Entri Populer

Pages

04 Juni, 2013

MEMAHAT INGATAN TENTANG BAUBAU



Anda pernah mendengar Kota Baubau..? Anda pernah kesana..?.  Saya cukup mengenal daerah ini.  Mengapa tidak, selain mama saya adalah asli daerah ini saya juga lahir, besar, sekolah di kota ini dan KTP sayapun masih beralamat di kota ini.  Tepatnya, saya masih penduduk kota Baubau.

Dini hari malam ini, saya terbangun dari tidur yang pulas dan tiba-tiba kota kelahiran saya itu terlintas dalam benakku. Sudut-sudut kota itu sekejap muncul menguasai pikiranku, wajah-wajah orang disana yang mungkin saja juga sedang terlelap, wajah saudara dan berjuta kenangan bersama sahabat.  Entah mengapa, tubuh ini terbangun dan fikiran ini mencoba memahat kembali ingatan tentang Baubau tercinta.  Mungkin saya sedang merindukannya.

Sudah hampir setahun saya berada di Bogor untuk melanjutkan studi.  Memang, waktu setahun belum terlalu lama untuk merantau menimba ilmu.  Tapi bukankah kerinduan membuat waktu menjadi relatif.  Apa lagi bagi para pecinta. Karena rindu menjadikan waktu semenit menjadi terlampau lama untuk dilalui, karena rindu laut dengan mudah disebrangi, gunung jadi enteng tuk di daki. Kok jadi melankolis gini sih..,hahaha.  Baiklah, saya ingin menuliskan pahatan ingatan saya itu.

Bagi anda yang belum pernah ke Kota Baubau bahkan belum pernah mendengar Kota Baubau, silahkan lihat di peta Indonesia. Kota Baubau terletak di Pulau Buton penghasil aspal itu.  Pulau Buton berada di kaki pulau Sulawesi, tepatnya bagian dari Propinsi Sulawesi Tenggara.  Untuk menjangkau Kota Baubaupun relatif mudah.  Bisa lewat udara, dapat pula lewat laut.



Jika lewat udara, kita bisa menggunakan destinasi penerbangan Merpati, Lion Air dan Ekspress Air yang tersedia setiap harinya.  Dari atas pesawat, pesona pemandangan gugusan pulau-pulau sudah menyambut dengan keindahannya.  Gugusan pulau-pulau itu bak puzzle yang belum tersusun.  Sesekali tampak buram karena tertutup kabut awan. 

Jika kita ingin menjangkaunya lewat laut, maka pelayaran kapal PELNI adalah pilihan yang sangat tepat.  Dari Makassar ke Baubau hanya ditempuh satu malam atau tepatnya 14-18 jam saja.  Selama perjalanan, mata kita akan disuguhi pendangan bibir pantai dan pulau yang indah dan birunya samudra yang luas.  Semuanya terpampang luas bak lukisan alam diatas kanvas semesta.  Angin yang meniup dari anjungan ke buritan menampar lembut wajah kita menambah segarnya suasana.

Apalagi menjelang sore.  Sinar matahari yang keemasan memantul ke samudra biru menghasilkan lukisan awan yang dihiasi mozaik.  Pada saat ini, saya akan merasa angkuh terhadap matahari.  Betapa tidak, bila dari bibir pantai Kota Baubau,  matahari memberikan perpisahan dramatis dengan perlahan menyembunyikan wajahnya di balik samudra dan menabur kerinduan melalui sinarnya.  Sekejab semua menjadi gulita.  Tapi dari atas kapal, saya terasa lari dengan kencang menuju timur pergi meninggalkannya.

Tak cukup sampai disitu.  Malamnya, dari atas kapal kita akan melihat titik-titik cahaya yang tak terlalu jauh dari kapal.  Ada yang terpencar dan adapula yang bergerombol.  Titik-titik cahaya itu laksana bintang dilangit atau kunang-kunang.  Titik-titik cahaya itu adalah rumah-rumah yang ada di bibir pantai dan kapal-kapal nelayan tradisional yang sedang membuang jaring dan melempar kail.  Lampu nelayan yang temaram dan terguncang oleh gelombang laut yang tak deras nampak seperti kunang-kunang yang sedang terbang.  Indah sekali.

