Entri Populer

Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

30 November, 2014

EKSPEDISI WAKATOBI I: FLYING TO PARADISE


Senja di Pantai Waha, Wangi-Wangi

Sebelum saya menapakkan kaki, kabar yang saya dengan Wakatobi adalah negeri yang keras.  Bukan hanya alamnya yang panas namun masyarakatnya katanya terbilang keras dan tempramental.  Saya agak khawatir dengan hal itu.  Maklumlah saya tidak memiliki “perangkat” untuk menghadapi situasi seperti itu.  Tubuh ini sejak kecil hanya terinstal oleh software yang serba lunak.

Saya berkesempatan untuk mengunjungi Wakatobi.  Tak sekedar singgah namun stay hingga sebulan malah terancam lebih untuk sebuah tugas yang saya emban.  Kabar itu mulai merajai pikiran saya lalu menelusuk masuk dalam hati dan perasaan, semakin pekat terasa.  Tetapi dari relung hati yang paling dalam selalu berbisik bahwa tak ada manusia yang jahat, Tuhan menciptakannya dengan sebaik-baiknya ciptaan, menghiasinya dengan pekerti lalu membungkus dengan kelembutan perangai.  Pokoknya Tuhan menciptakan manusia sambil tersenyum.  Buktinya, Tuhan menitipkan bagian dari Diri-Nya dalam diri manusia.  Sejenak hati saya tenang dengan hal itu.

Perjalanan saya di mulai dari Bogor ke Jakarta menggunakan Damri.  Dari Jakarta rute yang ditempuh adalah Jakarta-Makassar-Baubau menggunakan pesawat maskapai Garuda Indonesia.  Untuk Jakarta-Makassar dengan menggunakan pesawat tipe Boeing sedangkan Makassar-Baubau dengan menggunakan pesawat tipe ATR (baling-baling).  Waktu pemberangkatan dari Jakarta pukul 01.50 WIB sampai ke Baubau pukul 07.30 WITA. 

Selama perjalanan “wajah” Wakatobi semakin terbayang.  Saya mulai mengumpul-ngumpulkan berbagai ingatan tentangnya.  Bukan berarti saya pernah berkunjung kesana,  namun informasi dari uncle google dan sejumlah kesaksian pelancong yang pernah singgah di Wakatobi.  Saya sempat larut dalam tagline “Wakatobi surga nyata bawah laut di segitiga karang dunia”. 

“Wow.,i’m flying to paradise” bisikku dalam hati sambil tersenyum simpul bahagia.
Setiba di Baubau, perjalanan dilanjutkan menuju Kabupaten Wakatobi.  Perjalanan ini menggunakan kapal laut yang terbuat dari kayu dengan kapasitas penumpang kurang lebih 200 orang.  Waktu tempuh perjalanan kurang lebih 9 jam yakni dari pukul 22.00 WITA dan tiba di dermaga Wanci pukul 07.00 WITA.  Perjalanan ini terbilang cukup cepat karena kondisi laut cukup tenang.
Bahagia rasanya saya sempat singgah ke tanah kelahiran, tanah Buton Kota Baubau.  Saya memiliki waktu 12 jam di Baubau.  Melepas kerinduan dengan keluarga tercinta.  Apalagi putriku yang cantik Amirah.  Ia telah menjemputku di Bandara Betoambari.  Begitu melihatku langsung berlari minta digendong sambil berteriak

ayah....”.

Kupeluk tubuhnya yang mungil dan kucium pipinya berkali-kali
Saya membatin “Amirah sayang, engkaulah biji mataku

*****

Akhirnya kapal kayu yang saya tumpangi sebentar lagi berlabuh di pelabuhan Wanci. Mesin kapal mulai dipelankan, laju kapal mulai melambat.  Kapal kayu baru saja melewati Pulau Kapota.  Pulau tua yang tempo dahulu katanya ramai dengan aktivitas perdagangan tua.  Kini makin tertinggal akibat ketimpangan pembangunan

Saya lalu mendongak kebawah.  Wow.,air laut sangat jernih dan karang-karang laut begitu kentara.  “Ini baru pinggir-pinggir surga nyata itu” bisikku dalam hati.  Kapal kayu sangat hati-hati bergerak maju diantara bongkahan karang-karang itu.  Rupanya lautnya cukup dangkal.  Hingga harus dikeruk membentuk sodetan atau kanal agar kapal bisa masuk ke darmaga.  Sayang juga, cukup banyak karang yang terangkut.

ABK melempar tali, jangkar telah disauh dan akhirnya kapal telah berhenti sempurna.  Dadaku semakin berdebar-debar.  Sejuta kepingan memori tentang Wakatobi terngiang bersamaan.  Di ujung darmaga sahabat saya Jeto telah telah menanti.  Kulihat jam tanganku tepat pukul 7 pagi.

Setelah menapakkan kaki di darmaga, saya melihat aktivitas cukup ramai. Orang berlalu lalang mengangkut barang.  Puluhan kenderaan diparkir menjemput sanak famili yang datang.  Mataku cukup awas mengamati segala arah.  Otakku berupaya cepat loading mempelajari semua situasi.


