Masyarakat Indonesia begitu
tercengang mendengar berita bahwa Uje -begitu Jefri Albuchori biasa disapa-
wafat. Kita semua seolah tak percaya
dengan kabar itu. Betapa tidak
kematiannya begitu mendadak dan saban hari kita semua baru saja melihatnya
berdakwah di TV. Uje meninggal karena
kecelakaan tunggal pada Jum’at jam 2 dini hari,mengendarai sepeda motor setelah
pulang dari membawakan ceramah, aktivitasanya sehari-hari. Dari berita di media, penyebab kecelakaan Uje
akibat kelelahan dan mengantuk karena aktivitasnya dakwahnya yang padat. Ditambah lagi motor yang dikendarainya adalah
Kawasaki Ninja yang memang dikenal selalu ingin berlari kencang bila
dikendarai.
Sepekan lebih sudah Uje
meninggalkan kita, namun jemaahnya seolah masih saja tak percaya dan menyimpan
kenangan yang manis dan begitu dalam.
Bagi saya, Uje adalah sosok yang berhasil hijrah dari dunia yang
gelamour penuh hura-hura dan hedonisme kemudian memilih istiqomah di jalan
Tuhan tanpa harus meninggalkan hiruk-pikuk dunia. Masyarakat Indonesia nampaknya begitu
kehilangan. Ini terbukti saat ia
dishalatkan oleh ribuan jemaah di masjid Istiqlal. Menteri Agama RI, Surya Dharma Ali pun saat
memberikan sambutan setelah shalat Janazah, tak tahan berisak dan menitikkan
air mata saat ia berkata.
“kita semua begitu kehilangan Uje.
Saya tidak tahu, mengapa ada seorang anak muda yang begitu konsisten
dijalan dakwah”
Sayapun ikut merinding sekaligus
“terbakar” mendengar ucapan pak menteri itu dan tanpa sadar mata saya ikut
basah.
Kita bisa saja menampik bahwa
pantas saja banyak yang menyalatkan Uje karena saat itu setelah shalat Jum’at
dan di Masjid Istiqlal pula yang memang tak pernah sepi. Tetapi, bagi yang menyaksikan baik lewat live
di TV ataupun yang hadir di Istiqlal tentu akan merasakan aura yang
berbeda. Kemudian bukankah Rasulullah
telah berkata bahwa hari Jum’at itu adalah waktu yang dimuliakan untuk seseorang
yang meninggal dan mendapatkan keistimewaan tersendiri di kemudian hari.
Terlepas dari hal itu, bagi saya
Uje adalah sosok pendakwah bagi masyarakat urban. Ia sering digelari sebagai “Ustadz Gaul” karena kemampuannya
menyesuaikan diri dengan tipikal masyarakat urban dalam menyampaikan misi
dakwahnya. Uje begitu baik diterima oleh
kalangan orang muda, orang tua atau pun majelis taklim ibu-ibu. Ia memberikan perhatian lebih terhadap anak
muda karena ia tahu betul bagaimana posisi anak muda bagi keberlanjutan agama
dan negara. Terlebih lagi, Uje melewati
masa anak muda yang begitu suram dan berlumur maksiat. Namun, hidayah Allah membawa uje untuk
hijrah.
Ditengah hiruk-pikuk
metropolitan, Uje berhasil menyampaikan renungan yang begitu membatin bagi yang
mendengarnya melalui lagu, syair dan ceramahnya. Tak hanya lisan, dakwah bil
Hal juga Uje tempuh dengan menyambangi langsung jemaahnya dan menampilkan
kesederhanaan. Tidak berlebihan kiranya
jika Uje saya sebut sebagai “Sufi Kota” yang berhasil menghadirkan keheningan
renungan dalam keramaian dan keramaian ditengah renungan yang hening.
Re(de)konstruksi Makna Ustazd.
Tapi ada yang saya risaukan pasca
peninggalan Uje. Cara pemberitaan Uje di
beberapa media dapat memberikan kesan dan makna yang berbeda atas terminologi
“Ustazd”. Makna baru itu bisa mengarah
ke rekonstruksi bisa pula ke dekonstruksi.
Yang saya maksud disini adalah cara media TV mengemas berita kematian
dan sosok Uje. Kita bisa membandingkan
bagaimana stasiun TV yang berorientasi berita dengan stasiun TV yang
berorientasi infotainment dalam menampilkan sosok Uje. Yang walaupun kenyataannya dalam tinjauan
industri media, stasiun TV mem-blow up
berita seputar Uje hampir dua pekan lamanya untuk meningkatkan rating stasiun
TV atau program tertentu. Media termasuk
TV dengan kesadaran jurnalistiknya, sadar betul bahwa pasca kematian Uje berita
tentang Uje akan menjadi pilihan favorit penonton. Makanya tak heran, hampir 24 jam berita
tentang Uje menghiasi hampir seluruh stasiun TV.
Semua stasiun TV berupaya untuk
menampilkan berita live tentang Uje
karena psikologi para penontonpun seolah ingin menjadi orang pertama yang
mendapatkan berita terbaru tentang Uje.
Maka tentunya, penonton akan mencari stasiun TV yang memberitakannya
secara live. Mulai dari sejak bergulirnya informasi
kematian Uje, saat jenazah dishalatkan, lalu di hantar ke pemakaman sampai
suasana rumah duka dan keluarga semua ditayangkan oleh media TV secara Live.
