Ilustrasi |
Pagi ini saya agak tergesa-gesa.
Begitu melihat waktu, matahari telah sempurna menampakkan diri. Semuapun seolah bergerak refleks.
Menanggalkan baju dan celana, maraih handuk yang terkait digantungan, masuk ke
kamar mandi, membasahi sekujur tubuh dengan air lalu rambut dan tubuh dipenuhi
busa, dibilas kembali. Sikat gigi
ditaburi pasta, digosok ke gigi lalu berkumur. Meraih kembali handuk dan keluar
dari kamar mandi dengan handuk melingkar ke pinggang. Sreeeett…,Semua berjalan dalam sekejab seolah
dalam hitungan detik. Pagi ini saya sungguh
tergesa-gesa. Terlambat bangun karena
baru tertidur seusai bang subuh.
Semalam suntuk saya harus menahan
ngantuk. Menyelesaikan bab awal draft
penelitian untuk didiskusikan ke pembimbing.
Draft ini menguras hampir semua energi berpikir saya. Betapa tidak, kesan yang saya tangkap setelah
bertemu dua kali, pembimbing saya sangat teliti, terstruktur dan detail
mengulas sesuatu. Dan saya tak ingin
dinilai “tidak siap” dan “tidak serius” karena draft yang kuajukan. Sebisa
mungkin, Draft kususun terstruktur dan sesingkat mungkin namun cukup
proporsional untuk bisa menjelaskan alasan dan tujuan mengapa tema penelitian
ini yang saya pilih.
Pagi ini memang saya begitu
tergesa-gesa karena didahului oleh matahari yang telah sempurna menampakkan
diri. Namun seperti beberapa pagi
sebelumnya, pagi ini saya merasakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang begitu menyesakkan dada. Suatu
dorongan untuk memenuhi sebuah panggilan yang terpaksa saya berpura-pura
mengabaikannya karena urusan akademik yang tak kunjung selesai. Panggilan yang juga sekaligus memberi energi,
motivasi dan semangat yang begitu besar untuk bergerak dan menapaki jalan masa
depan setapak demi setapak. Panggilan
itu adalah panggilan kerinduan untuk pulang.
Kurang lebih setahun saya berada
di Bogor menempuh studi pasca sarjana. Sampai ke Bogor karena didorong oleh
ambisi dan rasa haus pengetahuan. Ini
memang bukan yang pertama meninggalkan tanah Buton, tanah kelahiran saya. Sebelumnya, tujuh tahun lebih malang
melintang di Makassar menyelesaikan gelar sarjana. Saking lamanya, Makassar seolah telah menjadi
kampung kedua bagi saya. Sewaktu di
Makassar panggilan kerinduan ini tak sekuat seperti sekarang. Maklum saja, saat itu Tuhan belum memberi saya
hadiah terindah sekaligus amanah, ia adalah Amirah.
Pagi ini saya begitu tergesa-gesa
dengan rindu yang sangat sesak di dada.
Wajah cantik Amirah selalu
terbayang. Dengan tatapan manja Ia
meminta digendong dan dipeluk. Dengan
tangannya yang mungil ia merangkul dan memeluk erat leher ku. Rangkulan dan pelukan itu seolah
menggambarkan tak ingin kehilangan.
Sesekali ia melempar senyuman ke segala arah. Seolah Amirah ingin memberitahu kepada dunia
“hanya saya yang berkuasa atas ayah”. Pelukannya kubalas dengan pelukan dan
berkali-kali kecupan sayang.
Akh.,kenangan itu semakin mempertegas panggilan kerinduan untuk pulang.
“Tunggu Ayah Nak, sebentar lagi Ayah pulang. Membawa oleh-oleh dan berjuta kasih sayang
untuk Amirah”, saya membatin sambil mengurut dada.
Amirah dan Ibunya,beberapa hari sebelum menuju Bogor |
IPB Darmaga, di Sela-sela
menunggu Pak Baba.
Senin, 24 Juni 2013
Pukul 09.00 WIB.
0 komentar:
Posting Komentar