“kejarlah ilmu
sampai ke negeri Cina..”. ungkapan yang sangat populis di kalangan
orang muslim. Bahkan saya pernah
mendengar dari seorang ustadz bahwa ungkapan itu yang pertama mempopulerkannya
adalah Rasulullah SAW yang kemudian banyak dikutip oleh pengikut Beliau dan
para juru dakwah ketika mereka lagi seriusnya membahas tentang ilmu
pengetahuan. Jika seperti itu faktanya,
ada hal yang agak megelitik benak saya, mengapa
negeri Cina yang harus disebut-sebut.
Bukan negeri Persia yang sudah memiliki peradaban yang sangat besar.
Mengapa pula bukan
negeri Yunani yang disebut-sebut yang dari dulu dikenal sebagai negeri
pengetahuan, negeri yang banyak melahirkan banyak filsof dan nabi-nabi sosial,
bahkan orang Yunani yang menemukan konsep pendidikan modern pertama. Kata “sekolah” (school) berasal dari bahasa yunani “skolae” yang berarti waktu
senggang, sebuah tradisi belajar bersama.
Orang Yunani pula yang pertama mendirikan institusi pendidikan, ya…Plato
filsuf Yunani ituyang mendirikan Taman Akademos yang sekarang orang yang
menggeluti ilmu pengetahuan disebut akademisi.
Atau mengapa bukan Romawi, negeri yang terkenal hebat dengan bala
tentaranya seperti yang diceritakan dalam film Spartacus dan film-film
lain. Ada apa dengan negeri Cina…?
Lagaknya, ada
hal khusus terhadap negeri Cina dan orang-orang Cina. Faktanya,
disetiap negeri dibelahan bumi ini ada orang Cinanya. Bahkan, hampir semua flim yang pernah ku
tonton ada pemeran utama ataupun sekedar tokoh figuran yang berasal dari negeri
Cina. Seolah-olah orang Cina itu membatu
kita menjawab ungkapan diatas.
Seolah-olah mereka hendak berkata :
“…tak perlulah engkau repot-repot mengocek isi
kantungmu mendatangi negeri Cina, biarlah kami yang akan mendatangi
negerimu. Tunggu saja di rumahmu, kami
akan datang mengetuk pintu-pintu rumahmu..”
Bagi orang-orang
muslim, khususnya di Indonesia, Cina punya sejarah tersendiri. Dalam penelusuran sejarah ada 4 versi masuknya Islam di Indonesia yakni pertama; dibawa oleh pedagang India dari
Gujarat, kedua; dibawa oleh orang
Persia, ketiga; dibawa oleh orang
arab sendiri dan keempat; dibawa oleh
orang-orang Cina yakni ketika 320 armada laut China yang dipimpin Laksamana Cheng Ho
(Ma He) bersama nakhkodanya Wang Ching Hong memasuki
perairan nusantara.
Laksamana Cheng Ho (Ma He)
berhasil meng-Islamkan Raja Parameswara dari Melaka
yang merupakan raja Melaka pertama yang memeluk agama Islam. Sejak itu Parameswara mengganti namanya
menjadi Sultan Iskandar Syah dan mengubah Melaka dari kerajaan Hindu menjadi
kesultanan Islam. Sementara Wang Ching Hong dimakamkan di Semarang dikenal
dengan sebutan Panembahan Dompu Awang atau Kiyai Juru Mudi setelah memutuskan pensiun dari pelayaran dan tinggal di Semarang
bergabung dengan Sunan Bonang menyebarkan Islam di Jawa Tengah. Di tempat pemakamannya kemudian berdiri
Kelenteng Sam Po Kong di kota Semarang.
Wang Ching Hong terkenal hafal Qur’an
dan pandai berbahasa Arab dan Persia.
Saya
kadang-kadang terfikir untuk
memplesetkan ungkapan terkenal itu dengan mengganti kata “ilmu” dengan kata-kata yang lain. Maaf saja ya..ini bukan untuk melecehkan
Rasulullah SAW tapi membantu kita untuk mengungkap rahasia Cina dibalik
kata-kata Rasulullah yang terkenal itu.
Kita mulai ya…!
“..kejarlah
ekonomi sampai ke negeri Cina..” Hmm..nampaknya saat ini Negara-negara di
belahan Eropah dan AS tidak memandang Cina dengan sebelah mata namun sebagai
negara dengan ekonomi yang kuat. Hari
ini Cina telah menjadi tidak hanya macan Asia tapi aumannya cukup berpengaruh
di dunia. Bersama Jepang memonopoli
produk elektronik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
“…Kejarlah politik sampai ke negeri Cina..” . Teman-teman saya cenderung negative dengan karakter Cina. Mereka mengasosiasikan kata “Cina” dalam
politik praktis sebagai karakter yang licik, licin dan lihai dalam
bermain. “kurang ajar, na cinai k..” istilah teman-teman di Makassar yang
biasa kudengar.
