Senja di Pantai Waha, Wangi-Wangi |
Sebelum saya menapakkan kaki, kabar yang saya dengan Wakatobi adalah
negeri yang keras. Bukan hanya alamnya
yang panas namun masyarakatnya katanya terbilang keras dan tempramental. Saya agak khawatir dengan hal itu. Maklumlah saya tidak memiliki “perangkat”
untuk menghadapi situasi seperti itu. Tubuh
ini sejak kecil hanya terinstal oleh software
yang serba lunak.
Saya berkesempatan untuk mengunjungi Wakatobi. Tak sekedar singgah namun stay hingga sebulan malah terancam lebih
untuk sebuah tugas yang saya emban. Kabar
itu mulai merajai pikiran saya lalu menelusuk masuk dalam hati dan perasaan,
semakin pekat terasa. Tetapi dari relung
hati yang paling dalam selalu berbisik bahwa tak ada manusia yang jahat, Tuhan
menciptakannya dengan sebaik-baiknya ciptaan, menghiasinya dengan pekerti lalu
membungkus dengan kelembutan perangai. Pokoknya
Tuhan menciptakan manusia sambil tersenyum.
Buktinya, Tuhan menitipkan bagian dari Diri-Nya dalam diri manusia. Sejenak hati saya tenang dengan hal itu.
Perjalanan saya di mulai dari Bogor
ke Jakarta menggunakan Damri. Dari
Jakarta rute yang ditempuh adalah Jakarta-Makassar-Baubau menggunakan pesawat
maskapai Garuda Indonesia. Untuk
Jakarta-Makassar dengan menggunakan pesawat tipe Boeing sedangkan
Makassar-Baubau dengan menggunakan pesawat tipe ATR (baling-baling). Waktu pemberangkatan dari Jakarta pukul 01.50
WIB sampai ke Baubau pukul 07.30 WITA.
Selama perjalanan “wajah”
Wakatobi semakin terbayang. Saya mulai
mengumpul-ngumpulkan berbagai ingatan tentangnya. Bukan berarti saya pernah berkunjung
kesana, namun informasi dari uncle google dan sejumlah kesaksian pelancong
yang pernah singgah di Wakatobi. Saya sempat
larut dalam tagline “Wakatobi surga
nyata bawah laut di segitiga karang dunia”.
“Wow.,i’m flying to paradise” bisikku dalam hati sambil tersenyum
simpul bahagia.
Setiba di Baubau, perjalanan
dilanjutkan menuju Kabupaten Wakatobi.
Perjalanan ini menggunakan kapal laut yang terbuat dari kayu dengan
kapasitas penumpang kurang lebih 200 orang.
Waktu tempuh perjalanan kurang lebih 9 jam yakni dari pukul 22.00 WITA
dan tiba di dermaga Wanci pukul 07.00 WITA.
Perjalanan ini terbilang cukup cepat karena kondisi laut cukup tenang.
Bahagia rasanya saya sempat
singgah ke tanah kelahiran, tanah Buton Kota Baubau. Saya memiliki waktu 12 jam di Baubau. Melepas kerinduan dengan keluarga
tercinta. Apalagi putriku yang cantik
Amirah. Ia telah menjemputku di Bandara
Betoambari. Begitu melihatku langsung
berlari minta digendong sambil berteriak
“ayah....”.
Kupeluk tubuhnya yang mungil dan
kucium pipinya berkali-kali
Saya membatin “Amirah sayang, engkaulah biji mataku”
*****
Akhirnya kapal kayu yang saya
tumpangi sebentar lagi berlabuh di pelabuhan Wanci. Mesin kapal mulai
dipelankan, laju kapal mulai melambat. Kapal
kayu baru saja melewati Pulau Kapota.
Pulau tua yang tempo dahulu katanya ramai dengan aktivitas perdagangan
tua. Kini makin tertinggal akibat
ketimpangan pembangunan
Saya lalu mendongak kebawah. Wow.,air laut sangat jernih dan karang-karang
laut begitu kentara. “Ini baru pinggir-pinggir surga nyata itu”
bisikku dalam hati. Kapal kayu sangat
hati-hati bergerak maju diantara bongkahan karang-karang itu. Rupanya lautnya cukup dangkal. Hingga harus dikeruk membentuk sodetan atau
kanal agar kapal bisa masuk ke darmaga. Sayang
juga, cukup banyak karang yang terangkut.
ABK melempar tali, jangkar telah
disauh dan akhirnya kapal telah berhenti sempurna. Dadaku semakin berdebar-debar. Sejuta kepingan memori tentang Wakatobi
terngiang bersamaan. Di ujung darmaga
sahabat saya Jeto telah telah menanti. Kulihat
jam tanganku tepat pukul 7 pagi.
Setelah menapakkan kaki di
darmaga, saya melihat aktivitas cukup ramai. Orang berlalu lalang mengangkut
barang. Puluhan kenderaan diparkir
menjemput sanak famili yang datang. Mataku
cukup awas mengamati segala arah. Otakku
berupaya cepat loading mempelajari
semua situasi.
Orang-orang Wakatobi memiliki
kekhasan bersuara keras. Saat bercerita biasapun seperti itu. Suara mereka cukup keras. Tapi ini bukan hal baru menurutku. Saya adalah orang Buton, mengalir darah Buton
dalam tubuhku dan orang Buton pun seperti itu, bersuara dengan keras. Wakatobi pun adalah juga beretnis Buton.
