Entri Populer

Pages

05 November, 2013

1 MUHARRAM DAN SECERCAH CAHAYA OBOR KEIMANAN


Ilustrasi (sumber foto)


Hari ini, seperti biasa saya pulang menjelang Isya.  Perasaan sumpek oleh sesaknya kenderaan dan asap knalpot telah menyatu disetiap jalan raya Bogor.  Entah apa yang sedang diurus orang-orang di kota ini.  Kenderaan selalu saja ramai lalu lalang seolah kerjaan mereka tak kunjung usai.  Orang-orang di kota ini seolah tak kenal lelah dan tak pernah terlelap, siang malam selalu saja ramai.

“mungkin inilah pengaruh Bogor sebagai daerah satelit ibu kota” gumamku

Selagi dalam Angkutan Kota (angkot) kampus dalam jurusan Darmaga yang melaju tak kencang akibat sesaknya kenderaan, tiba-tiba tampak rombongan bocah-bocah berpakaian santri melantunkan Salawat Badar diiringi oleh dentuman rebana.  Masing-masing mereka memegang obor.  Pemandangan ini ramai terlihat sepanjang jalan dari terminal Laladon menuju kampus IPB Darmaga.

Sejenak saya hanyut dalam lantunan Salawat Badar itu, memupuskan rasa sesak akibat kemacetan. Dengan wajah lugu dan semangat berapi-api para bocah santri itu melantunkan shalawat secara koor dengan suara terbaik mereka.  Diantara barisan mereka ada pula orang-orang dewasa ikut mengiringi. Rupa-rupanya ini adalah tradisi menyambut datangnya Tahun Baru Hijriyah.

Tidak hanya kegembiraan, saya menangkap pancaran aura keimanan dan harapan dari suara-suara mereka. Jika dulu obor adalah cahaya untuk menerangi jalan di desa-desa agar tak menginjak duri dan onak, maka tentu obor itu tak berfungsi lagi ditengah kota yang bermandikan cahaya lampu listrik.

Bagi saya, obor itu tak hendak menerangi jalan aspal  yang mereka tapaki.  Namun, itu adalah simbol secercah cahaya keimanan yang akan menerangi jalan kehidupan.   Mungkin cahaya obor keimanan itu tampak redup ditengah cahaya kota, namun bocah-bocah santri itu seolah hendak mengingatkan bahwa jika obor-obor ummat muslim bersatu-padu dalam tali ukhuwah maka tak hanya meredupkan gemerlapnya kota tetapi akan menjadi berkah cahaya rahmatan bagi sekalian semesta.

Bocah-bocah santri itu seolah sedang mengingatkan:

...dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana. [QS. Al Anfaal (8): 63]

Rombongan bocah-bocah santri yang bersemangat dan berbahagia itu, mengingatkan saya pada sejarah saat Rasulullah Muhammad tiba di kota Madinah hijrah dari tanah kelahirannya Mekkah.  Kendati  Rasulullah terusir dari tanah kelahirannya, namun beliau telah lama ditunggu oleh penduduk kota Madinah (Yastrib).  Setibanya di pintu gerbang Madinah, penduduk menyambut beliau dengan lantunan shalawat. Hingga beberapa penyair melantunkan nasyid selamat datang yang kini dikenal dengan ‘Thala’al Badru ‘alaina’.


PARADIGMA HIJRAH PEMANTIK IMAN

Bagi ummat muslim, pergantian tahun Hijriyah adalah sebuah momentum luar biasa.  Selain sebagai moment untuk ber-muhasabah (introspeksi diri), ummat Islam percaya bahwa saat pergantian tahun Hijriyah doa-doa akan terkabul, para malaikat akan turun untuk melihat ummat Muhammad sebelum menyerahkan report tahunan mereka ke hadirat Allah SWT.  Karena itu, segala puja puji, zikir pikir dan shalawat serta salam akan dipanjatkan menjelang akhir tahun sembari melukis harapan di tahun selanjutnya.

Babakan tahun Hijriyah bermula saat hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Yastrib yang kini dikenal dengan nama Madinah setelah 13 tahun berdakwah di Mekkah dengan penuh tekanan dan intimidasi.  Rasulullah hijrah ke Madinah pada tanggal  662 M atau bertepatan dengan 27 Shafar meninggalkan Mekkah dan sampai di Madinah bersamaan dengan hari kelahiran beliau yakni 12 Rabiul Awwal.  Jadi pemahaman bulan Muharram bukan sebagai bulan hijrahnya Rasulullah namun dipahami sebagai bulan pertama pada tahun Hijriyah.  Penetapan tahun Hijriyah ini terjadi pada saat tahun ketiga berkuasanya khalifah Umar Bin Khattab.

