Entri Populer

Pages

05 Mei, 2013

Menafsir Realitas

 
“…tak hanya para pemikir dan filsuf
namun ketika para orang awam telah dapat berdiskusi dan
menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
Apa tujuan penciptaan alam semesta? Bagaimana alam semesta ini tercipta?
Untuk apa manusia hadir? Maka itulah puncak ilmu pengetahuan…”


Apa tujuan penciptaan alam semesta? Demikian salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh fisikawan Paul Davis dalam bukunya The Mind of God (membaca pikiran Tuhan).  Pertanyaan ini begitu sederhana namun sangat menyentil dan mengerutkan dahi untuk menemukan jawabannya.  Mengapa tidak, ini adalah pertanyaan yang paling purba.  Para filsof Yunanipun telah lama mempertanyakannya. Dan pertanyaan ini, saat ini masih hadir dalam forum-forum diskusi dan ruang-ruang seminar.

Pertanyaan ini mungkin senada dan sesederhana saat kita disekolah apa tujuan hidupmu??.  Atau semasa kita kecil selalu ditanya Apa cita-citamu, Nak??. Bagiku itu pertanyaan tersulit saat kecil.

Stephen Hawking fisikawan cacat fisik, generasi setelah Albert Enstein namun pemikirannya dianggap sekaliber Enstein. Ia adalah  penemu teori Black Hole yang terkenal itu. Penggalan pemikirannya diatas hendak menjelaskan betapa pentingnya pertanyaan Davis.  Hawking pula berusaha keras untuk menjawab pertanyaan Davis.  Usaha kerasnya itu kelihatan dari teorinya Black Hole.  Hawking menjelaskan bahwa di ruang angkasa sana, ada sesuatu celah yang disebut Black Hole (lubang hitam).  Lubang itu perlahan dapat menyedot semua alam semesta masuk ke dalamnya.  Bila alam semesta terserap masuk dalam lubang hitam, itulah akhir alam semesta menuju ketiadaan,alam lain yang tak dapat terdefinisikan.

Entah mengapa, pada abad modern para fisikiwan lebih banyak mempertanyakan alam semesta pada sisi eksistensialnya.  Ini yang membuat teman saya (juga berlatar Fisika) begitu yakin menyimpulkan bahwa fisika kimia telah mati.  Ia telah nyebrang pada kajian metafisika.

Sebut saja salah satunya adalah Alain Aspect, fisikawan asal Perancis.  Tahun 1982, Aspect menemukan satu teori tentang semesta yang disebutnya dengan Paradigma Holograpik. Menurut Aspect bahwa alam semesta ini terbentuk seperti logika hologram dan bersifat semu.  Ia hanya merupakan pantulan-pantulan dari satu entitas yang absolut yang kemudian membentuk bayangan tiga dimensi yang seolah nyata.  Untuk memudahkan memahami teori ini, Aspect membuat satu simulasi akuarium.

Ada sebuah akuarium yang berisi seekor ikan mas koki. Akuarium ini kemudian disorot oleh tiga buah kamera dari sisi yang berbeda.  Setiap kamera kemudian dihubungkan oleh masing-masing sebuah televisi.  Orang-orang mengetahui realitas ikan hanya berdasarkan citra yang dipantulkan oleh televisi.  Karena kamera menyorot akuarium dari sisi yang berbeda  sehingga orang-orang tersebut berkesimpulan ada tiga ekor ikan. Gerakan ikan-ikan pun seolah acak.

Temuan Alain Aspect ini begitu menggemparkan.  Betapa tidak, temuannya tak hanya menyempurnakan temuan Enstein namun menggugurkannya sekaligus.  Bila Albert Enstein masih merelatifkan ruang dan waktu maka Alain Aspect meniadakan ruang dan waktu itu dalam satu kepingan realitas absolut.  Alam semesta yang ada ini tak hakiki,Ia hanyalah pantulan dari yang absolut.  Masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang adalah tiada. Ia inklud dalam satu waktu absolut.

Bagi Aspect, bila ada seseorang yang dapat melintasi waktu atau berada pada beberapa tempat sekaligus, atau ada sesuatu yang menghilang lalu muncul kembali itu adalah hal yang lumrah dan dapat dijelaskan.  Teori Aspect ini juga menjawab banyaknya pengalaman psikolog barat yang mendapatkan pasiennya merasa seolah bukan lagi dirinya.  Bahkan ada salah seorang pasien merasa dirinya hidup pada berjuta tahun yang lalu sebagai seekor dinosaurus.

Saya jadi teringat dengan film The Matriks.  Film ini hendak menyampaikan kepada kita bahwa realitas dunia yang kita tempati saat ini tidaklah nyata.  Realitas yang sebenarnya adalah apa yang disebut dengan Matriks.  Silahkan nonton sendiri filmnya.

Upaya untuk menafsir realitas tak hanya terjadi pada dunia fisik atau metafisik semata.  Namun makna atau tafsir itu sendiri seolah hendak menunjukkan bahwa ialah realitas yang sesungguhnya.  Semiotika cabang humaniora yang membahas tentang tanda (sign) atau hermeneutika yang membahas tentang penafsiran berusaha untuk menunjukkan hal tersebut.  Semiotika seolah melupakan tanda (sign) atau teks itu sendiri lalu lebih concern pada makna-makna tanda dan teks. Makna-makna itu lalu mereproduksi dan memproduksi realitas baru. Tanda (sign) atau teks seolah tak berdaya mengendalikan makna atas dirinya bahkan Tanda (sign) atau teks (seolah) tak berhak untuk memaknai dirinya sendiri.

Demikian pula diri kita yang hadir ditengah realitas sosial adalah sebagai tanda atau teks. Kita tak bisa memaksa orang lain untuk memaknai diri kita seperti keinginan kita. Kita hanya mampu mencitrakan diri tapi orang lainlah yang menilai. Apakah bernilai baik atau buruk kita harus siap untuk menerima.  Karenanya, relasi-relasi socialpun adalah hasil rajutan dari makna-makna itu.

******
Kalau boleh menyimpulkan sejauh petualangan dan penjelajahan ilmu pengetahuan manusia pada intinya ingin mengungkap tabir rahasia dibalik dirinya sendiri dan alam semesta. Manusia sebagai mikro kosmos dan alam sebagai makro kosmos.  Alam dan manusia entitas yang saling menyatu dan melingkupi.  Manusia adalah bagian dari makro kosmos,namun manusia dapat mengenggam makro kosmos dalam gagasannya lalu mewujudkannya.

Semakin manusia mengungkap rahasia alam dan dirinya maka semakin Ia terjebak dalam belantara tafsir dan pengetahuan.  Pengetahuan semakin mencitrakan kita sebagai potret yang misteri, buram dam samar. Wallahu A’lam…,

Baubau, 9 Agustus 2011
Pukul 10:30 Wita.
 

0 komentar:

Posting Komentar