Tak hanya di Buton malah, saat saya berkunjung ke Ambon dan Papua
mereka pun suka berbicara dengan suara yang keras. Bisa jadi, orang-orang timur umumnya saat
berbicara dengan suara keras. Mungkin inilah
yang menyebabkan orang menilai karakter orang timur itu, termasuk Wakatobi
adalah keras, kasar dan kesannya tempramental.
Nampaknya itu hanya penilaian luarnya saja.
Saya percaya bentang alam dan
kondisi geografis sangat mempengaruhi bentukan karakter komunitas yang mendiaminya. Kepulauan Wakatobi adalah gugusan beberapa
pulau. Bentang lahannya cukup tandus,
yang didominasi oleh batuan cadas. Sangat
mudah kita menyimpulkan bahwa dulu kepulauan Wakatobi adalah lautan yang akibat
gerak lempeng kemudian terdongkrak keatas.
Artinya batuan cadas yang banyak kita temukan di Wakatobi adalah batu
karang berusia ribuan bahkan jutaan tahun yang telah lama mengalami reaksi
kimia. Telah lama terpapar sinar matahari, hujan dan iklim lainnya yang secara
sangat perlahan mengalami pelapukan lalu menjadi tanah yang remah.
Wilayah nusantara memang
merupakan pertemuan dua lempeng bumi yakni dari daratan Asia dan Australia. Pertemuan dua lempeng ini yang belakangan
dikenal sebagai garis Wallacea. Inilah yang menyebabkan nusantara memiliki keberagaman
biodiversity, hayati dan non hayati. Nusantara
tak hanya kaya dengan aneka flora dan fauna, namun berbagai kandungan mineral
dalam tanah. Ini pula yang ikut berandil
besar menciptakan keberagaman etnik di nusantara.
Kebudayaan adalah mekanisme dari
sebuah komunitas untuk memenuhi segala kebutuhan dasar komunitas itu. Kebudayaan tak hanya terbentuk dari konsensus
individu dalam komunitas, namun merupakan adaptasi kreatif atas bentukan alam
tempat komunitas itu berdiam. Simpelnya,
kebudayaan merupakan seperangkat solusi atas problematika komunitas yang
menjadi arena pertemuan alam pikir (microcosmos)
dan alam lingkungan (macrocosmos)
yang secara terus menerus berdialektika dan terkonservasi diatas lintasan
sejarah.
Lantas, mengapa orang Wakatobi
suka berbicara keras..?
Orang luar Buton pada umumnya dan
Wakatobi pada khususnya mungkin menangkap kesan luar bahwa bersuara keras itu
identik dengan kasar dan tempramental. Padahal
penilaian atas sebuah komunitas mestinya tak linear seperti itu.
Disatu sisi tanah kepulauan
Wakatobi kurang subur dan bebatuan. Komoditi
pertanian yang tumbuh lebih dominan tanaman keras dan perkebunan
(parenial). Disisi lain merupakan
pulau-pulau kecil yang dikelilingi oleh lautan luas namun kaya. Situasi ini mendesak orang Wakatobi untuk mengarungi
lautan. Dinamika orang Wakatobi seiring
dengan dinamika gelombang lautan.
Diving di Wakatobi |
Lautan adalah ekosistem yang
sangat dinamis, kadang tenang tak jarang sangat ektrim hingga ke titik paling
nadir. Saat angin bertiup kencang akan
menghasilkan gelombang besar. Suara orang
Wakatobi harus bersaing dengan suara gelombang lautan. Kendati lautan itu menyimpan energi gelombang
yang dahsyat namun ia sangat terbuka dengan apapun yang hendak berlayar
diatasnya. Demikian pula orang Wakatobi,
sangat inklusif dengan siapapun tapi anda harus toleran dengan suara keras.
Tak hanya itu, gerakan orang
Wakatobi lebih cepat dan gesit. Mereka harus
mengimbangi gerakan gelombang lautan tadi.
Jadi tak salah jika gerakan tarian Wakatobi lebih energik dan alunan
musiknya sedikit agak kencang. Lautan sewaktu-waktu
memberikan ancaman tak terduga, makanya senjata dan belati mesti disiagakan
dipinggang depan.
Coba bandingkan dengan kebudayaan
Jawa dan kalimantan (dayak). Mereka hidup
di daerah yang di tanah yang lebih subur dan lebih kontinental. Mereka tak terlalu merasakan dinamika alam
seperti lautan di Wakatobi. Karakter merekapun
tentu berbeda. Bertutur dengan pelan,
gerak tarian lebih pelan dan alunan musik tak terlalu kencang.
Senyum lugu anak Wakatobi |
Menurut saya, tidak fair rasanya menilai sebuah komunitas
menggunakan cara pandang komunitas lainnya. Jika cara itu yang dilakukan maka
penilaian akan menjadi semacam hegemoni kebudayaan atas kebudayaan
lainnya. Mestinya yang dilakukan
adalah mendalami komunitas itu dan
menemukan kearifan-kearifan dari padanya lalu mengambil pelajaran. Hanya dengan cara itu kita dapat menemukan jawaban
rahasia Tuhan atas segala perbedaan yang ada.
Lautan wakatobi memang sarat
gelombang, tapi di dalamnya terdapat kekayaan surga bawah laut. Demikian pula orang Wakatobi yang berbicara
keras, tapi dalam hati diri mereka sarat akan kebaikan hati dan
kelembutan. Dan saya menyaksikan dan
merasakan itu disini, di Wakatobi.
“ah rasanya saya tak sabar lagi menyelami surga di Wakatobi”
Wakatobi, 5 Nopember 2014.
0 komentar:
Posting Komentar