|
Ilustrasi (Foto:Guntur) |
Tulisan
ini memang sejak awal diniatkan untuk mengisi ruang kosong diblog untuk episode
Ekspedisi Wakatobi. Hanya saja, beberapa
waktu lalu diminta untuk dimuat dalam buku berlatar wisata “Wakatobi; Catatan
Para Penyaksi” yang diterbitkan oleh Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi bekerjasama
dengan PSP3-IPB dan Komunitas Informasi Wisata (KiTA) Wakatobi. Namun, batin ini rasanya tak elok sesuatu
yang telah diniatkan kemudian urung untuk dilaksanakan karena tanpa
alasan. Judulnya dalam buku dimodiifikasi
menjadi BENTENG LIYA; Dari Romantisme Hingga Patriotisme.
*****
Siapa yang
menyangka, dibalik puing reruntuhan batu-batu gunung cadas itu menyimpan
selaksa kisah kasih yang tak sampai.
Mengharap menyatunya dua negeri dari sepasang hati, justru yang terjadi
ujung parang dan belati yang saling mengacungi. Dendam dan amarah yang
meluap-luap karena kaum yang merasa dikhianati. Ini bukan lagi hanya soal hati,
namun telah mencederai jati dan harga diri. Kisah romantisasi kemudian
melahirkan para patriot sejati.
|
Pintu Gerbang (lawa) Benteng Liya |
Saat ini,
kisah itu masih dikenang dalam memori kolektif orang Liya. Memang tak pernah
ada yang mengharapkan peperangan, tapi jika muka dan harga diri yang tersakiti
jangankan harta, nyawapun akan menjadi taruhannya. Kisah dua insan dan negeri
inilah yang hendak saya telusuri di Benteng Liya dan melalui penuturan salah seorang
tokoh Liya.
Perjalanan
dimulai dari rumah tokoh tersebut di Kelurahan Pongo. Tokoh
tersebut menjadi tour guide perjalanan saya menyusuri jejak-jejak kejayaan Benteng Liya. Usianya yang renta yakni 64 tahun tak lalu
membuatnya kehilangan semangat. Tubuhnya
masih saja kuat menyusuri perkampungan di Benteng Liya. Kami ngobrol sebentar
untuk menyepakati rencana perjalanan.
Dari kelurahan
Pongo kami menggunakan mobil rental menuju perkampungan di Benteng Liya. Dari sini, Benteng Liya dapat ditempuh dalam
waktu kurang lebih 20 menit. Benteng
Liya tepat berada di ujung selatan Pulau Wangi-Wangi tepatnya
Desa Liya Togo. Tepat berhadapan dengan Pulau Kaledupa.
|
Meriam di salah satu gerbang |
Kebetulan
rumah tokoh itu berada di pasar pagi Wangi-Wangi. Pasar ini banyak menjajakan makanan
tradisional khas Wakatobi. Kami lalu
membeli panganan tradisional sebagai bekal.
Ada baruasa, karasi, kue putar dan aneka panganan tradisional
lainnya. Bagi anda yang hendak melakukan
trip ke spot-spot wisata Pulau Wangi-Wangi, saya menyarankan untuk
singgah terlebih dahulu di pasar pagi ini untuk membeli perbekalan. Tapi ingat, sesuai namanya pasar pagi hanya
buka sampai pukul 10 pagi.
Perjalananpun
dimulai. Sang tokoh mulai
berkisah. Wakatobi dimasa lampau
merupakan bagian yang terintegrasi dengan Kesultanan Buton. Jika di Kaledupa ada bharata Kaledupa, maka di Pulau Wangi-Wangi terdapat empat kadie.
Kadie ini tempat bermukimnya
empat sub etnis Buton yaitu Mandati, Wanci, Liya dan Kapota. Masing-masing kadie dipimpin oleh seorang Meantuu.
Berbeda dengan kadie lain di
kesultanan Buton, kepala kadie
disebut dengan lakina.
Menuju Benteng
Liya, kami menyusuri sepanjang pantai barat pulau Wangi-Wangi yang indah dengan
pasir putihnya yang bersih. Sepanjang
pantai barat ini terdapat gugusan karang indah yang cocok untuk snorkling dan diving. Disepanjang pantai
barat ini pula saat senja akan nampak panorama sunset.
|
Pulau Oroho terlihat dari Benteng Liya |
Sebelum
memasuki kawasan Benteng Liya, kami harus melalui Desa Liya Bahari. Liya Bahari merupakan hasil dinamisasi
komunitas di Desa Liya Togo. Disinilah
kami menyakasikan pusat budidaya rumput laut.