Hijrah dalam bahasa arab berarti migrasi atau berpindah. Dari sini, secara historis dapat dimaknai sebagai peristiwa berpindahnya atau migrasinya Rasulullah dari Mekkah menuju Madinah dalam menunaikan misi dakwah.  Hijrahnya Rasulullah tersebut tentu saja bukan didorong oleh perasaan takut akan ancaman dari penduduk Mekkah.  Namun lebih pada bagian dari strategi Rasulullah dalam menjalankan misi dakwahnya.  Karena setiap perbuatan dan perkataan Rasulullah adalah imanent dengan wahyu Ilahi maka hijrah itupun harus dipahami pula sebagai salah satu bentuk wahyu Ilahi.

Pertanyaannya kemudian adalah, kita sebagai ummat Rasulullah bagaimana sebaiknya memandang peristiwa hijrahnya Rasulullah..??

Dalam tinjauan historisitas Kerasulan Muhammad, peristiwa ini adalah peristiwa yang telah usai.  Yang penting saat ini adalah bagaimana kita menghadirkan nilai historisitas tersebut untuk memberi makna bagi historisitas manusiaan kita.  Hal ini menjadi penting karena bermuara pada upaya meningkatkan kualitas keimanan kita.  Untuk itu, memaknai peristiwa hijrah Rasulullah tidak semata secara historis saja.

Hijrah akan sangat berfaedah bagi keimanan dan historisitas kemanusiaan kita jika kita menafsirnya dari perspektif spritual.  Artinya Hijrah tidak hanya bermakna fisik tetapi metafisik, tidak hanya bermakna tempat tetapi juga bermakna suasana.  Hijrahnya Rasulullah dari Mekkah yang penuh ancaman ke Madinah yang disambut dengan kegembiraan, menjadi kabar gembira pula bagi kaum muslim dan non muslim saat itu untuk berhijrah pula mengikuti Rasulullah. 

Bagi kita, secara simbolik kita maknai sebagai hijrahnya kita dari suasana mencekam atau keburukan (Mekkah) menuju pada suasana kebaikan (Madinah).  Kebaikan sebagai susana yang dituju dari hijrah tersebut akan menjadi kabar gembira (kebaikan) bagi orang lain sehingga orang lainpun berlomba-lomba berhijrah pada kebaikan (fastabiqul khairat).  Konsekuensinya adalah hijrah membawa kita pada kualitas keimanan yang terus meningkat.

Hijrah ini merupakan tindakan aktif yang dilakukan secara terus-menerus atau kontinyu dalam historisitas kemanusiaan kita.  Untuk itu, membutuhkan suatu prosedur atau mekanisme untuk hijrah.  Prosedur atau mekanisme itulah yang kita kenal dengan amar makruf nahi mungkar (menyeru kebaikan, mencegah kemungkaran).  Jika merujuk pada dakwah Rasulullah, beliau selalu menunjukkan keteladanan yakni ajakan kebaikan dengan melakukan langsung kebaikan-kebaikan itu.  Artinya amar makruf nahi mungkar bukan berarti bertindak dengan kekerasan terhadap orang lain, namun penekannya adalah pada diri kita sendiri untuk berbuat baik sehingga menjadi teladan bagi orang lain.

Selain itu, awal bulan tahun Hijriyah adalah bulan Muharram.  Bagi saya, kata Muharram disini bermakna bahwa diharamkan bagi kita untuk memulai tahun baru dengan kejahatan dan keburukan.  Terlebih lagi sebelum bulan Muharram didahului oleh bulan Zulhijjah dimana ada perintah berhaji untuk menyucikan diri.  Artinya, memasuki tahun baru hijriyah dengan kesucian dan mengawalinya dengan perbuatan-perbuatan baik.

Menurut saya, mestinya Hijrah menjadi paradigma bagi historisitas kemanusiaan kita.  Tak hanya menjelang tahun baru hijriyah, setiap saat kita senantiasa melakukan hijrah.  Setiap saat kita hijrah meninggalkan keburukan dan menuju kebaikan-kebaikan.   Dengan cara inilah kualitas keimanan kita terus meningkat hingga kita imanen dengan diri-Nya. Atau dalam ungkapan sufi jauh tak berjarak, dekat tak bersentuh.

Akhirnya, selamat tahun baru Hijriyah 1435 mohon maaf lahir batin.  Dengan dzikir kita melebur dengan-Nya, dengan pikir kita mengagumi-Nya.


Saat sedang berupaya berhijrah dimalam tahun baru Hijriyah
Bogor, 1 Muharram 1435 H / 5 Nopember 2013
Pukul 00:00 WIB

0 komentar:

Posting Komentar