Pemilihan narasumber juga menjadi strategi stasiun TV dalam menarik
perhatian penonton. Maka dicarilah kerabat, sahabat dan orang terdekat Uje
untuk diwawancarai. Pihak kepolisian
menjadi “seksi” untuk menjadi incaran media karena memiliki kapasitas dalam
menjelaskan kronologis kecelakaan yang merenggut nyawa Uje.
Sadar atau tidak sadar cara
pemberitaan media atas Uje tidak hanya berdampak terhadap pencitraan masyarakat
atas Jefri Albuchori. Tetapi bedampak terhadap pencitraan atas tokoh agama atau
juru dakwah Islam yang biasa kita sebut “Ustazd”. Hal ini dikarenakan sosok Jefri sudah tidak
dapat terpisahkan dengan konteks makna kata “Ustazd”. Implikasi makna ini juga dapat terdeterminasi
bagi siapa saja yang oleh masyarakt dipanggil sebagai Ustazd. Akibat pemberitaan tersebut makna “Ustazd”
kemudian bergeser ke cara pandang baru.
Buktinya, Jefri Albuchori tak hanya dilabeli Ustazd namun mengikut kata
“Gaul” setelah kata “Ustazd”. Kata
“Ustazd” dan kata “Gaul” memiliki konteks makna yang berbeda secara
sosiologis. Tentu saja, ini berimplikasi
besar bagaimana metodologi dalam berdakwah.
Lihat saja, berita yang berkaitan
kecelakaan dan kematian Uje serta terlebih contentnya Uje in memoriem dikemas dengan berbeda oleh stasiun TV. Stasiun TV yang berorientasi berita
mengemasnya dalam acara dialog dengan menghadirkan narasumber orang terdekat
Uje ataupun rekaman ceramahnya dan juga bagaimana napak tilas Uje dalam
berdakwah. Kemasan berita seperti ini menempatkan konteks makna Ustazd secara lebih
positif.
Tetapi ada pula stasiun TV
mengemasnya dalam bentuk program infotainment.
Kita bisa membayangkan bagaimana suasana psikologi penonton infotainment
disaat berita Uje diapit oleh berita perceraian para artis, kehidupan glamour
para artis,hedon yang hampir tak ada keteladanan didalamnya dalam satu episode
tayang program infotainment. Dalam pola ini berkali-kali terjadi hampir dua
pekan lamanya. Hal ini menyebabkan makna
kata “Artis” dengan kata “Ustazd” asosiasi maknanya menjadi sepadan secara
sosilogis. Yang terjadi adalah
dekonstruksi makna “Ustazd” yang melekat didalamnya misi dakwah akidah, akhlak
dan keteladanan.
Sayangnya, tidak semua media TV
memiliki frame berfikir seperti ini dalam menyajikan program TV. Yang ada hanyalah, stasiun TV hanya berlomba
menjadi stasiun terfavorit dimata pemirsa yang ujung-ujungnya adalah akumilasi
kapital.
Saya teringat, pada bulan
Ramadhan beberapa waktu yang lalu saat Metro TV menyiarkan secara Live selama bulan Ramadhan figur Quraish
Shihab dalam memaparkan Tafsir Al-Misbah-nya.
Pada suatu episode, salah seorang pemirsa di studio hendak bertanya
kepada Quraish Shihab seputar tafsir ayat Al-Quran. Quraish Shihab langsung menyela pembicaraan
Si Penanya tersebut saat ia menyapa
Quraish Shihab dengan panggilan Ustazd.
“cukup sapa saya dengan sebutan Bapak.
Saya belum mampu dan tidak layak disapa dengan Ustazd..” demikian
kurang lebih ungkap Pak Quraish.
Saya tercengang mendengar ucapan
Pak Quraish. Siapa yang tak mengenal Pak
Quraish yang diakuai sebagai ulama Indonesia yang mahfum. Memiliki kedalaman dan keluasan pengetahuan seputar
Islam dan Al-Qur’an namun masih merasa belum pantas dan tidak layak untuk
disapa sebagai Ustazd. Saat itu, saya
menangkap kesan dari Pak Quraish ada makna yang dalam dari kata Ustazd
itu. Ada misi, tanggung jawab,
keteladanan dan kemuliaan akhlak yang melekat pada seorang yang disapa Ustazd.
Akhirnya, pada konteks Jefri
Albuchori, saya tidak hendak menempatkan sakralitas makna Ustazd dalam
eksklusifisme sempit seperti halnya para pendeta pada masa sebelum Renaisance
di Eropa. Seorang Ustazd memang selayaknya
membumi dalam mengemban misi dakwahnya, tak hanya berbicara atas nama kitab
suci. Namun apa jadinya bangsa ini
ketika makna “Ustazd” sudah sepadankan dengan “Artis” yang harus di-blow up di Infotainment kehidupan
pribadinya seperti halnya para artis yang gemar kawin-cerai, hidup dalam dunia
yang glamour, hura-hura dengan kemewahan dan hedonisme.
Siapa lagi yang bisa kita
harapkan sebagai penjaga moral bangsa ini ketika meraka yang diklaim sebagai publik figur nyaman berkubang dalam
kemaksiatan. Saya hanya bisa berharap
kepada mereka para Ustazd, Pendeta dan para biksu yang tak hanya bicara namun
menunjukkan ke-istiqomah-an dan kebersahajaan di jalan Tuhan yang telah lama
dirintis oleh para Nabi.
Darmaga IPB, 6 Mei 2013, Pukul 23.00.
0 komentar:
Posting Komentar