“…tak hanya para pemikir dan filsuf
namun ketika para orang awam telah dapat berdiskusi
dan
menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
Apa tujuan penciptaan alam semesta? Bagaimana alam
semesta ini tercipta?
Untuk apa manusia hadir? Maka itulah puncak ilmu
pengetahuan…”
Apa tujuan penciptaan alam semesta? Demikian salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh fisikawan Paul
Davis dalam bukunya The Mind of God (membaca
pikiran Tuhan). Pertanyaan ini begitu
sederhana namun sangat menyentil dan mengerutkan dahi untuk menemukan
jawabannya. Mengapa tidak, ini adalah
pertanyaan yang paling purba. Para
filsof Yunanipun telah lama mempertanyakannya. Dan pertanyaan ini, saat ini
masih hadir dalam forum-forum diskusi dan ruang-ruang seminar.
Pertanyaan ini
mungkin senada dan sesederhana saat kita disekolah apa tujuan hidupmu??. Atau
semasa kita kecil selalu ditanya Apa cita-citamu,
Nak??. Bagiku itu pertanyaan tersulit saat kecil.
Stephen Hawking
fisikawan cacat fisik, generasi setelah Albert Enstein namun pemikirannya
dianggap sekaliber Enstein. Ia adalah
penemu teori Black Hole yang
terkenal itu. Penggalan pemikirannya
diatas hendak menjelaskan betapa pentingnya pertanyaan Davis. Hawking pula berusaha keras untuk menjawab
pertanyaan Davis. Usaha kerasnya itu
kelihatan dari teorinya Black Hole. Hawking menjelaskan bahwa di ruang angkasa
sana, ada sesuatu celah yang disebut Black
Hole (lubang hitam). Lubang itu
perlahan dapat menyedot semua alam semesta masuk ke dalamnya. Bila alam semesta terserap masuk dalam lubang
hitam, itulah akhir alam semesta menuju ketiadaan,alam lain yang tak dapat
terdefinisikan.
Entah mengapa,
pada abad modern para fisikiwan lebih banyak mempertanyakan alam semesta pada
sisi eksistensialnya. Ini yang membuat
teman saya (juga berlatar Fisika) begitu yakin menyimpulkan bahwa fisika kimia
telah mati. Ia telah nyebrang pada kajian metafisika.
Sebut saja salah
satunya adalah Alain Aspect, fisikawan asal Perancis. Tahun 1982, Aspect menemukan satu teori
tentang semesta yang disebutnya dengan Paradigma Holograpik. Menurut Aspect
bahwa alam semesta ini terbentuk seperti logika hologram dan bersifat
semu. Ia hanya merupakan
pantulan-pantulan dari satu entitas yang absolut yang kemudian membentuk bayangan
tiga dimensi yang seolah nyata. Untuk
memudahkan memahami teori ini, Aspect membuat satu simulasi akuarium.
Ada sebuah
akuarium yang berisi seekor ikan mas koki. Akuarium ini kemudian disorot oleh
tiga buah kamera dari sisi yang berbeda.
Setiap kamera kemudian dihubungkan oleh masing-masing sebuah
televisi. Orang-orang mengetahui
realitas ikan hanya berdasarkan citra yang dipantulkan oleh televisi. Karena kamera menyorot akuarium dari sisi
yang berbeda sehingga orang-orang
tersebut berkesimpulan ada tiga ekor ikan. Gerakan ikan-ikan pun seolah acak.
Temuan Alain
Aspect ini begitu menggemparkan. Betapa
tidak, temuannya tak hanya menyempurnakan temuan Enstein namun menggugurkannya
sekaligus. Bila Albert Enstein masih
merelatifkan ruang dan waktu maka Alain Aspect meniadakan ruang dan waktu itu
dalam satu kepingan realitas absolut.
Alam semesta yang ada ini tak hakiki,Ia hanyalah pantulan dari yang
absolut. Masa lalu, masa kini dan masa
yang akan datang adalah tiada. Ia inklud dalam satu waktu absolut.
Bagi Aspect,
bila ada seseorang yang dapat melintasi waktu atau berada pada beberapa tempat
sekaligus, atau ada sesuatu yang menghilang lalu muncul kembali itu adalah hal
yang lumrah dan dapat dijelaskan. Teori
Aspect ini juga menjawab banyaknya pengalaman psikolog barat yang mendapatkan
pasiennya merasa seolah bukan lagi dirinya.
Bahkan ada salah seorang pasien merasa dirinya hidup pada berjuta tahun
yang lalu sebagai seekor dinosaurus.
Saya jadi
teringat dengan film The Matriks. Film ini hendak menyampaikan kepada kita
bahwa realitas dunia yang kita tempati saat ini tidaklah nyata. Realitas yang sebenarnya adalah apa yang
disebut dengan Matriks. Silahkan nonton
sendiri filmnya.
Upaya untuk
menafsir realitas tak hanya terjadi pada dunia fisik atau metafisik
semata. Namun makna atau tafsir itu
sendiri seolah hendak menunjukkan bahwa ialah realitas yang sesungguhnya. Semiotika cabang humaniora yang membahas
tentang tanda (sign) atau
hermeneutika yang membahas tentang penafsiran berusaha untuk menunjukkan hal
tersebut. Semiotika seolah melupakan
tanda (sign) atau teks itu sendiri
lalu lebih concern pada makna-makna
tanda dan teks. Makna-makna itu lalu mereproduksi dan memproduksi realitas
baru. Tanda (sign) atau teks seolah
tak berdaya mengendalikan makna atas dirinya bahkan Tanda (sign) atau teks
(seolah) tak berhak untuk memaknai dirinya sendiri.
Demikian pula
diri kita yang hadir ditengah realitas sosial adalah sebagai tanda atau teks.
Kita tak bisa memaksa orang lain untuk memaknai diri kita seperti keinginan
kita. Kita hanya mampu mencitrakan diri tapi orang lainlah yang menilai. Apakah
bernilai baik atau buruk kita harus siap untuk menerima. Karenanya, relasi-relasi socialpun adalah
hasil rajutan dari makna-makna itu.
******
Kalau boleh
menyimpulkan sejauh petualangan dan penjelajahan ilmu pengetahuan manusia pada
intinya ingin mengungkap tabir rahasia dibalik dirinya sendiri dan alam
semesta. Manusia sebagai mikro kosmos dan alam sebagai makro kosmos. Alam dan manusia entitas yang saling menyatu
dan melingkupi. Manusia adalah bagian
dari makro kosmos,namun manusia dapat mengenggam makro kosmos dalam gagasannya
lalu mewujudkannya.
Semakin manusia
mengungkap rahasia alam dan dirinya maka semakin Ia terjebak dalam belantara
tafsir dan pengetahuan. Pengetahuan
semakin mencitrakan kita sebagai potret yang misteri, buram dam samar. Wallahu
A’lam…,
Baubau, 9
Agustus 2011
Pukul 10:30
Wita.
0 komentar:
Posting Komentar