“…kejarlah obat
sampai ke negeri Cina..” . Wah, saya jadi teringat
dengan Film laga Cina berjudul Once Upon a Last time In China dengan 3
serial berlanjut yang diperankan oleh Jet Li.
Jet Li sebagai tokoh utama yang berperan sebagai tokoh legendaries Cina
yang pernah ada yakni Wong Fei Hung bukan saja mengusai bela diri Kung Fu
dengan Tendangan Seribu Tanpa Bayangan sebagai jurus pamungkasnya tetapi juga
mengusai ilmu kedokteran dan obat-obat tradisional Cina. Pernah ketika saya menonton salah satu film
serialnya ada adegan dimana para dokter seluruh dunia berkesempatan membuat semacam
seminar di Cina dan seluruh peserta mempresentasikan pengetahuan medisnya. Saat itu Wong Fei Hung berkesempatan
mempresentasikan kapasitasnya. Ia
mempresentasikan pengobatan ala Cina, Akupuntur.
Akupuntur adalah
tekhnik pengobataan Cina dengan melakukan totok pada saraf dengan menggunakan
jarum yang telah disterilkan pada suhu
tertentu. Ia menampilkan serangkaian
gambar organ tubuh manusia lengkap dengan susunan sarafnya. Menurut Fei Hung, penyakit manusia
diakibatkan oleh penyumbatan saraf dan dapat disembuhkan dengan melakukan tindakan
pada saraf tersebut. Ia juga
memperkenalkan bahwa akupuntur dapat digunakan untuk operasi bedah tanpa
menggunakan bahan anesthesia kimia.
Karena kendala bahasa, para peserta yang hadir dari belahan dunia tidak
memahami apa yang disampaikan oleh Wong Fei Hung. Disitulah Fei Hung berkenalan dengan Dr. Sun
Yat Sen yang juga hadir dalam seminar itu.
Tiba-tiba saja
Yat Sen tampil menawarkan diri menjadi spokesman Fei Hung. Fei Hung menerima kehormatan itu
dengan senang hati. Sementara Wong fei
Hung mempresentasikan Akupuntur Tiba-tiba ada serangan dari pihak pemberontak
dan melukai salah satu peserta yang hadir.
Nah, saat itulah Wong Fei Hung ahli pengobatan tradisional cina
berkolaborasi dengan Dr. Sun Yat Sen dokter bedah jebolan Eropa. Sun Yat Sen melakukan operasi bedah dengan
menggunakan anesthesia akupuntur Wong Fei Hung.
Saya melihat
pesan dari adegan itu sebagai interaksi kebudayaan barat yang sarat modernisasi
dengan kebudayaan cina yang sarat dengan kearifan lokal.
Ada teman yang pernah bilang ke saya “
kalau kamu sakit keras minum saja obat Cina, dijamin pasti yahut sekali minum
langsung sembuh..”
Dari tadi saya terlalu bertele-tele
membangun arguman. Saya ingin memberikan
ungkapan :
“..Kejarlah
Perempuan sampai ke negeri Cina..” Syukurlah saya tidak perlu lagi ke negeri cina. Orang-orang cina telah mengetuk pinta rumahku
bahkan perempuan Cina itu telah mengetuk pintu hatiku.
Ya perempuan itu
keturunan Tiong Hoa, bangsa yang berkulit kuning dan bermata sipit. Lebih
tepatnya sebenarnya ia adalah blesteran, campuran antara Buton dengan Tiong
Hoa. Bapaknya adalah Tiong Hoa dan
Ibunya berdarah Buton. Ia adalah
perempuan ½ oriental. Ia biasa di sapa Wa
Mei-Mei.
Saya
mengenanlnya belum saja terlalu lama itupun karena setengah di desak oleh
seorang sahabat yang telah menetap di Buton yang lebih dahulu mengenalnya. Kesan pertama pun tak terlalu istimewa, hanya
via short Message Service (SMS) bahkan agak sedikit menjengkelkan. Entah mengapa hati ini kemudian terdorong
untuk mengenalnya lebih jauh.
Secara fisik
memang ras Tiong Hoa nya sangat nampak.
kulitnya kuning, rambutnya lurus hanya saja metanya telah bercampur
dengan mata orang Buton sehingga tak sipit lagi. Perempuan itu
pernah bercerita padaku, dulu ketika masih SMU ia biasa kesal karena
ketika mata pelajaran agama Islam namanya tak kunjung dipanggil oleh guru.
Dengan setengah protes dan kesal perempuan itu naik ke depan kelas dan
berbicara pada guru itu
“ Pak
Guru kenapa nama saya tidak dipanggil saya kan beragama Islam juga.”