Kenangan keindahan-keindahan itu seolah menjadi panggilan kembali pulang. Dipagi hari menjelang kapal masuk perairan Baubau, saya menunggu kejutan baru.  Gerombolan ikan Lumba-Lumba akan muncul di samping kapal.  Mereka seolah sedang berebut mengucap selamat datang kepada para penumpang kapal.  Saya tak akan menyia-nyiakan waktu itu karena pemandangannya hanya beberapa menit saja.  Saat-saat seperti ini kerinduan semakin memuncak.

Setelah ikan Lumba-Lumba, menjelang merapat ke Pelabuhan Murhum Baubau, berganti kapal-kapal speed kecil mengiringi.  Mereka adalah penghubung ke pulau Muna, Wakatobi atau pulau-pulau kecil lainnya.  Senyuman akan sumringah dari wajah mereka.  Mereka ingin menunjukkan keramahan dan selamat datang.  Mereka seolah berkata “kami ada, kami disini, kami siap menemani dan mengantar anda menuju ke pulau-pulau”.  Ya.,kapal-kapal kecil itu adalah layanan jasa bagi para penumpang yang masih ingin melanjutkan ke daerah seberang sekitar seperti Baruta, GULAMAS (Gu, Lakudo dan Mawasangka), pulau Makassar, Tolandona dan daerah seberang lainnya. 

Disisi kanan pelabuhan, ada beberapa kapal kayu yang sedang berlabuh dengan barisan yang rapi.  Kapal-kapal itu berukuran lebih besar dari speed tadi dan kelihatan lebih kokoh.  Mereka mampu menampung ratusan penumpang dan berton-ton barang.  Kapal-kapal itu adalah armada yang siap mengantar penumpang melanjutkan perjalanan ke Wakatobi.  Kapal-kapal sejenis itu dulunya digunakan untuk menjangkau Ibu kota Pulau Muna dan Ibu Kota Propinsi Kendari.  Sekarang selain digunakan ke Wakatobi, kapal jenis ini digunakan sebagai kapal niaga yang mengangkut barang dagangan ke daerah Timur dan Barat Indonesia.  Tak hanya itu, bahkan sampai keluar negeri seperti Singapura.  Mereka adalah armada kapal niaga yang sangat tangguh.

Tetapi ada pula kapal yang tak kalah tangguhnya, kapal lambo dalam istilah orang Buton.  Kapal ini berukuran sedikit lebih kecil dari kapal yang ke Wakatobi.  Mereka juga adalah armada niaga yang yang menjangkau daerah Timur Indonesia ataupun untuk menangkap ikan.  Dimasa lalu, armada itu sangat digdaya karena menjangkau belahan dunia seperti Australia dengan menggunakan layar.  Jenis ini berbeda dengan Pinisi di Sulawesi selatan karena bagian buritannya yang agak melebar.  Makanya biasa disebut  lambo panta bebe (mirip pantat bebek).

Ada pula segerombolan sampan kecil atau orang Buton menyebutnya koli-koli.  Diatas koli-koli itu ada 2-3 orang anak yang bertelanjang dada.  Usia mereka sekitar 5-12 tahun.  Kulit mereka legam karena sehari-hari berjibaku dengan laut di bawah terik matahari. Mereka akan menunjukkan atraksi menyelam tanpa alat diving asal penumpang melemparkan sejumlah koin ke laut.  Saya selalu menyiapkan beberapa buah uang koin untuk melihat atraksi mereka.  Aksi mereka menjadi tontonan yang menarik. Tidak heran, banyak penumpang lainpun menyiapkan uang koin seperti saya.

Anak-anak penyelam koin
Begitu koin dilempar, mereka akan berlomba terjun menyelami laut laksana ikan Piranha yang sedang menggrogoti mangsanya. Selama dalam laut, koin tadi akan dimasukkan ke mulut mereka dan dikumpulkan ke atas koli-koli.  Koli-koli berisi 2-3 orang anak yang saling berbagi tugas.  Satu orang yang mengendalikan koli-koli, 1 atau 2 orang bertugas memburu koin.  Namun tak jarang, Si Pengendali koli-koli juga akan terjun ke laut jika jumlah koin yang dilemparkan penumpang begitu banyak.  Betapa seru atraksi mereka.