Orang-orang Wakatobi memiliki kekhasan bersuara keras. Saat bercerita biasapun seperti itu.  Suara mereka cukup keras.  Tapi ini bukan hal baru menurutku.  Saya adalah orang Buton, mengalir darah Buton dalam tubuhku dan orang Buton pun seperti itu, bersuara dengan keras.  Wakatobi pun adalah juga beretnis Buton.

Tak hanya di Buton malah,  saat saya berkunjung ke Ambon dan Papua mereka pun suka berbicara dengan suara yang keras.  Bisa jadi, orang-orang timur umumnya saat berbicara dengan suara keras.  Mungkin inilah yang menyebabkan orang menilai karakter orang timur itu, termasuk Wakatobi adalah keras, kasar dan kesannya tempramental.  Nampaknya itu hanya penilaian luarnya saja.

Saya percaya bentang alam dan kondisi geografis sangat mempengaruhi bentukan karakter komunitas yang mendiaminya.  Kepulauan Wakatobi adalah gugusan beberapa pulau.  Bentang lahannya cukup tandus, yang didominasi oleh batuan cadas.  Sangat mudah kita menyimpulkan bahwa dulu kepulauan Wakatobi adalah lautan yang akibat gerak lempeng kemudian terdongkrak keatas.  Artinya batuan cadas yang banyak kita temukan di Wakatobi adalah batu karang berusia ribuan bahkan jutaan tahun yang telah lama mengalami reaksi kimia. Telah lama terpapar sinar matahari, hujan dan iklim lainnya yang secara sangat perlahan mengalami pelapukan lalu menjadi tanah yang remah.

Wilayah nusantara memang merupakan pertemuan dua lempeng bumi yakni dari daratan Asia dan Australia.  Pertemuan dua lempeng ini yang belakangan dikenal sebagai garis Wallacea.  Inilah yang menyebabkan nusantara memiliki keberagaman biodiversity, hayati dan non hayati.  Nusantara tak hanya kaya dengan aneka flora dan fauna, namun berbagai kandungan mineral dalam tanah.  Ini pula yang ikut berandil besar menciptakan keberagaman etnik di nusantara. 

Kebudayaan adalah mekanisme dari sebuah komunitas untuk memenuhi segala kebutuhan dasar komunitas itu.  Kebudayaan tak hanya terbentuk dari konsensus individu dalam komunitas, namun merupakan adaptasi kreatif atas bentukan alam tempat komunitas itu berdiam.  Simpelnya, kebudayaan merupakan seperangkat solusi atas problematika komunitas yang menjadi arena pertemuan alam pikir (microcosmos) dan alam lingkungan (macrocosmos) yang secara terus menerus berdialektika dan terkonservasi diatas lintasan sejarah.

Lantas, mengapa orang Wakatobi suka berbicara keras..?

Orang luar Buton pada umumnya dan Wakatobi pada khususnya mungkin menangkap kesan luar bahwa bersuara keras itu identik dengan kasar dan tempramental.  Padahal penilaian atas sebuah komunitas mestinya tak linear seperti itu.

Disatu sisi tanah kepulauan Wakatobi kurang subur dan bebatuan.  Komoditi pertanian yang tumbuh lebih dominan tanaman keras dan perkebunan (parenial).   Disisi lain merupakan pulau-pulau kecil yang dikelilingi oleh lautan luas namun kaya.  Situasi ini mendesak orang Wakatobi untuk mengarungi lautan.  Dinamika orang Wakatobi seiring dengan dinamika gelombang lautan.


Diving di Wakatobi
Lautan adalah ekosistem yang sangat dinamis, kadang tenang tak jarang sangat ektrim hingga ke titik paling nadir.   Saat angin bertiup kencang akan menghasilkan gelombang besar.  Suara orang Wakatobi harus bersaing dengan suara gelombang lautan.  Kendati lautan itu menyimpan energi gelombang yang dahsyat namun ia sangat terbuka dengan apapun yang hendak berlayar diatasnya.  Demikian pula orang Wakatobi, sangat inklusif dengan siapapun tapi anda harus toleran dengan suara keras.

Tak hanya itu, gerakan orang Wakatobi lebih cepat dan gesit.  Mereka harus mengimbangi gerakan gelombang lautan tadi.  Jadi tak salah jika gerakan tarian Wakatobi lebih energik dan alunan musiknya sedikit agak kencang.  Lautan sewaktu-waktu memberikan ancaman tak terduga, makanya senjata dan belati mesti disiagakan dipinggang depan.

Coba bandingkan dengan kebudayaan Jawa dan kalimantan (dayak).  Mereka hidup di daerah yang di tanah yang lebih subur dan lebih kontinental.  Mereka tak terlalu merasakan dinamika alam seperti lautan di Wakatobi.  Karakter merekapun tentu berbeda.  Bertutur dengan pelan, gerak tarian lebih pelan dan alunan musik tak terlalu kencang.

