Entri Populer

Pages

05 Mei, 2013

PEREMPUAN ½ ORIENTAL







“kejarlah ilmu sampai ke negeri Cina..”.  ungkapan yang sangat populis di kalangan orang muslim.  Bahkan saya pernah mendengar dari seorang ustadz bahwa ungkapan itu yang pertama mempopulerkannya adalah Rasulullah SAW yang kemudian banyak dikutip oleh pengikut Beliau dan para juru dakwah ketika mereka lagi seriusnya membahas tentang ilmu pengetahuan.   Jika seperti itu faktanya, ada hal yang agak megelitik benak saya, mengapa  negeri Cina yang harus disebut-sebut.  Bukan negeri Persia yang sudah memiliki peradaban yang sangat besar. 

Mengapa pula bukan negeri Yunani yang disebut-sebut yang dari dulu dikenal sebagai negeri pengetahuan, negeri yang banyak melahirkan banyak filsof dan nabi-nabi sosial, bahkan orang Yunani yang menemukan konsep pendidikan modern pertama.  Kata “sekolah” (school) berasal dari bahasa yunani “skolae” yang berarti waktu senggang, sebuah tradisi belajar bersama.  Orang Yunani pula yang pertama mendirikan institusi pendidikan, ya…Plato filsuf Yunani ituyang mendirikan Taman Akademos yang sekarang orang yang menggeluti ilmu pengetahuan disebut akademisi.  Atau mengapa bukan Romawi, negeri yang terkenal hebat dengan bala tentaranya seperti yang diceritakan dalam film Spartacus dan film-film lain.  Ada apa dengan negeri Cina…?

Lagaknya, ada hal khusus terhadap negeri Cina dan orang-orang Cina.  Faktanya,  disetiap negeri dibelahan bumi ini ada orang Cinanya.  Bahkan, hampir semua flim yang pernah ku tonton ada pemeran utama ataupun sekedar tokoh figuran yang berasal dari negeri Cina.  Seolah-olah orang Cina itu membatu kita menjawab ungkapan diatas.  Seolah-olah mereka hendak berkata :

“…tak perlulah engkau repot-repot mengocek isi kantungmu mendatangi negeri Cina, biarlah kami yang akan mendatangi negerimu.  Tunggu saja di rumahmu, kami akan datang mengetuk pintu-pintu rumahmu..”

Bagi orang-orang muslim, khususnya di Indonesia, Cina punya sejarah tersendiri.  Dalam penelusuran sejarah ada  4 versi masuknya Islam di Indonesia yakni pertama; dibawa oleh pedagang India dari Gujarat, kedua; dibawa oleh orang Persia, ketiga; dibawa oleh orang arab sendiri dan keempat; dibawa oleh orang-orang Cina yakni ketika 320 armada  laut China yang dipimpin Laksamana Cheng Ho (Ma He) bersama nakhkodanya Wang Ching Hong memasuki perairan nusantara.  

Laksamana Cheng Ho (Ma He) berhasil meng-Islamkan Raja Parameswara dari Melaka yang merupakan raja Melaka pertama yang memeluk agama Islam.  Sejak itu Parameswara mengganti namanya menjadi Sultan Iskandar Syah dan mengubah Melaka dari kerajaan Hindu menjadi kesultanan Islam. Sementara Wang Ching Hong dimakamkan di Semarang dikenal dengan sebutan Panembahan Dompu Awang atau Kiyai Juru Mudi setelah memutuskan pensiun dari pelayaran dan tinggal di Semarang bergabung dengan Sunan Bonang menyebarkan Islam di Jawa Tengah.  Di tempat pemakamannya kemudian berdiri Kelenteng  Sam Po Kong di kota Semarang. Wang Ching Hong terkenal  hafal Qur’an dan pandai berbahasa Arab dan Persia.


Saya kadang-kadang  terfikir untuk memplesetkan ungkapan terkenal itu dengan mengganti kata  “ilmu” dengan kata-kata yang lain.  Maaf saja ya..ini bukan untuk melecehkan Rasulullah SAW tapi membantu kita untuk mengungkap rahasia Cina dibalik kata-kata Rasulullah yang terkenal itu.  Kita mulai ya…!

“..kejarlah ekonomi sampai ke negeri Cina..”  Hmm..nampaknya saat ini Negara-negara di belahan Eropah dan AS tidak memandang Cina dengan sebelah mata namun sebagai negara dengan ekonomi yang kuat.  Hari ini Cina telah menjadi tidak hanya macan Asia tapi aumannya cukup berpengaruh di dunia.  Bersama Jepang memonopoli produk elektronik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

“…Kejarlah politik sampai ke negeri Cina..” . Teman-teman saya cenderung negative dengan karakter Cina.  Mereka mengasosiasikan kata “Cina” dalam politik praktis sebagai karakter yang licik, licin dan lihai dalam bermain.  kurang ajar, na cinai k..” istilah teman-teman di Makassar yang biasa kudengar.

