Ilustrasi (sumber klik) |
Barangkali disana ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin Tuhan Mulai bosan
Melihat tingkah kita yang selalu salah
dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang
~Berita Kepada kawan-Ebiet G. Ade~
Jargon “green”
akhir-akhir ini sering kali kita dengar hampir di setiap sektor atau gagasan
tentang pembangunan. Katakanlah program Green City (kota hijau) yang lagi rame
berjalan dihampir semua daerah di Indonesia.
“Green” secara leksikal
berarti hijau atau warna hijau. Tapi
mengapa warna hijau..??
Filosofi “green”
merujuk pada entitas tumbuhan atau lebih tepatnya daun tumbuhan yang
berwarna hijau. Tumbuhan adalah jenis
makhluk hidup yang sebagian besar bersifat autotrof yakni mampu “memasak” atau
menghasilkan makanannya sendiri dan dapurnya adalah daun. Kemampuan ini dimiliki oleh tumbuhan karena
pada daun memiliki pigmetasi yang disebut klorofil. Warnanyapun adalah hijau (green). Klorofil menjadi katalilsator untuk proses
reaksi anabolisme (fotosintesis), pembentukan makanan utamanya karbohidrat.
Ilustrasi (sumber: klik) |
Reaksi anabolisme pada daun ternyata merupakan
reaksi bolak balik. Reaksi tersebut
diimbangi oleh reaksi katabolisme (respirasi) yang membongkar senyawa karbohidrat tadi. Reaksi-reaksi tadi ikut membentuk
keseimbangan alam. Fotosintesis menjerap
CO2 dialam sekaligus melepas O2 sebagai produk sampingan. Itulah mengapa, ketika kita berada pada
daerah yang banyak terdapat pepohonan maka kita merasakan iklim mikro yang
sejuk. Disatu sisi fotosintesis menjerap
CO2 dan melepas O2, disisi lain respirasi mengeluarkan uap air.
Nah, slogan “green”
hendak merujuk pada kemampuan organik dari tumbuhan
memproduksi/membangun/tumbuh (production/build/grow)
sekaligus melestarikan (conservation). Secara tidak langsung ingin ditunjukkan bahwa
proses pembangunan secara sederhana mestinya mengikuti logika organik tumbuhan.
Pembangunan mendorong produksi dan pertumbuhan namun disisi lain pembangunan
menjadi proses melestarikan dan memperbaiki ekologi.
Kampanye “green” yang belakangan muncul setelah
proses pembangunan yang masif sekaligus menunjukkan ternyata pembangunan selama
ini berjalan timpang. Akibat buruk yang
telah dirasakan dari pembangunan, baru belakangan melahirkan kesadaran ekologis
kita. Penyakit telah bersarang dalam
tubuh pada stadium akut, kita baru sadar betapa pentingnya menjaga kesehatan.
Kesadaran ekologis tadi membentuk satu cara pandang
atau logika berfikir yang lebih senstif terhadap lingkungan. Kesadaran atau cara pandang seperti ini yang
saya sebut sebagai “Green Paradigm”. Green
Paradigm meniscayakan kita untuk selalu tidak mengabaikan aspek
lingkungan dalam pembangunan dan mendorong untuk melakukan kerja-kerja
konservasi. Kita berharap, pada akhirnya
Green
Paradigm terinternalisasi pada setiap masyarakat sipil (Civil Society) sehingga mengejawantah
dalam tindakan keseharian. Misalnya
tidak membuang sampah disembarang tempat, menjaga kebersihan, merawat tumbuhan,
dan lain sebagainya. Selain itu,
masyarakt sipil akan secara aktif memantau setiap kebijakan yang tidak pro
green.
PEMBANGUNAN
MENGACAUKAN HUKUM TERMODINAMIKA II
Setau saya ada dua paradigma besar tentang
pembangunan yakni paradigma Modernisasi dan paradigma Ketergantungan (dependency). Kedua teori ini mendefinisikan dan
menjabarkan bagaimana pembangunan harusnya berjalan.
Paradigma modernisasi mencakup
teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial serta teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang menunjang proses
perubahan. Paradigma
ketergantungan mencakup teori-teori keterbelakangan (under-development), ketergantungan (dependent development) dan sistem dunia (world system theory).
Tapi bagi saya sederhana saja memaknai pembangunan
hari ini. Pembangunan adalah yang telah memberikan
batasan mana modern dan tradisional, mana miskin dan mana kaya, mana maju dan
mana tertinggal. Yang lebih penting bagi
saya, pembangunan adalah romantisasi masa saat kita menikmati masa sejuknya
udara, masa dimana masih banyak pohon-pohon kokoh menjulang membelah langit,
masa dimana masih banyak sumber-sumber air yang mengalir jernih dan begitu
sejuk membasahi batang kerongkongan kita.
Pembangunan adalah yang mengganti tegakan-tegakan
pohon menjulang dengan tegakan tembok yang penuh keangkuhan, udara sejuk yang diganti dengan aroma kepulan
asap pabrik dan kendaraan serta sumber mata air yang diganti dengan wahana
permandian artifisial.
*****
Saya jadi teringat dengan Hukum Termodinamika
II. Jika Termodinamika I menyatakan
bahwa energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan namun hanya
berubah bentuk, atau biasa disebut hukum kekekalan energi. Namun pertanyaan selanjutnya adalah jika
energi atau materi hanya bisa berubah bentuk lantas kemana arah perubahan
bentuk itu serta apa dampak yang mungkin timbul dari perubahan itu..?? apakah
perubahan itu reversible atau irreversible..?? Termodinamika II
menjelaskan tentang arah perubahan energi itu.