Senyum lugu anak Wakatobi
Menurut saya, tidak fair rasanya menilai sebuah komunitas menggunakan cara pandang komunitas lainnya. Jika cara itu yang dilakukan maka penilaian akan menjadi semacam hegemoni kebudayaan atas kebudayaan lainnya.  Mestinya yang dilakukan adalah  mendalami komunitas itu dan menemukan kearifan-kearifan dari padanya lalu mengambil pelajaran.  Hanya dengan cara itu kita dapat menemukan jawaban rahasia Tuhan atas segala perbedaan yang ada.

Lautan wakatobi memang sarat gelombang, tapi di dalamnya terdapat kekayaan surga bawah laut.  Demikian pula orang Wakatobi yang berbicara keras, tapi dalam hati diri mereka sarat akan kebaikan hati dan kelembutan.  Dan saya menyaksikan dan merasakan itu disini, di Wakatobi.

“ah rasanya saya tak sabar lagi menyelami surga di Wakatobi”


Wakatobi, 5 Nopember 2014.

26 Februari, 2014

GREEN PARADIGM

Ilustrasi (sumber klik)
 Barangkali disana ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin Tuhan Mulai bosan
Melihat tingkah kita yang selalu salah
dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang

~Berita Kepada kawan-Ebiet G. Ade~

Jargon “green” akhir-akhir ini sering kali kita dengar hampir di setiap sektor atau gagasan tentang pembangunan.  Katakanlah program Green City (kota hijau) yang lagi rame berjalan dihampir semua daerah di Indonesia.  Green” secara leksikal berarti hijau atau warna hijau.  Tapi mengapa warna hijau..??

Filosofi “green”  merujuk pada entitas tumbuhan atau lebih tepatnya daun tumbuhan yang berwarna hijau.  Tumbuhan adalah jenis makhluk hidup yang sebagian besar bersifat autotrof yakni mampu “memasak” atau menghasilkan makanannya sendiri dan dapurnya adalah daun.  Kemampuan ini dimiliki oleh tumbuhan karena pada daun memiliki pigmetasi yang disebut klorofil.  Warnanyapun adalah hijau (green).  Klorofil menjadi katalilsator untuk proses reaksi anabolisme (fotosintesis), pembentukan makanan utamanya karbohidrat.

Ilustrasi (sumber: klik)
Reaksi anabolisme pada daun ternyata merupakan reaksi bolak balik.  Reaksi tersebut diimbangi oleh reaksi katabolisme (respirasi) yang membongkar  senyawa karbohidrat tadi.  Reaksi-reaksi tadi ikut membentuk keseimbangan alam.  Fotosintesis menjerap CO2 dialam sekaligus melepas O2 sebagai produk sampingan.  Itulah mengapa, ketika kita berada pada daerah yang banyak terdapat pepohonan maka kita merasakan iklim mikro yang sejuk.  Disatu sisi fotosintesis menjerap CO2 dan melepas O2, disisi lain respirasi mengeluarkan uap air.

Nah, slogan “green” hendak merujuk pada kemampuan organik dari tumbuhan memproduksi/membangun/tumbuh (production/build/grow) sekaligus melestarikan (conservation).  Secara tidak langsung ingin ditunjukkan bahwa proses pembangunan secara sederhana mestinya mengikuti logika organik tumbuhan. Pembangunan mendorong produksi dan pertumbuhan namun disisi lain pembangunan menjadi proses melestarikan dan memperbaiki ekologi.

Kampanye “green” yang belakangan muncul setelah proses pembangunan yang masif sekaligus menunjukkan ternyata pembangunan selama ini berjalan timpang.  Akibat buruk yang telah dirasakan dari pembangunan, baru belakangan melahirkan kesadaran ekologis kita.  Penyakit telah bersarang dalam tubuh pada stadium akut, kita baru sadar betapa pentingnya menjaga kesehatan.

Kesadaran ekologis tadi membentuk satu cara pandang atau logika berfikir yang lebih senstif terhadap lingkungan.  Kesadaran atau cara pandang seperti ini yang saya sebut sebagai Green Paradigm”.  Green Paradigm meniscayakan kita untuk selalu tidak mengabaikan aspek lingkungan dalam pembangunan dan mendorong untuk melakukan kerja-kerja konservasi.  Kita berharap, pada akhirnya Green Paradigm terinternalisasi pada setiap masyarakat sipil (Civil Society) sehingga mengejawantah dalam tindakan keseharian.  Misalnya tidak membuang sampah disembarang tempat, menjaga kebersihan, merawat tumbuhan, dan lain sebagainya.  Selain itu, masyarakt sipil akan secara aktif memantau setiap kebijakan yang tidak pro green.


PEMBANGUNAN MENGACAUKAN HUKUM TERMODINAMIKA II

Setau saya ada dua paradigma besar tentang pembangunan yakni paradigma Modernisasi dan paradigma Ketergantungan (dependency).  Kedua teori ini mendefinisikan dan menjabarkan bagaimana pembangunan harusnya berjalan. 

Paradigma modernisasi mencakup teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial serta teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang menunjang proses perubahan. Paradigma ketergantungan mencakup teori-teori keterbelakangan (under-development), ketergantungan (dependent development) dan sistem dunia (world system theory).