Melihat kejadian itu teman sekelasnya dengan
setengah berbisik berkata “Mei-Mei, aku
kira kamu Kristen. Pantas saja begitu
mata mata pelajaran ini masuk kamu tidak keluar dari kelas”
“huh..enak
saja”. Ia menimpali dalam hati
Bahkan yang
lebih menghebohkan lagi –masih cerita Mei-Mei padaku- ibunya datang mencak-mencak di SMU itu
sewaktu Mei-Mei dinyatakan lulus dari SMU.
Mengapa tidak, dalam Surat Keterangan Kelakuan baik (SKKB) yang
dikeluarkan oleh pihak sekolah menerangkan bahwa Mei-Mei beragama Kristen sementara
Surat itu dibutuhkan Mei-Mei untuk melanjutkan studi dan dua hari lagi harus
bertolak ke Jakarta.
Tanpa hendak
mengeneralisir , seperti itulah watak
orang Indonesia dalam menilai sesuatu.
Penilaian selalu saja didasarkan hal yang tampak saja yang sifatnya
permukaan. Ditambah lagi orang Indonesia
cenderung emosional ketika penilaiannya dibenturkan dengan penilaian orang
lain. Jadi jangan heran perkelahian massal
dan konflik sosial biasanya hanya dipicu oleh hal-hal sepele. Harusnya ada pihak yang bertanggung jawab
untuk meng up-grade kapasitas dan
pengetahuan masyarakat agar lebih dewasa dalam menyikapi persoalan. Ya siapa lagi kalau bukan pemerintah. Nyatanya..??
Saat ini Mei-Mei
telah kuliah di salah satu universitas swasta Jakarta yang bercorak Islam
dengan konsentrasi keilmuannya lebih spesifik mengkaji tentang Bank
syariah. Bahkan saat ini ia telah masuk
dalam komunitas akhwat yang gandrung memakai jilbab menjulur sampai dibawah
dada. Untunglah ia masih mau bergaul
denganku berbeda dengan akhwat-akhwat yang umumnya saya dapati. Terus terang saja saya tidak terlalu
sependapat dengan gaya beragama yang orang bilang fundamentalis. Saya selalu berusaha bersikap transformatif terhadap
dogma agama dengan tetap mempertahankan nilai-nilai di dalamnya.
Sederhana kok
saya dalam memetakan fenomena berIslam.
Indonesia itu bukan arab, arab itu
bukan Indonesia dan tak selamanya yang berbau arab adalah Islami. Artinya akan berbeda secara kultural antara
umat Islam di arab dengan umat Islam di Indonesia. Yang jadi masalah, kita terkadang sulit
bahkan tidak bisa membedakan antara kebudayaan Arab dengan nilai-nilai Islam
yang teraktual dalam symbol
tertentu. Sebagaimana di
Indonesia, awal mula hadirnya Islam di Arab juga terjadi pertautan antara budaya
Arab dengan Islam itu sendiri. Jadi,
pandai-pandailah memilah mana budaya Arab dan mana murni wujud Islam.
Terkadang pula
kita terjebak dalam ruang simbol dan melupakan maknanya. Atau yang paling sering terjadi berpegang
teguh secara taklid pada mazhab fiqih
tertentu lalu mengkafirkan kelompok lain diluar mazhab fikihnya. Bagi saya dahulukan akhlak ketimbang
fiqh. Bukankah fiqih adalah tafsir atas
tafsir dari teks normatif. Bukankah
Rasulullah ditugaskan untuk meluruskan akidah (tauhid) dan akhlak bukan untuk
meluruskan fiqih. Maaf, saya bukanlah
seorang a’lam terhadap Islam namun hanya seorang Islam biasa yang mencoba mempertautkan
antara fakta dan ajaran. Mungkin secara
sosiologis sejalan dengan apa yang pernah diunggap Gus Dur bahwa “lebih baik
minyak onta cap babi dari pada minyak babi cap onta”
Lantas gimana
kelanjutan kisah perempuan Cina itu. Ah
,sudahlah itu masa lalu. Seberapapun
berkuasanya wacana Cina dipentas realitas, faktanya adalah Cina tak berkuasa
atas cintaku. Hatiku berhasil ditaklukkan dan dimenangkan oleh seorang
perempuan luar biasa yang sama sekali tak berhubungan darah dengan Cina. Ibunya Bugis-Makkassar dan ayahnya Jawa Solo
dan dia sendiri lahir di Buton. Namanya
adalah Fira, perempuan yang oleh anak-anakku memanggilnya Ibu karena dari rahim
sucinya melahirkan mereka.
Sekarang hasil
ikatan suci kami melahirkan seorang putri cantik. Buah hati, belahan jantung dan penyejuk
pandangan mata kami, Qurrota ‘A’yun.
Namanya adalah Amirah. Akh,
nampaknya kisah selanjutnya sebaiknya dituliskan di judul lain yang tak
berhubungan dengan Cina. Hehehehe…,
Ditulis
di Makassar,Jum’at 16 Januari 2009. Jam 10:28 WITA s/d di Bogor ,Sabtu 4 Mei 2013 Jam 22.37 WIB.