*****

Kota Baubau adalah Kota Pantai.  Sejak dulu memainkan peran sentral sebagai pusat pelabuhan dari daerah-daerah sekitarnya.  Kota Baubau awalnya adalah wilayah administrasi Kabupaten Buton bersama Wakatobi, Bombana dan Buton Utara yang sejak awal tahun 2000an telah memekarkan diri menjadi kota/kabupaten.  Kota Baubau juga merupakan pusat pemerintahan kesultanan Buton yang wilayah pengaruh kekuasaannya juga melingkupi pulau Muna dan pulau-pulau sekitarnya.  Bukti sejarah itu bisa kita saksikan sampai sekarang berupa benteng.

Benteng tersebut seluas satu kampung, kurang lebih 22 ha dengan ketebalan dinding 1-2 meter serta tinggi dinding 2 – 4 meter.  Makanya Museum Rekor Indonesia (MuRI) mengukuhkannya sebagai benteng terluas di Indonesia, bahkan katanya sebagai benteng terluas di dunia.  Saya dan warga kota lainnya sering berkunjung ke benteng itu.  Dari benteng menyuguhkan pemandangan yang sangat menarik.  Kota Baubau akan terlihat dari atas benteng.  Matahari terbenam juga akan menjadi pemandangan yang manarik.  Saya selalu terbawa ke masa lalu begitu melihat beberapa meriam yang berada di bastion benteng. Moncong meriam mengarah ke arah laut seolah siap memuntahkan pelurunya menghalau para bajak laut.

View indah dari dalam benteng keraton Buton
                                              
Teman-teman saya di Makassar ataupun di Bogor terkadang merasa heran dengan Baubau.  Kok namanya Baubau sih, kesannya seperti aroma apa gitu” kata teman-teman saya itu.  Saya hanya tersenyum sambil berkata “ayolah, jalan-jalanlah kesana biar kalian bisa menghirup juga aroma yang wangi itu”.

Kebetulan saya pernah terlibat dalam penyusunan naskah akademik untuk hari jadi Kota Baubau bersama kawan-kawan lain dan dari naskah itu saya dipercayakan untuk mengeditorinya menjadi sebuah buka.  Disana dijelaskan bahwa kata Baubau diserap dari bahasa Buton “bhaau” yang artinya "baru".  Dalam sejarahnya, pemukiman awalnya berada dalam kawasan benteng namun karena pertumbuhan dinamika sosial dan terjadi kebakaran besar dalam benteng pada masa sultan Buton ke 29 La Ode Idrus Kaimuddin, maka berkembanglah pemukiman keluar daerah benteng hingga ke pesisir.

Kota Baubau memberikan pemandangan pantai yang indah dan berpasir putih diantaranya pantai Nirwana.  Dari pelabuhan Murhum ke pantai Nirwana kira-kira 30 km ke arah barat.  Perjalanan bisa ditempuh kurang lebih 20 menit.  Pada sudut yang lain kita bisa menyaksikan panorama laut saat terbenam.  Dari Pelabuhan Murhum kita ke arah timur kurang lebih 20 km.  kita akan menemukan tempat yang namanya Bukit Wantiro dan Bukit Kolema.  Dari sana ada pemandangan luar biasa.

Berpose di Pantai Nirwana Baubau

Menikmati Senja di Bukit Wantiro
Tak hanya nuansa pesisir, pemandangan pegunungan akan bisa kita dapatkan di Kota ini.  Dari Bukit Wantiro, kita mundur ke belakang kurang lebih 30 km dengan waktu tempuh 30 menit. Kita akan menemukan kawasan hutan pinus di Kecamatan Sorawolio yang menyuguhkan tidak hanya pemandangan namun udara yang segar.  Setiap kesini, saya akan menarik napas dalam-dalam.  Sekejap, tubuh akan terasa segar karena rongga dada terisi udara yang segar pula.  Begitu masuk pinggiran Sorawolio, kita menyusuri kawasan hutan lindung.  Dari sini udara segar dan sejuk mulai terasa.