Tapi bagi saya sederhana saja memaknai pembangunan hari ini.  Pembangunan adalah yang telah memberikan batasan mana modern dan tradisional, mana miskin dan mana kaya, mana maju dan mana tertinggal.  Yang lebih penting bagi saya, pembangunan adalah romantisasi masa saat kita menikmati masa sejuknya udara, masa dimana masih banyak pohon-pohon kokoh menjulang membelah langit, masa dimana masih banyak sumber-sumber air yang mengalir jernih dan begitu sejuk membasahi batang kerongkongan kita. 

Pembangunan adalah yang mengganti tegakan-tegakan pohon menjulang dengan tegakan tembok yang penuh keangkuhan,  udara sejuk yang diganti dengan aroma kepulan asap pabrik dan kendaraan serta sumber mata air yang diganti dengan wahana permandian artifisial.

*****

Saya jadi teringat dengan Hukum Termodinamika II.  Jika Termodinamika I menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan namun hanya berubah bentuk, atau biasa disebut hukum kekekalan energi.  Namun pertanyaan selanjutnya adalah jika energi atau materi hanya bisa berubah bentuk lantas kemana arah perubahan bentuk itu serta apa dampak yang mungkin timbul dari perubahan itu..?? apakah perubahan itu reversible atau irreversible..?? Termodinamika II menjelaskan tentang arah perubahan energi itu.

Termodinamika II menyatakan bahwa tidak mungkin dan tidak ada ada kalor atau energi dapat dirubah menjadi kerja seluruhnya, tetapi sebaliknya kerja dapat dirubah menjadi panas atau energi.  Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa dalam sebuah sistem tidak ada energi solid yang digunakan secara efisien 100%, sisanya merupakan buangan yang menjadi partikel bebas di lingkungan.  Hal ini kemudian melahirkan konsep entropi di alam.

Entropi adalah gejala alami lingkungan untuk menuju pada ketidakaturan.  Hukum entropi percaya bahwa ada kecenderungan dari alam menuju ketidakaturan yang diakibatkan oleh perubahan energi yang tidak efisien.  Contoh sederhana,  kamar tidur yang telah kita rapikan akan cenderung menjadi tidak teratur sehingga perlu secara rutin untuk diatur atau dirapikan kembali.  Gejala tersebut menunjukkan adanya entropi dalam sistem lingkungan.
 
Ilustrasi (sumber:Klik)
Namun saya melihatnya, konsep entropi sebagai gejala alam, dianggap merugikan dan tidak teratur dalam tanda petik adalah konsep yang berdiri diatas kepentingan manusia yang cenderung eksploitatif.  Saya percaya bahwa, lingkungan secara alami memiliki hukum tersendiri untuk menjaga keseimbangan ekosistemnya.  Artinya, gejala entropi secara alami mesti dipahami pula sebagai proses alami lingkungan untuk menuju pada titik keseimbangan baru.

Lantas, apa hubungannya antara pembangunan, hukum Termodinamika II dan entropi..??

Dalam perspektif hukum termodinamika II, pembangunan adalah proses kreatif dari manusia untuk mempercepat terjadinya laju perubahan energi.  Dalam pembangunan ada banyak energi solid yang akan pecah dan diurai untuk menghasilkan karya pembangunan seperti infrastruktur dan sebagainya.

Jika kita mengingat kembali prinsip hukum termodinamika II, artinya tidak ada proses pembangunan yang efektif 100 % membawa pada perubahan yang diinginkan.  Hal ini pula menegaskan, pembangunan akan melahirkan bias dari pembangunan baik secara sosial, ekonomi terlebih lagi ekologi.  Bias pembangunan ini kemudian menjadi “partikel bebas” (makna khias dan sesungguhnya) dalam ekologi pembangunan. Tentu saja, bias inilah yang kemudian melahirkan entropi dalam ekologi pembangunan kita.

Apa yang terjadi pada alam hari ini bukanlah gejala alami yang sesungguhnya.  Semua telah mengalami campur tangan manusia atas nama pembangunan.  Sehingga pemanasan global (global warming) yang telah menjadi ancaman dan peringatan global (global warning); pencemaran udara, tanah dan air; bencana kekeringan, banjir dan longsor yang terjadi secara massif tidak dapat lagi dipandang sebagai gejala alami biasa.  Gejala-gejala itu mesti kita pandang juga sebagai gejala kemanusiaan yang kita sebut sebagai bencana kemanusiaan.

Sialnya adalah, penyelenggara pembangunan kita dalam hal ini penyelenggara negara tidak menyadari bahkan cenderung mengabaikan gejala alami tersebut.  Belakangan kita baru sadar betapa pentingnya hal tersebut saat alam menunjukkan perubahan yang berbenturan dengan keinginan dan kepentingan kita.

Pembangunan idealnya ditopang oleh tiga pilar yakni profit (ekonomi), people (sosial) dan planet (ekologi). Pembangunan mestinya dipandang sebagai adaptasi kreatif atas bentukan dan fenomena alam yang ada.  Pembangunan mestinya menjadi pertemuan yang mesra antara manusia sebagai mikrocosmos dan alam sebagai makrocosmos.