Tour guide mengajak kami mampir sebentar disitu untuk berinteraksi
dengan komunitas rumput laut. Awalnya, komunitas ini dulunya bermata
pencaharian petani jagung dan singkong. Desa Liya Bahari oleh UNESCO di
tetapkan sebagai salah satu spot konservasi biosfer dunia di Wakatobi.
Hasil
penelusuran yang saya lakukan, di Pulau wangi-Wangi ini pemukiman pertama terdapat di
sebelah selatan tepat di daerah pantai.
Lokasi tersebut didiami oleh orang-orang Mandati. Sementara orangLiya awalnya bermukim di Oroho. Disinilah kisah cinta yang tragis itu
bermula.
Kisah cinta Itu Berakhir Perang
Dahulu,
orang Liya
awalnya bermukim di Oroho. Oroho adalah
nama sebuah pulau kecil yang terdapat diantara Pulau Wangi-Wangi dan pulau
Kaledupa. Pulau Oroho biasa disebut juga
dengan Pulau Komponu One. Kata Komponu
One berati perutnya pasir. Di Pulau
tersebut komunitas Liya mendiami sebuah tempat yang disebut Tonganu Togo atau dalam bahasa Indonesia
berarti tengahnya kampung.
Pulau ini
memiliki keindahan pantai yang luar biasa.
Pasirnya putih bersih dengan laut yang masih jernih. Ikan-ikan karang yang menari-nari mengitari
gugusan karang menjadi daya tarik tersendiri buat para penyelam. Seolah-olah kepulauan Wakatobi tecipta dari
tetesan embun sorga yang menetes dari kolong langit dan Pulau Oroho salah satu percikan
embun sorga itu. Jika berkunjung ke
Pulau Wangi-Wangi, Pulau Oroho sangat recomended
untuk dikunjungi.
|
Gadis Wakatobi (foto:Deddy) |
Lalu muncul
inisiatif antara orang Mandati yang mendiami pantai selatan Wangi-Wangi dengan orang Liya yang mendiami Pulau
Oroho untuk saling mendekatkan diri. Dua
komunitas ini bersepakat untuk menikahkan seorang putri cantik dari Pulau Oroho
dengan pangeran tampan dari pesisir selatan Wangi-Wangi. Pertautan cinta dan hati dari sepasang insan
ini hendak mereka jadikan sebagai simbol ikatan persaudaraan.
Konon katanya,
putri tersebut memiliki paras wajah yang sangat cantik. Setiap gerakaanya gemulai laksana tarian lariangi yang terkenal itu. Budi baik, tutur kata dan perangainya yang
santun menambah kesempurnaan kecantikannya.
Sementara pangeran dari Mandati memiliki wajah nan tampan. Tentu dimasa lampau lelaki terpilih selalu
dibekali ilmu kanuragan yang mampuni untuk menjaga negeri. Keduanya memang
sepadan untuk dipertautkan.
Tibalah saat
para tetua kedua komunitas menentukan “hari baik”. Kedua insan dipertemukan lalu pandangan
mereka saling bertautan. Sejenak
keduanya terbawa oleh susana hasrat jiwa yang menghanyutkan. Dada keduanya
berdebar-debar bukan karena ketakutan tapi semangat kebahagiaan. Energi cinta makin terasa pekat merajai kedua
insan yang dirundung kasmaran itu. Chemistry sangat kuat diantara mereka.
“Hari baik”
ditentukan dengan dua buah pohon kayu.
Sepotong pohon kayu di tancapkan di Oroho dan sepotong pohon kayu
lainnya ditancapkan di kampung orang Mandati.
Kesepakannya adalah, jika sepotong kayu tersebut telah lapuk dimakan
masa maka saat itulah pelamaran dan ijab kabul dilangsungkan. Orang Mandati akan datang membawa seserahan dan
adat untuk meminang Sang Putri.
Semua orang
menanti “hari baik” itu. Saat inilah
sepasang kekasih dirundung rindu yang sangat.
Waktu seolah berjalan lambat menunggu saat yang menentukan. Hari berganti pekan, pekan berganti bulan dan bergulir menjadi tahun. Penantian itu dilewati dengan sangat berat.
|
Penduduk asli Benteng Liya |
Perihal
yang tak diharapkan terjadi. Potongan pohon kayu tadi yang diharapkan menjadi pintu masuk
kebahagiaan berubah menjadi sumber malapetaka.
Potongan pohon kayu di Oroho telah lapuk dimakan masa, tapi sayang tanpa
sepengatahuan orang Liya potongan kayu di Mandati justru berakar, bertunas dan
tumbuh menjadi pohon baru. Akibatnya, Lamaran tak kunjung datang.
