Entri Populer

Pages

08 Mei, 2013

Jefri Albuchori dan Re(de)konstruksi Makna Ustadz





Masyarakat Indonesia begitu tercengang mendengar berita bahwa Uje -begitu Jefri Albuchori biasa disapa- wafat.  Kita semua seolah tak percaya dengan kabar itu.  Betapa tidak kematiannya begitu mendadak dan saban hari kita semua baru saja melihatnya berdakwah di TV.  Uje meninggal karena kecelakaan tunggal pada Jum’at jam 2 dini hari,mengendarai sepeda motor setelah pulang dari membawakan ceramah, aktivitasanya sehari-hari.  Dari berita di media, penyebab kecelakaan Uje akibat kelelahan dan mengantuk karena aktivitasnya dakwahnya yang padat.  Ditambah lagi motor yang dikendarainya adalah Kawasaki Ninja yang memang dikenal selalu ingin berlari kencang bila dikendarai.

Sepekan lebih sudah Uje meninggalkan kita, namun jemaahnya seolah masih saja tak percaya dan menyimpan kenangan yang manis dan begitu dalam.  Bagi saya, Uje adalah sosok yang berhasil hijrah dari dunia yang gelamour penuh hura-hura dan hedonisme kemudian memilih istiqomah di jalan Tuhan tanpa harus meninggalkan hiruk-pikuk dunia.  Masyarakat Indonesia nampaknya begitu kehilangan.  Ini terbukti saat ia dishalatkan oleh ribuan jemaah di masjid Istiqlal.  Menteri Agama RI, Surya Dharma Ali pun saat memberikan sambutan setelah shalat Janazah, tak tahan berisak dan menitikkan air mata saat ia berkata.

kita semua begitu kehilangan Uje.  Saya tidak tahu, mengapa ada seorang anak muda yang begitu konsisten dijalan dakwah

Sayapun ikut merinding sekaligus “terbakar” mendengar ucapan pak menteri itu dan tanpa sadar mata saya ikut basah. 

Kita bisa saja menampik bahwa pantas saja banyak yang menyalatkan Uje karena saat itu setelah shalat Jum’at dan di Masjid Istiqlal pula yang memang tak pernah sepi.  Tetapi, bagi yang menyaksikan baik lewat live di TV ataupun yang hadir di Istiqlal tentu akan merasakan aura yang berbeda.  Kemudian bukankah Rasulullah telah berkata bahwa hari Jum’at itu adalah waktu yang dimuliakan untuk seseorang yang meninggal dan mendapatkan keistimewaan tersendiri di kemudian hari.

Terlepas dari hal itu, bagi saya Uje adalah sosok pendakwah bagi masyarakat urban.  Ia sering digelari  sebagai “Ustadz Gaul” karena kemampuannya menyesuaikan diri dengan tipikal masyarakat urban dalam menyampaikan misi dakwahnya.  Uje begitu baik diterima oleh kalangan orang muda, orang tua atau pun majelis taklim ibu-ibu.  Ia memberikan perhatian lebih terhadap anak muda karena ia tahu betul bagaimana posisi anak muda bagi keberlanjutan agama dan negara.  Terlebih lagi, Uje melewati masa anak muda yang begitu suram dan berlumur maksiat.  Namun, hidayah Allah membawa uje untuk hijrah.

Ditengah hiruk-pikuk metropolitan, Uje berhasil menyampaikan renungan yang begitu membatin bagi yang mendengarnya melalui lagu, syair dan ceramahnya. Tak hanya lisan, dakwah bil Hal juga Uje tempuh dengan menyambangi langsung jemaahnya dan menampilkan kesederhanaan.  Tidak berlebihan kiranya jika Uje saya sebut sebagai “Sufi Kota” yang berhasil menghadirkan keheningan renungan dalam keramaian dan keramaian ditengah renungan yang hening.


Re(de)konstruksi Makna Ustazd.

Tapi ada yang saya risaukan pasca peninggalan Uje.  Cara pemberitaan Uje di beberapa media dapat memberikan kesan dan makna yang berbeda atas terminologi “Ustazd”.  Makna baru itu bisa mengarah ke rekonstruksi bisa pula ke dekonstruksi.  Yang saya maksud disini adalah cara media TV mengemas berita kematian dan sosok Uje.  Kita bisa membandingkan bagaimana stasiun TV yang berorientasi berita dengan stasiun TV yang berorientasi infotainment dalam menampilkan sosok Uje.  Yang walaupun kenyataannya dalam tinjauan industri media, stasiun TV mem-blow up berita seputar Uje hampir dua pekan lamanya untuk meningkatkan rating stasiun TV atau program tertentu.  Media termasuk TV dengan kesadaran jurnalistiknya, sadar betul bahwa pasca kematian Uje berita tentang Uje akan menjadi pilihan favorit penonton.  Makanya tak heran, hampir 24 jam berita tentang Uje menghiasi hampir seluruh stasiun TV.

Semua stasiun TV berupaya untuk menampilkan berita live tentang Uje karena psikologi para penontonpun seolah ingin menjadi orang pertama yang mendapatkan berita terbaru tentang Uje.  Maka tentunya, penonton akan mencari stasiun TV yang memberitakannya secara live.  Mulai dari sejak bergulirnya informasi kematian Uje, saat jenazah dishalatkan, lalu di hantar ke pemakaman sampai suasana rumah duka dan keluarga semua ditayangkan oleh media TV secara Live.  Pemilihan narasumber juga menjadi strategi stasiun TV dalam menarik perhatian penonton. Maka dicarilah kerabat, sahabat dan orang terdekat Uje untuk diwawancarai.  Pihak kepolisian menjadi “seksi” untuk menjadi incaran media karena memiliki kapasitas dalam menjelaskan kronologis kecelakaan yang merenggut nyawa Uje.