Kerusakan alam yang kita rasakan hari ini, sebagai gejala entropi dari pembangunan bukanlah sesuatu keterlanjuran yang tinggal kita pasrahi, ratapi dan sesali.  Kita masih bisa memperbaikinya jika kita punya itikad baik untuk melakukannya.

Green Paradigm tidak hanya membutuhkan komitmen formal belaka yang dituangkan lembaran-lembaran kertas, namun harus nampak dalam bentuk inovasi dan kerja nyata.  Tentu akan membutuhkan waktu dan biaya, tapi yang lebih penting adalah inovasi dan kerja harus didorong oleh nilai etika dan moralitas yang betul-betul ingin memperbaiki (will to improve).  Tidak ada jalan lain, hanya itu jalan kembali untuk membenahi alam kita.

Mari jadikan bumi ini asri dan lestari, jika kita tidak ingin dikutuk oleh generasi sesudah kita, anak cucu kita sendiri karena tidak dapat menjaga dengan baik apa yang mereka titipkan kepada kita.

Terakhir, saya ingin mengutip pesan hikmah dari Mahatma Gadhi:

“Bumi telah menghasilkan cukup untuk semua orang, tapi tidak cukup untuk satu orang yang  serakah.”

Bogor, 26 Februari 2014
Pukul 06:00 WIB
 
sumber klik





Baca juga:


10 Januari, 2014

DILEMA SAWIT KITA

Ilustrasi

Tulisan ini tidak hendak mengurai problema sawit khususnya di tanah air secara rinci dan konfrehensif.  Karena hal itu tentu saja membutuhkan waktu dan energi yang lebih besar.  Sementara tulisan ini hanya hasil amatan pustaka,  laporan  dan berselancar di dunia maya.  Namun setidaknya dapat memberikan gambaran umum terkait wajah sawit di tanah air untuk menjadi bahan diskusi lebih lanjut.

Banyak yang bilang negeri ini (baca: Indonesia) merupakan negara agraris.  Mungkin dikarenakan, bentang lanskap  alamnya menyajikan potensi lahan yang subur untuk ditanami. Kondisi iklim tropis dengan curah hujan yang merata memberikan kondisi yang sangat baik untuk tumbuh dan berkembangnya berbagai komoditi pertanian dan perkebunan di Indonesia. Selain itu, secara sosiologis pertanian membentuk suatu indentitas sosial di Indonesia.  Pertanian tidak hanya jalan pemenuhan ekonomi semata namun juga membentuk tradisi dan struktur budaya masyarakat.

Dimasa orde baru sektor pertanian (termasuk perkebunan) menjadi leading sector untuk menopang pembangunan nasional. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) selama 25 tahun yang terbagi dalam REPELITA (Rencana Pembangnan Lima Tahun, menempatkan pertanian sebagai sektor utama pembangunan.  Secara konseptual, ada tiga strategi utama dalam pengembangan pertanian Indonesia yakni intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi.  Namun faktanya, konsep ini tidak berjalan secara berimbang dimana terlalu difokuskan pada intensifikasi pertanian.  Hal ini menyebabkan pertanian merosot tajam sampai titik nadir baik dari aspek sosial, ekonomi maupun ekologi.

Saat ini pertanian Indonesia mencoba kembali bangkit termasuk sub sektor perkebunan.  Beberapa komoditi unggulan perkebunan kemudian mulai dikembangtumbuhkan secara lebih massif.  Namun tentu saja, komoditi perkebunan harus didukung oleh industri perkebunan yang baik dan modern.  Hal ini mengakibatkan tidak ada komoditi unggulan perkebunan bisa dijalankan sepenuhnya oleh masyarakat (petani) seperti halnya komoditi padi, palawija dan hortikultura karena latar belakang petani kita yang miskin.  Artinya pengembangan perkebunan mensyaratkan dua aspek penting yang berjalan secara simultan yaitu budidaya komoditi strategis di hulu dan industri pengolahan pasca panen di hilir.

Dari sini saya melihat, pada sektor perkebunan cuma ada dua aktor yang dapat bersaing yaitu negara melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pihak swasta yang memiliki kapital besar.  Secara, sistemik akhirnya petani semakin terpinggirkan dari lahan perkebunan.  Kalaupun mereka hadir ditengah-tengah kebun, hanya sebagai buruh kebun dan mitra yang dimodali pemilik modal dengan komitment tertentu.

Salah satu komoditi perkebunan unggulan Indonesia adalah Kelapa Sawit (Elaeis guinensis JACQ).  Saat ini, sawit menjadi komoditi internasional karena menghasilkan produk utama minyak sawit, CPO dan CPKO yang diburu oleh pelaku pasar internasional.  Produk utama tersebut menjadi bahan baku industri hilir pangan maupun non pangan.