Termodinamika II menyatakan bahwa tidak mungkin dan
tidak ada ada kalor atau
energi dapat dirubah menjadi kerja seluruhnya, tetapi sebaliknya kerja dapat
dirubah menjadi panas atau energi. Hal
ini secara tidak langsung menyatakan bahwa dalam sebuah sistem tidak ada energi
solid yang digunakan secara efisien 100%, sisanya merupakan buangan yang
menjadi partikel bebas di lingkungan.
Hal ini kemudian melahirkan konsep entropi di alam.
Entropi
adalah gejala alami lingkungan untuk menuju pada ketidakaturan. Hukum entropi percaya bahwa ada kecenderungan
dari alam menuju ketidakaturan yang diakibatkan oleh perubahan energi yang
tidak efisien. Contoh sederhana, kamar tidur yang telah kita rapikan akan
cenderung menjadi tidak teratur sehingga perlu secara rutin untuk diatur atau
dirapikan kembali. Gejala tersebut
menunjukkan adanya entropi dalam sistem lingkungan.
Ilustrasi (sumber:Klik) |
Namun
saya melihatnya, konsep entropi sebagai gejala alam, dianggap merugikan dan tidak
teratur dalam tanda petik adalah konsep yang berdiri diatas kepentingan manusia
yang cenderung eksploitatif. Saya
percaya bahwa, lingkungan secara alami memiliki hukum tersendiri untuk menjaga
keseimbangan ekosistemnya. Artinya,
gejala entropi secara alami mesti dipahami pula sebagai proses alami lingkungan
untuk menuju pada titik keseimbangan baru.
Lantas,
apa hubungannya antara pembangunan, hukum Termodinamika II dan entropi..??
Dalam
perspektif hukum termodinamika II, pembangunan adalah proses kreatif dari
manusia untuk mempercepat terjadinya laju perubahan energi. Dalam pembangunan ada banyak energi solid
yang akan pecah dan diurai untuk menghasilkan karya pembangunan seperti
infrastruktur dan sebagainya.
Jika
kita mengingat kembali prinsip hukum termodinamika II, artinya tidak ada proses
pembangunan yang efektif 100 % membawa pada perubahan yang diinginkan. Hal ini pula menegaskan, pembangunan akan
melahirkan bias dari pembangunan baik secara sosial, ekonomi terlebih lagi
ekologi. Bias pembangunan ini kemudian
menjadi “partikel bebas” (makna khias dan sesungguhnya) dalam ekologi
pembangunan. Tentu saja, bias inilah yang kemudian melahirkan entropi dalam
ekologi pembangunan kita.
Apa yang terjadi pada alam hari ini bukanlah gejala alami yang sesungguhnya. Semua telah mengalami campur tangan manusia
atas nama pembangunan. Sehingga
pemanasan global (global warming)
yang telah menjadi ancaman dan peringatan global (global warning); pencemaran udara, tanah dan air; bencana
kekeringan, banjir dan longsor yang terjadi secara massif tidak dapat lagi
dipandang sebagai gejala alami biasa.
Gejala-gejala itu mesti kita pandang juga sebagai gejala kemanusiaan
yang kita sebut sebagai bencana kemanusiaan.
Sialnya adalah, penyelenggara pembangunan kita dalam hal ini
penyelenggara negara tidak menyadari bahkan cenderung mengabaikan gejala alami
tersebut. Belakangan kita baru sadar
betapa pentingnya hal tersebut saat alam menunjukkan perubahan yang berbenturan
dengan keinginan dan kepentingan kita.
Pembangunan idealnya ditopang oleh tiga pilar yakni profit (ekonomi), people (sosial) dan planet
(ekologi). Pembangunan mestinya dipandang sebagai adaptasi kreatif atas
bentukan dan fenomena alam yang ada.
Pembangunan mestinya menjadi pertemuan yang mesra antara manusia sebagai
mikrocosmos dan alam sebagai makrocosmos.
Kerusakan alam yang kita rasakan hari ini, sebagai gejala entropi
dari pembangunan bukanlah sesuatu keterlanjuran yang tinggal kita pasrahi,
ratapi dan sesali. Kita masih bisa
memperbaikinya jika kita punya itikad baik untuk melakukannya.
Green Paradigm tidak hanya membutuhkan komitmen formal belaka yang dituangkan
lembaran-lembaran kertas, namun harus nampak dalam bentuk inovasi dan kerja
nyata. Tentu akan membutuhkan waktu dan
biaya, tapi yang lebih penting adalah inovasi dan kerja harus didorong oleh
nilai etika dan moralitas yang betul-betul ingin memperbaiki (will to improve). Tidak ada jalan lain, hanya itu jalan kembali
untuk membenahi alam kita.
Mari jadikan bumi ini asri dan lestari, jika kita tidak ingin
dikutuk oleh generasi sesudah kita, anak cucu kita sendiri karena tidak dapat
menjaga dengan baik apa yang mereka titipkan kepada kita.
Terakhir, saya ingin mengutip pesan hikmah dari Mahatma Gadhi:
“Bumi telah menghasilkan cukup untuk semua orang, tapi tidak cukup
untuk satu orang yang serakah.”
Bogor, 26
Februari 2014
Pukul 06:00
WIB
sumber klik |
Baca juga:
0 komentar:
Posting Komentar