Sadar atau tidak sadar cara pemberitaan media atas Uje tidak hanya berdampak terhadap pencitraan masyarakat atas Jefri Albuchori. Tetapi bedampak terhadap pencitraan atas tokoh agama atau juru dakwah Islam yang biasa kita sebut “Ustazd”.  Hal ini dikarenakan sosok Jefri sudah tidak dapat terpisahkan dengan konteks makna kata “Ustazd”.  Implikasi makna ini juga dapat terdeterminasi bagi siapa saja yang oleh masyarakt dipanggil sebagai Ustazd.  Akibat pemberitaan tersebut makna “Ustazd” kemudian bergeser ke cara pandang baru.  Buktinya, Jefri Albuchori tak hanya dilabeli Ustazd namun mengikut kata “Gaul” setelah kata “Ustazd”.  Kata “Ustazd” dan kata “Gaul” memiliki konteks makna yang berbeda secara sosiologis.  Tentu saja, ini berimplikasi besar bagaimana metodologi dalam berdakwah.

Lihat saja, berita yang berkaitan kecelakaan dan kematian Uje serta terlebih contentnya Uje in memoriem dikemas dengan berbeda oleh stasiun TV.  Stasiun TV yang berorientasi berita mengemasnya dalam acara dialog dengan menghadirkan narasumber orang terdekat Uje ataupun rekaman ceramahnya dan juga bagaimana napak tilas Uje dalam berdakwah.  Kemasan berita seperti ini  menempatkan konteks makna Ustazd secara lebih positif.

Tetapi ada pula stasiun TV mengemasnya dalam bentuk program infotainment.  Kita bisa membayangkan bagaimana suasana psikologi penonton infotainment disaat berita Uje diapit oleh berita perceraian para artis, kehidupan glamour para artis,hedon yang hampir tak ada keteladanan didalamnya dalam satu episode tayang program infotainment. Dalam pola ini berkali-kali terjadi hampir dua pekan lamanya.  Hal ini menyebabkan makna kata “Artis” dengan kata “Ustazd” asosiasi maknanya menjadi sepadan secara sosilogis.  Yang terjadi adalah dekonstruksi makna “Ustazd” yang melekat didalamnya misi dakwah akidah, akhlak dan keteladanan.

Sayangnya, tidak semua media TV memiliki frame berfikir seperti ini dalam menyajikan program TV.  Yang ada hanyalah, stasiun TV hanya berlomba menjadi stasiun terfavorit dimata pemirsa yang ujung-ujungnya adalah akumilasi kapital.

Saya teringat, pada bulan Ramadhan beberapa waktu yang lalu saat Metro TV menyiarkan secara Live selama bulan Ramadhan figur Quraish Shihab dalam memaparkan Tafsir Al-Misbah-nya.  Pada suatu episode, salah seorang pemirsa di studio hendak bertanya kepada Quraish Shihab seputar tafsir ayat Al-Quran.  Quraish Shihab langsung menyela pembicaraan Si Penanya  tersebut saat ia menyapa Quraish Shihab dengan panggilan Ustazd.

“cukup sapa saya dengan sebutan Bapak.  Saya belum mampu dan tidak layak disapa dengan Ustazd..” demikian kurang lebih ungkap Pak Quraish.

Saya tercengang mendengar ucapan Pak Quraish.  Siapa yang tak mengenal Pak Quraish yang diakuai sebagai ulama Indonesia yang mahfum.  Memiliki kedalaman dan keluasan pengetahuan seputar Islam dan Al-Qur’an namun masih merasa belum pantas dan tidak layak untuk disapa sebagai Ustazd.  Saat itu, saya menangkap kesan dari Pak Quraish ada makna yang dalam dari kata Ustazd itu.  Ada misi, tanggung jawab, keteladanan dan kemuliaan akhlak yang melekat pada seorang yang disapa Ustazd.

Akhirnya, pada konteks Jefri Albuchori, saya tidak hendak menempatkan sakralitas makna Ustazd dalam eksklusifisme sempit seperti halnya para pendeta pada masa sebelum Renaisance di Eropa.  Seorang Ustazd memang selayaknya membumi dalam mengemban misi dakwahnya, tak hanya berbicara atas nama kitab suci.  Namun apa jadinya bangsa ini ketika makna “Ustazd” sudah sepadankan dengan “Artis” yang harus di-blow up di Infotainment kehidupan pribadinya seperti halnya para artis yang gemar kawin-cerai, hidup dalam dunia yang glamour, hura-hura dengan kemewahan dan hedonisme.

Siapa lagi yang bisa kita harapkan sebagai penjaga moral bangsa ini ketika meraka yang diklaim sebagai publik figur nyaman berkubang dalam kemaksiatan.  Saya hanya bisa berharap kepada mereka para Ustazd, Pendeta dan para biksu yang tak hanya bicara namun menunjukkan ke-istiqomah-an dan kebersahajaan di jalan Tuhan yang telah lama dirintis oleh para Nabi.


Darmaga IPB, 6 Mei 2013, Pukul 23.00.

0 komentar:

Posting Komentar