SEPINTAS SEJARAH SAWIT DI INDONESIA

Kelapa sawit bukan tanaman endemik Indonesia.  Sawit termasuk golongan tumbuhan palma yang datang dari negara asalnya Afrika.  Di Indonesia, penyebarannya mulai dari daerah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), pantai timur Sumatera, lalu ke Jawa dan Sulawesi. Sawit menjadi populer setelah Revolusi Industri pada akhir abad ke-19 yang menyebabkan permintaan minyak nabati untuk bahan pangan dan industri sabun menjadi tinggi. Di Indonesia, kelapa sawit diintroduksi pertama kali oleh Kebun Raya pada tahun 1848 dari Mauritius (Afrika). Saat itu Johannes Elyas Teysmann yang menjabat sebagai Direktur Kebun Raya. Hasil introduksi ini berkembang dan merupakan induk dari perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara. Pohon induk ini telah mati pada 15 Oktober 1989, tapi anakannya bisa dilihat di Kebun Raya Bogor hingga sekarang.  Kelapa Sawit mulai diusahakan secara komersil pada tahun 1912 dan eksport minyak sawit pertama dilakukan pada tahun 1919.

Situs wikipedia.org (2013) menjabarkan bahwa pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912. Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang Tenmaran, Kuala Selangor menggunakan benih dura Deli dari Rantau Panjang.
Amirah dan ibunya di Monumen Kelapa Sawit,
Kebun Raya Bogor
(foto koleksi pribadi)

Sejarah awalnya tampak bahwa pelaku usaha kelapa sawit terbatas pada perusahaan asing berskala besar dan terintegrasi antara budidaya, pengolahan Pabrik Kelapa Sawit (PKS), dan pemasaran hasilnya. Hal ini berlangsung hingga periode awal Republik. Sekitar 1958, beberapa perusahaan Belanda dinasionalisasikan dan diambil alih sebagai Perusahaan Perkebunan Negara. Rakyat menjadi pelaku usaha perkebunan kelapa sawit baru sekitar tahun 1980 dengan dikembangkannya program PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dalam rangka program akselerasi pembangunan perkebunan. Terdapat beberapa versi PIR sesuai dengan sasaran dan sumber pendanaannya, seperti PIR-BUN atau NES (Nucleus Estate and Smallholder), PIR-TRANS dan PIR-KKPA telah mempercepat perkembangan usaha perkebunan rakyat ini (KPPU, 2007)

Masa pemerintahan orde baru pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka untuk menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sebagai penghasil devisa negara (Guritno, 2000).  Di masa ini, perkembangan kelapa sawit rakyat ini dapat dikatakan fenomenal. Berawal pada tahun 1980, dalam sepuluh tahun pertama mencapai sekitar 300 ribu Ha, sepuluh tahun berikutnya mencapai sejuta hektar lebih, dan kini telah mencapai lebih dari 1,8 juta hektar. Dari luas areal kelapa sawit rakyat ini, disamping perkebunan plasma, sebagian besar adalah perkebunan swadaya yang berinvestasi menggunakan dana sendiri atau pinjaman, termotivasi oleh pengalaman sukses petani lain serta prospek bisnis yang cerah (KPPU, 2007).  .

Saat ini perkebunan sawit berkembang sangat pesat. Semula pelaku perkebunan kelapa sawit hanya terdiri atas Perkebunan Besar Negara (PBN), namun pada tahun yang sama pula dibuka Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Rakyat (PR) melalui pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan selanjutnya berkembang pola swadaya. Data dari Direktorat Jenderal Perkebunan (2009) menunjukkan pada tahun 1980 luas areal kelapa sawit adalah 294.000 ha dan pada tahun 2009 luas areal perkebunan kelapa sawit diperkirakan sudah mencapai 7,32 juta ha dimana 47,81% dimiliki oleh PBS, 43,76% dimiliki oleh PR, dan 8,43% dimiliki oleh PBN  (Haryana et al, 2010).

Minyak Sawit
Laporan Oil World (2010) menjelaskan bahwa tahun 2009 Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan jumlah produksi diperkirakan sebesar 20,6 juta ton minyak sawit, kemudian diikuti dengan Malaysia dengan jumlah produksi 17,57 juta ton. Produksi kedua negara ini mencapai 85% dari produksi dunia yang sebesar 45,1 juta ton. Sebagian besar hasil produksi minyak sawit di Indonesia merupakan komoditi ekspor. Pangsa ekspor kelapa sawit hingga tahun 2008 mencapai 80% total produksi. India adalah negara tujuan utama ekspor kelapa sawit Indonesia, yaitu 33% dari total ekspor kelapa sawit, kemudian diikuti oleh Cina sebesar 13%, dan Belanda 9%.

Perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar berada di pulau Sumatera diikuti oleh Kalimantan. Berdasarkan provinsi, Riau merupakan provinsi penghasil minyak sawit terbesar di Indonesia dengan produksi mencapai 24% dari produksi nasional pada tahun 2009, sementara Jambi menyumbang minyak sawit sebesar 7,70% dari produksi nasional dengan luas lahan mencapai 8,82% dari luas lahan nasional. Stakeholders industri kelapa sawit menyadari bahwa kelapa sawit telah menunjukkan kontribusi yang signifikan dalam perekonomian global dan nasional bahkan lokal. Minyak sawit telah menjadi bagian dari minyak nabati dunia dan kontribusinya cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Oil World (2009) mencatat produksi minyak sawit tahun 2009 (45,1 juta ton = 34% dari minyak nabati dunia) naik sepuluh kali lipat dibandingkan tahun 1980, sementara minyak kedelai pada periode yang sama hanya naik 2,7 kali lipat (Haryana et al, 2010).


SISI SURAM SAWIT KITA

Perkembangan perkebunan kelapa sawait yang begitu fantastis ternyata juga memberikan dampak buruk utamanya terhadap lingkungan.  walaupun tidak bisa kita pungkiri bahwa ada banyak pula dampak positif yang diberikan sektor perkebunan kelapa sawit untuk pembangunan ekonomi nasional dalam hal  serapan tenaga kerja dan perolehan devisa negara.  Tetapi kita tidak dapat pula menutup mata terhadap dampak ekologis yang timbul akibat perkebunan sawit.  Inilah yang menjadi sisi suram dari industri sawit kita yang selalu digembar-gemborkan oleh para aktivis lingkungan.

Setidaknya dalam catatan sisi suram ini ada tiga hal penting yang ingin disinggung mengenai dampak buruk ekologis dari pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.  Pertama, aspek lahan yakni mulai dari status lahan, alih fungsi lahan, degradasi lahan sampai pada keanekaragaman hayati diatas lahan tersebut. Kedua, limbah atau emisi yakni limbah sisa hasil olahan industri kelapa sawit.  Ketiga, persoalan sosial terkait masyarakat sekitar hutan.
 
Penampungan limbah cair sawit
(foto koleksi pribadi)
Oleh Teoh (2010), mengutip pandangan berbagai LSM, menyatakan bahwa masalah lingkungan terkait dengan usaha kelapa sawit diantaranya adalah masalah deforestasi, biodiversitas dan perubahan iklim. Beberapa waktu terakhir, proses alih fungsi hutan alam dan lahan gambut berkontribusi negatif berupa deforestasi, degradasi lahan gambut, degradasi sumber daya air, dan kehilangan keanekaragaman hayati. Pembangunan kelapa sawit juga diklaim tidak sesuai dengan peraturan tata ruang; dan terdapat kebun kelapa sawit di kawasan dengan nilai konservasi tinggi (HCV). Terlepas dari isu tersebut, pada dasarnya telah banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit tetap memperhatikan aspek lingkungan dalam melakukan usaha dan mereka menjadi anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Development.


Kurniawan (2007) menjabarkan bahwa Penggunaan lahan gambut untuk perkebunan lahan sawit yang salah, ternyata sangat besar pengaruhnya terhadap pemanasan global.  Hutan alam menjadi sangat monokultur. Hutan alam yang seharusnya menjadi sumber penangkap carbon menjadi berkurang kemampuannya dalam menangkap carbon yang dapat mempengaruhi pemanasan global (Efek Rumah Kaca). Kemudian menyebabkan terganggunya keseimbangan ekologis, hilangnya berbagai flora dan fauna yang khas dan unik. Air tanah juga akan semakin menipis karena kebutuhan tanaman kelapa sawit yang sangat haus akan air tanah.

Secara umum, kerusakan hutan di Indonesia disebabkan oleh dua hal yaitu industri kayu dan konversi lahan menjadi perkebunan utamanya kelapa sawit. Saat ini di Indonesia terdapat 133 juta hektar hutan, dimana 20,3 juta hektar merupakan hutan konservasi, 33,3 juta hektar hutan lindung, 59,2 juta hektar hutan produksi dan 22,8 juta hektar hutan produksi terbatas (Kementrian Kehutanan, 2008).

Selain itu, berbagai penelitian menunjukkan industri kelapa sawit yang menghasilkan limbah baik cair, padat maupun gas.  Limbah cair berupa air buangan sisa hasil pengolahan yang mengandung bahan kimia dan organik yang tinggi.  Limbah cair tersebut berwarna kecoklatan yang banyak mengandung padatan terlarut dan tersuspensi berupa koloid serta residu minyak dengan kandungan biological oxygen demand (BOD) yang tinggi.  Limbah cairan tersebut jika dibuang ke perairan tentu akan mencemari lingkungan, mengganggu ekosistem perairan.  Karenanya, organisme utamanya biota perairan akan mengalami keracunan.  Untuk itu, pengolahan limbah hingga dibawah baku mutu  mesti dilakukan sebelum dilepas ke lingkungan.

Pengolahan limbah cair kelapa sawit biasanya melalui penampungan di kolam-kolam terbuka yang melalui fase aerob dan anaerob.  Pada proses ini, limbah cair tersebut akan melepaskan gas metan (CH4) dan CO2 ke udara ambient yang kedua senyawa tersebut memberikan konstribusi terbesar terhadap pemanasan global.  Selain itu, gas metan menghasilkan aroma tak sedap karena proses dekomposisi yang terjadi.  Mestinya pengolahannya tidak pada udara bebas karena gas yang dihasilkan dapat pula menjadi bahan bakar alternatif (biogas).