“…kejarlah obat sampai ke negeri Cina..” . Wah,  saya jadi teringat dengan Film laga Cina  berjudul Once Upon a Last time In China dengan 3 serial berlanjut yang diperankan oleh Jet Li.  Jet Li sebagai tokoh utama yang berperan sebagai tokoh legendaries Cina yang pernah ada yakni Wong Fei Hung bukan saja mengusai bela diri Kung Fu dengan Tendangan Seribu Tanpa Bayangan sebagai jurus pamungkasnya tetapi juga mengusai ilmu kedokteran dan obat-obat tradisional Cina.  Pernah ketika saya menonton salah satu film serialnya ada adegan dimana para dokter seluruh dunia berkesempatan membuat semacam seminar di Cina dan seluruh peserta mempresentasikan pengetahuan medisnya.  Saat itu Wong Fei Hung berkesempatan mempresentasikan kapasitasnya.  Ia mempresentasikan pengobatan ala Cina, Akupuntur.  

Akupuntur adalah tekhnik pengobataan Cina dengan melakukan totok pada saraf dengan menggunakan jarum yang  telah disterilkan pada suhu tertentu.  Ia menampilkan serangkaian gambar organ tubuh manusia lengkap dengan susunan sarafnya.  Menurut Fei Hung, penyakit manusia diakibatkan oleh penyumbatan saraf dan dapat disembuhkan dengan melakukan tindakan pada saraf tersebut.  Ia juga memperkenalkan bahwa akupuntur dapat digunakan untuk operasi bedah tanpa menggunakan bahan anesthesia kimia.  Karena kendala bahasa, para peserta yang hadir dari belahan dunia tidak memahami apa yang disampaikan oleh Wong Fei Hung.  Disitulah Fei Hung berkenalan dengan Dr. Sun Yat Sen yang juga hadir dalam seminar itu.  

Tiba-tiba saja Yat Sen tampil menawarkan diri menjadi spokesman  Fei Hung. Fei Hung menerima kehormatan itu dengan senang hati.  Sementara Wong fei Hung mempresentasikan Akupuntur Tiba-tiba ada serangan dari pihak pemberontak dan melukai salah satu peserta yang hadir.  Nah, saat itulah Wong Fei Hung ahli pengobatan tradisional cina berkolaborasi dengan Dr. Sun Yat Sen dokter bedah jebolan Eropa.  Sun Yat Sen melakukan operasi bedah dengan menggunakan anesthesia akupuntur Wong Fei Hung.  

Saya melihat pesan dari adegan itu sebagai interaksi kebudayaan barat yang sarat modernisasi dengan kebudayaan cina yang sarat dengan kearifan lokal.
Ada teman yang pernah bilang ke saya “ kalau kamu sakit keras minum saja obat Cina, dijamin pasti yahut sekali minum langsung sembuh..”

Dari tadi saya terlalu bertele-tele membangun arguman.  Saya ingin memberikan ungkapan :

“..Kejarlah Perempuan sampai ke negeri Cina..”  Syukurlah saya tidak perlu lagi ke negeri cina.  Orang-orang cina telah mengetuk pinta rumahku bahkan perempuan Cina itu telah mengetuk pintu hatiku.
Ya perempuan itu keturunan Tiong Hoa, bangsa yang berkulit kuning dan bermata sipit. Lebih tepatnya sebenarnya ia adalah blesteran, campuran antara Buton dengan Tiong Hoa.  Bapaknya adalah Tiong Hoa dan Ibunya berdarah Buton.  Ia adalah perempuan ½ oriental.  Ia biasa di sapa Wa Mei-Mei.

Saya mengenanlnya belum saja terlalu lama itupun karena setengah di desak oleh seorang sahabat yang telah menetap di Buton yang lebih dahulu mengenalnya.  Kesan pertama pun tak terlalu istimewa, hanya via short Message Service (SMS) bahkan agak sedikit menjengkelkan.  Entah mengapa hati ini kemudian terdorong untuk mengenalnya lebih jauh. 

Secara fisik memang ras Tiong Hoa nya sangat nampak.  kulitnya kuning, rambutnya lurus hanya saja metanya telah bercampur dengan mata orang Buton sehingga tak sipit lagi.  Perempuan itu  pernah bercerita padaku, dulu ketika masih SMU ia biasa kesal karena ketika mata pelajaran agama Islam namanya tak kunjung dipanggil oleh guru. Dengan setengah protes dan kesal perempuan itu naik ke depan kelas dan berbicara pada guru itu

Pak Guru kenapa nama saya tidak dipanggil saya kan beragama Islam juga.”

