak redup ditengah cahaya kota,
namun bocah-bocah santri itu seolah hendak mengingatkan bahwa jika obor-obor
ummat muslim bersatu-padu dalam tali ukhuwah maka tak hanya meredupkan
gemerlapnya kota tetapi akan menjadi berkah cahaya rahmatan bagi sekalian
semesta.
Bocah-bocah santri itu seolah sedang mengingatkan:
...dan Yang
mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu
membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat
mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah
telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah
lagi Maha Bijaksana. [QS. Al Anfaal (8): 63]
Rombongan bocah-bocah santri yang bersemangat dan berbahagia itu,
mengingatkan saya pada sejarah saat Rasulullah Muhammad tiba di kota Madinah
hijrah dari tanah kelahirannya Mekkah.
Kendati Rasulullah terusir dari
tanah kelahirannya, namun beliau telah lama ditunggu oleh penduduk kota Madinah
(Yastrib). Setibanya di pintu gerbang
Madinah, penduduk menyambut beliau dengan lantunan shalawat. Hingga beberapa
penyair melantunkan nasyid selamat datang yang kini dikenal dengan ‘Thala’al Badru ‘alaina’.
PARADIGMA HIJRAH
PEMANTIK IMAN
Bagi ummat muslim, pergantian tahun Hijriyah adalah sebuah
momentum luar biasa. Selain sebagai
moment untuk ber-muhasabah
(introspeksi diri), ummat Islam percaya bahwa saat pergantian tahun Hijriyah doa-doa
akan terkabul, para malaikat akan turun untuk melihat ummat Muhammad sebelum
menyerahkan report tahunan mereka ke
hadirat Allah SWT. Karena itu, segala
puja puji, zikir pikir dan shalawat serta salam akan dipanjatkan menjelang
akhir tahun sembari melukis harapan di tahun selanjutnya.
Babakan tahun Hijriyah bermula saat hijrahnya Nabi Muhammad dari
Mekkah ke Yastrib yang kini dikenal dengan nama Madinah setelah 13 tahun
berdakwah di Mekkah dengan penuh tekanan dan intimidasi. Rasulullah hijrah ke Madinah pada
tanggal 662 M atau bertepatan dengan 27
Shafar meninggalkan Mekkah dan sampai di Madinah bersamaan dengan hari
kelahiran beliau yakni 12 Rabiul Awwal.
Jadi pemahaman bulan Muharram bukan sebagai bulan hijrahnya Rasulullah
namun dipahami sebagai bulan pertama pada tahun Hijriyah. Penetapan tahun Hijriyah ini terjadi pada
saat tahun ketiga berkuasanya khalifah Umar Bin Khattab.
Hijrah dalam bahasa arab berarti migrasi atau berpindah. Dari sini,
secara historis dapat dimaknai sebagai peristiwa berpindahnya atau migrasinya Rasulullah
dari Mekkah menuju Madinah dalam menunaikan misi dakwah. Hijrahnya Rasulullah tersebut tentu saja
bukan didorong oleh perasaan takut akan ancaman dari penduduk Mekkah. Namun lebih pada bagian dari strategi
Rasulullah dalam menjalankan misi dakwahnya.
Karena setiap perbuatan dan perkataan Rasulullah adalah imanent dengan
wahyu Ilahi maka hijrah itupun harus dipahami pula sebagai salah satu bentuk
wahyu Ilahi.
Pertanyaannya kemudian adalah, kita sebagai ummat Rasulullah
bagaimana sebaiknya memandang peristiwa hijrahnya Rasulullah..??
Dalam tinjauan historisitas Kerasulan Muhammad, peristiwa ini
adalah peristiwa yang telah usai. Yang
penting saat ini adalah bagaimana kita menghadirkan nilai historisitas tersebut
untuk memberi makna bagi historisitas manusiaan kita. Hal ini menjadi penting karena bermuara pada
upaya meningkatkan kualitas keimanan kita.
Untuk itu, memaknai peristiwa hijrah Rasulullah tidak semata secara
historis saja.
Hijrah akan sangat berfaedah bagi keimanan dan historisitas kemanusiaan
kita jika kita menafsirnya dari perspektif spritual. Artinya Hijrah tidak hanya bermakna fisik
tetapi metafisik, tidak hanya bermakna tempat tetapi juga bermakna
suasana. Hijrahnya Rasulullah dari
Mekkah yang penuh ancaman ke Madinah yang disambut dengan kegembiraan, menjadi
kabar gembira pula bagi kaum muslim dan non muslim saat itu untuk berhijrah
pula mengikuti Rasulullah.
Bagi kita, secara simbolik kita maknai sebagai hijrahnya kita dari
suasana mencekam atau keburukan (Mekkah) menuju pada suasana kebaikan
(Madinah). Kebaikan sebagai susana yang
dituju dari hijrah tersebut akan menjadi kabar gembira (kebaikan) bagi orang
lain sehingga orang lainpun berlomba-lomba berhijrah pada kebaikan (fastabiqul khairat). Konsekuensinya adalah hijrah membawa kita
pada kualitas keimanan yang terus meningkat.
Hijrah ini merupakan tindakan aktif yang dilakukan secara
terus-menerus atau kontinyu dalam historisitas kemanusiaan kita. Untuk itu, membutuhkan suatu prosedur atau
mekanisme untuk hijrah. Prosedur atau
mekanisme itulah yang kita kenal dengan amar
makruf nahi mungkar (menyeru kebaikan, mencegah kemungkaran). Jika merujuk pada dakwah Rasulullah, beliau
selalu menunjukkan keteladanan yakni ajakan kebaikan dengan melakukan langsung
kebaikan-kebaikan itu. Artinya amar makruf nahi mungkar bukan berarti
bertindak dengan kekerasan terhadap orang lain, namun penekannya adalah pada
diri kita sendiri untuk berbuat baik sehingga menjadi teladan bagi orang lain.
Selain itu, awal bulan tahun Hijriyah adalah bulan Muharram. Bagi saya, kata Muharram disini bermakna
bahwa diharamkan bagi kita untuk memulai tahun baru dengan kejahatan dan
keburukan. Terlebih lagi sebelum bulan
Muharram didahului oleh bulan Zulhijjah dimana ada perintah berhaji untuk
menyucikan diri. Artinya, memasuki tahun
baru hijriyah dengan kesucian dan mengawalinya dengan perbuatan-perbuatan baik.
Menurut saya, mestinya Hijrah menjadi paradigma bagi historisitas
kemanusiaan kita. Tak hanya menjelang
tahun baru hijriyah, setiap saat kita senantiasa melakukan hijrah. Setiap saat kita hijrah meninggalkan
keburukan dan menuju kebaikan-kebaikan.
Dengan cara inilah kualitas keimanan kita terus meningkat hingga kita
imanen dengan diri-Nya. Atau dalam ungkapan sufi
jauh tak berjarak, dekat tak bersentuh.
Akhirnya, selamat tahun baru Hijriyah 1435 mohon maaf lahir
batin. Dengan dzikir kita melebur
dengan-Nya, dengan pikir kita mengagumi-Nya.
Saat sedang
berupaya berhijrah dimalam tahun baru Hijriyah
Bogor, 1 Muharram
1435 H / 5 Nopember 2013
Pukul 00:00 WIB
0 komentar:
Posting Komentar