Hutan Pinus yang sejuk di Kota Baubau

 Belum lagi saat datangnya haroa.  Haroa adalah sebuah tradisi orang Buton yang diadakan saat memperingati hari-hari besar Islam atau pergantian bulan Islam.  Diacara haroa ini berbagai masakan buton (nasu wolio) dan panganan buton akan disajikan dalam satu talang besar berkaki lalu ditutup oleh tudung saji.  Namun sebelum itu semua saya lahap, seorang lebe akan merapalkan sejumlah bacaan terlebih dahulu.  Bacaan itu berupa puji-pujian dan rasa syukur kepada Allah SWT dan shalawat kepada Rasul sembari meminta doa keselamatan, rahmat dan segala kebaikan kepada Yang Maha Kuasa.  Mamaku masih rutin menunaikan tradisi ini di rumah.

 Ah..terkadang saya sudah tak sabar ingin melahap jamuan itu saat lebe masih merapalkan doa.  Betapa tidak aromanya sudah menusuk tajam di hidungku mengundang selera makan.  Pikiranku lalu terbayang bongkahan nasi ketan putih seperti gunung bulat yang dicampur minyak kelapa dan bawang goreng.  Diatasnya terdapat beberapa butir telur ayam kampung rebus. Nasi ketan putih itu dikelilingi oleh berbagai panganan kue tradisional seperti bolu, baruasa, waje, taripa, epu-epu, kalo-kalo, sanggara, kaowi-owi dan terfavorit onde-onde berisi cairan gula merah yang diselubingi parutan kelapa.  Uuhh.,alangkah nikamatnya gula merahnya meleleh di mulut saat gigitan pertama” khayalku.

Tak hanya itu, lauk pauk juga ada di dalam talang besar itu. Ada ikane dole, ikane hole, ontolu hole, kaholeo,dan tawanakau.  Tetapi pikiran saya tertuju pada potongan paha ayam besar yang terendam dalam kuah kental kelapa goreng.  Tak sabar rasanya ingin menyantapnya. 

sedang menikmati isi talang haroa
ayam kampung nasu wolio kesukaanku
Dorongan kalap ini, kalaparan maksudnya, semakin besar karena isi talang itu hanya satu meter didepan mataku tapi terlarang untuk saya ambil sampai lebe menuntaskan rapalan doanya yang panjang.  Waduuhh…

Tapi lebih penting dari itu semua, saya rindu, teramat rindu pada anak saya Amirah dan Ibunya.  Saya rindu tatapan sayang dan senyuman mereka.  Saya ingin memeluk dan mencium kening mereka satu persatu.  Terlebih anak saya Amirah yang sekarang sudah berusia 1,4 tahun.  Saya meninggalkannya saat usianya kurang lebih 7 bulan.  Kala itu Amirah baru belajar duduk. 

Lewat telepon, Ibunya selalu cerita amirah sudah pandai berlari, giginya sudah banyak yang tumbuh. Ia sudah pandai memegang botol susunya sendiri. Amirah langsung menari bila mendengar musik.  Ia langsung meniru ala gangnam style saat melihat Psy menyanyi di TV.

Ia sudah mulai pandai melafal kata-kata.  Orang-orang dirumah sudah bisa ia sebut namanya satu persatu.  Ia sudah pandai meniru suara kucing dan tokek di rumah. Ia suka ikut nimrung saat sepupu-sepunya bermain bola di dalam rumah. Keceriaan amirah membawa keceriaan seisi rumah.  Ketika ditanya mana ayah, dia akan menujuk fotoku yang terpampang besar di dinding kamar.

Saat istriku bercerita, mataku berkaca  “saya telah melewatkan moment terbaik pertumbuhan Amirah demi ambisiku untuk  sekolah” saya membatin.

Ah.,pahatan ingatan dan kerinduan itu mendorong saya untuk lekas pulang.  Malam ini saya merasakan itu.

Darmaga, Bogor 
Selasa, 4 Juni 2013, pukul 02.00 dini hari.
Saat rindu untuk pulang..,

3 komentar:

  1. sepertinya ikan bakarnya yang ter'pahat' hingga membuatnya sulit melebur dengan susana kota Bogor yang dibalut hawa pegunungan sambil sesekali memantau sekeliling hingga tak berdaya untuk memancing ikan sekedar seperti di laut Baubau.

    BalasHapus
  2. hahaha.,betul sekali pak Rabani,di bogor susah cari ikan segar tp klu cari yang segar-segar selalu ada setiap saat.,hehehe

    BalasHapus
  3. Wah, dalam sekali tulisannya
    Saya minggu depan bakal mulai kerja di baubau, jadi ga sabar segera berangkat kesana :'D

    BalasHapus