Limbah padat juga cukup banyak dihasilkan oleh kelapa sawit. Limbah padat yang dihasilkan berupa tandan kosong kelapa sawit (20-23 %), serat (10-12 %), dan tempurung / cangkang (7-9 %) dan sisa biomass lainnya (pelepah dan batang sawit).  Di indonesia, limbah pada ini dapat dihasilkan hingga mencapai 15,20 juta ton/tahun.  Limbah padat tersebut akan menimbulkan bau yang tak sedap terhadap udara ambient namun memiliki nilai ekonomi jika diolah lebih lanjut menjadi kompos dan bahan industri lainnya.
 
Limbah organik indutri kelapa sawit
(foto koleksi pribadi)
Persoalan sosial juga sering kali muncul terkait alih fungsi lahan.  Hutan yang dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit memicu terjadinya konflik dengan masyarakat sekitar hutan.  Bagi masyarakat sekitar hutan, hutan bukan semata-mata tempat menggantungkan kehidupan secara ekonomi. Namun di Indonesia hutan oleh masyarakat sekitar hutan masih mengaitkannya dengan tata nilai adat, sprituaitas dan warisan budaya leluhur.  Selain itu, bagi masyarakat hutan juga berperan sebagai gudang obat masyarakat karena masyarakat sekitar hutan menyadari hutan memiliki nilai biodiversitas (keanekaragaman hayati) yang tinggi termasuk bermacam tanaman obat.

Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perkebunan kelapa sawit, sebetulnya juga terkait dengan masalah tata kelola. Isu yang berkembang adalah adanya anggapan bahwa pemerintah daerah melakukan politisasi perizinan, sehingga izin pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak terkendali. Izin di daerah dikeluarkan Bupati dengan atau didasarkan Perda dan bisa mendahului persyaratan lain, seperti Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Seperti diketahui, perusahaan dapat mengajukan kepada pemerintah daerah (kabupaten) untuk penggunaan lahan. Prosesnya meliputi beberapa ijin dan memerlukan negosiasi dengan individu dan masyarkat lokal. Politisasi perijinan ini terjadi karena pengetahuan yang kurang dari individu dan masyarakat atas hak mereka dan bagaimana proses dan prosedur yang harus diikuti (Haryana et al, 2010).

Melihat potensi pengembangan sawit berbanding lurus terhadap peluang kerusakan alam sekaligus dalam rangka memperkuat daya saing minyak nabati selain minyak sawit, maka di tingkat dunia dikembangkan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).  RSPO didorong oleh LSM lingkungan dan sosial. Alasannya adalah peningkatan luas areal kelapa sawit diklaim sebagian berasal dari konversi hutan alam dan lahan gambut yang berpengaruh terhadap perubahan iklim global. Hanya saja, hal ini kesannya menjadi tidak fair karena melalui RSPO minyak kelapa sawit menghadapi hambatan teknis perdagangan melalui pemberlakuan prinsip dan kriteria pembangunan berkelanjutan, sementara hal yang sama tidak berlaku untuk minyak nabati lain (minyak rape seed, kedelai dan lainnya). Akibatnya, persaingan antar minyak nabati menjadi tidak sesuai ketentuan WTO yang menerapkan tarif impor (Haryana et al, 2010).


MUNGKINKAH..??

Melihat banyaknya potensi kerusakan lingkungan yang dapat diakibatkan oleh perkebunan kelapa sawit bukan berarti pengembangan kelapa sawit di Indonesia harus dihentikan secara total.  Sebagian orang berpendapat bahwa menghapuskan sawit dari bumi Indonesia adalah tindakan yang kurang bijak juga karena perkebunan sawit tenyata memberikan faedah yang tidak sedikit bagi keberlangsungan hidup manusia.  Faedah yang paling terasa adalah pada sektor ekonomi yang membeikan konstribusi yang sangat besar terhadap pendapatan devisa negara dan serapan tenaga kerja yang tidak sedikit.  Selain itu, boleh dikatakan semua rumah tangga yang ada di Indonesia memanfaatkan hasil pangan olahan kelapa sawit misalnya minyak goreng.

Jikalau begitu, hal penting sekarang adalah tidak mengarahkan pikiran untuk terus-terusan mengkritik dan mengutuk perkebunan kelapa sawit yang telah meberikan dampak yang begitu buruk terhadap lingkungan kita.  Yang terpenting adalah bagaimana menciptakan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dan lebih mengedepankan aspek ekologis ketimbang aspek ekonomi semata.  Dibutuhkan berbagai kreativitas dan inovasi untuk  meminimalisir dampak buruk itu. Bagaimana merubah limbah industri sawit untuk dapat di manfaatkan kembali dan ramah lingkungan.  Muaranya adalah menciptakan perkebunan sawit yang lestari, lingkungan yang lestari dan masyarakat sawit yang lestari hingga di masa-masa mendatang.

Tapi mungkinkah itu..???


Bogor, 10 januari 2014