Orang Liya pun mengklaim bahwa orang Mandati telah
mengkhianati kesepakatan. Cinta sepasang
kekasih menjelma menjadi genderang perang antar dua negeri. Kerinduan saat “hari baik” menjadi kemarahan
yang luar biasa. Bagi orang Liya ini
adalah pengkhianatan yang telah mencoreng harga diri negeri dan tak
termaafkan. Orang Liya lalu membalasnya dengan
penyerangan atas orang mandati.
Liya berhasil
menaklukkan Mandati
dan merebut wilayah pesisir selatan Wangi-Wangi. Orang Mandati terpukul mundur ke utara
hingga sekarang menempati pesisir barat Pulau wangi-Wangi. Saat ini, perkampungan Mandati menjadi pusat
kota di Pulau Wangi-Wangi. Komunitas Liya lalu membangun perkampungan di wilayah selatan Pulau
Wangi-Wangi. Perkampungan itu agak
menjorok keatas yang kini dikenal sebagai Desa Liya Togo. Disinilah dibangun sebuah benteng yang
mengelilingi pemukiman penduduk.
Komunitas Liya saat ini telah berkembang menjadi beberapa desa yang
mendiami wilayah sekitarnya.
Cinta dan Patriotisme
Selain
romantisme, sejarah Liya juga diisi dengan kisah heroik dan patriotisme. Tokoh yang sangat dikenang sebagi tokoh
heroik oleh orang
Liya adalah La Kuhairi yang diberi gelar talo-talo. Gelar ini diberikan padanya setelah berhasil
menghalau gempuran bajak laut dari Tobelo.
Selain itu, La Kuhairi juga berhasil menumpas pemberontakan di
Bombonawulu atas perintah sultan Buton.
Kisah peperangan ini dikenang dalam memori kolektif orang Liya melalui tari
Honari Mosega dan Tamburu.
Tarian ini hingga sekarang masih digelar pada event tahunan di Benteng Liya. Dengan berbagai prestasinya, La Kuhairi
diangkat menjadi Meantuu Liya ke 7. Tak hanya itu, Liya juga menjadi penasehat sultan
Buton untuk pertanahan keamanan.
|
Meantu'u Liya sedang berziarah di makam La Kuhairi |
Struktur ruang
benteng ditata sedemikian rupa sebagai mekanisme pertahanan benteng. Ada zona inti yang berada ditengah sebagai
pusat. Di zona inti terdapat masjid tua
yang berhadapan dengan baruga. Baruga digunakan untuk pertemuan
perangkat pemerintahan Liya. Masjid dan
baruga dipisahkan oleh tanah lapang atau alun-alun untuk pusat aktifitas
adat. Sisi kiri dan kanan lapangan
terdapat kompleks makam tokoh Liya dan meantuu Liya 7 serta liang yang telah ditutupi
dengan susunan batu gunung hingga menyerupai monumen.
Sekitar zona
inti dikelilingi oleh pemukiman penduduk.
Rumah-rumah penduduk hingga saat ini masih banyak yang bertahan dan telah berusia ratusan tahun
dengan arsitektur rumah adat Liya.
Disetiap sudut-sudut empat penjuru mata angin terdapat pos pertahanan
yang masing-masing
pos pertahanan dijaga seorang panglima.
Di zona inti terdapat bangunan tua sebagai pusat kordinasi
pertahanan. Dibangunan inilah La Kuhairi
mengatur strategi perang dan pertahanan.
Benteng Liya
memiliki daya tarik tersendiri sebagai salah satu destinasi wisata di Pulau
Wangi-Wangi. Benteng tersebut
menyuguhkan wisata sejarah dan budaya.
Berbagai situs bersejarah ratusan tahun masih bertahan hingga sekarang. Dinding benteng masih berdiri kokoh walaupun
beberapa sisinya telah runtuh dimakan usia.
Beberapa pintu gerbang (lawa)
sebagai pintu masuk benteng yang diapit oleh meriam Portugis yang siap
menghadang musuh yang menyerang.
Dari benteng
ini dapat disaksikan view laut dan
pulau yang begitu indah. Berjejer
pulau-pulau utama Wakatobi yaitu Kaledupa, Tomia dan Binongko. Nampak pula Pulau Oroho tempat dimana nenek
moyang orang Liya berasal.
Sejak awal
perjalanan hingga kembali pulang, hati saya dipenuhi decak kagum. Imaginasi saya terhempas ke masa lalu untuk
menemukan wujud yang dikisahkan. Saya
baru menyusuri satu sisi kepulauan Wakatobi namun telah menemukan deretan
anugerah Ilahi yang begitu dahsyat melalui budaya komunitas dan keindahan
alamnya. Tuhan seolah sedang tersenyum
saat menciptakan gugusan pulau Wakatobi.
Dalam hati
saya berbisik “saya harus kembali bekunjung ke pulau ini,
sebagian hati saya telah tertambat disini”.
Wakatobi, 15 November 2014.