Melihat kejadian itu teman sekelasnya dengan setengah berbisik berkata “Mei-Mei, aku kira kamu Kristen.  Pantas saja begitu mata mata pelajaran ini masuk kamu tidak keluar dari kelas”

huh..enak saja”.  Ia menimpali dalam hati

Bahkan yang lebih menghebohkan lagi –masih cerita Mei-Mei padaku-  ibunya datang mencak-mencak di SMU itu sewaktu Mei-Mei dinyatakan lulus dari SMU.  Mengapa tidak, dalam Surat Keterangan Kelakuan baik (SKKB) yang dikeluarkan oleh pihak sekolah menerangkan bahwa Mei-Mei beragama Kristen sementara Surat itu dibutuhkan Mei-Mei untuk melanjutkan studi dan dua hari lagi harus bertolak ke Jakarta.

Tanpa hendak mengeneralisir , seperti  itulah watak orang Indonesia dalam menilai sesuatu.  Penilaian selalu saja didasarkan hal yang tampak saja yang sifatnya permukaan.  Ditambah lagi orang Indonesia cenderung emosional ketika penilaiannya dibenturkan dengan penilaian orang lain.  Jadi jangan heran perkelahian massal dan konflik sosial biasanya hanya dipicu oleh hal-hal sepele.  Harusnya ada pihak yang bertanggung jawab untuk meng up-grade kapasitas dan pengetahuan masyarakat agar lebih dewasa dalam menyikapi persoalan.  Ya siapa lagi kalau bukan pemerintah.  Nyatanya..??

Saat ini Mei-Mei telah kuliah di salah satu universitas swasta Jakarta yang bercorak Islam dengan konsentrasi keilmuannya lebih spesifik mengkaji tentang Bank syariah.   Bahkan saat ini ia telah masuk dalam komunitas akhwat yang gandrung memakai jilbab menjulur sampai dibawah dada.  Untunglah ia masih mau bergaul denganku berbeda dengan akhwat-akhwat yang umumnya saya dapati.  Terus terang saja saya tidak terlalu sependapat dengan gaya beragama yang orang bilang fundamentalis.  Saya selalu berusaha bersikap transformatif terhadap dogma agama dengan tetap mempertahankan nilai-nilai di dalamnya.  

Sederhana kok saya dalam memetakan fenomena berIslam.  Indonesia itu bukan arab, arab itu  bukan Indonesia dan tak selamanya yang berbau arab adalah Islami.  Artinya akan berbeda secara kultural antara umat Islam di arab dengan umat Islam di Indonesia.  Yang jadi masalah, kita terkadang sulit bahkan tidak bisa membedakan antara kebudayaan Arab dengan nilai-nilai Islam yang teraktual dalam symbol  tertentu.  Sebagaimana di Indonesia, awal mula hadirnya Islam di Arab juga terjadi pertautan antara budaya Arab dengan Islam itu sendiri.  Jadi, pandai-pandailah memilah mana budaya Arab dan mana murni wujud Islam.

Terkadang pula kita terjebak dalam ruang simbol dan melupakan maknanya.  Atau yang paling sering terjadi berpegang teguh secara  taklid pada mazhab fiqih tertentu lalu mengkafirkan kelompok lain diluar mazhab fikihnya.  Bagi saya dahulukan akhlak ketimbang fiqh.  Bukankah fiqih adalah tafsir atas tafsir dari teks normatif.  Bukankah Rasulullah ditugaskan untuk meluruskan akidah (tauhid) dan akhlak bukan untuk meluruskan fiqih.  Maaf, saya bukanlah seorang a’lam terhadap Islam namun hanya seorang Islam biasa yang mencoba mempertautkan antara fakta dan ajaran.  Mungkin secara sosiologis sejalan dengan apa yang pernah diunggap Gus Dur bahwa “lebih baik minyak onta cap babi dari pada minyak babi cap onta”

Lantas gimana kelanjutan kisah perempuan Cina itu.  Ah ,sudahlah itu masa lalu.  Seberapapun berkuasanya wacana Cina dipentas realitas, faktanya adalah Cina tak berkuasa atas cintaku. Hatiku berhasil ditaklukkan dan dimenangkan oleh seorang perempuan luar biasa yang sama sekali tak berhubungan darah dengan Cina.  Ibunya Bugis-Makkassar dan ayahnya Jawa Solo dan dia sendiri lahir di Buton.   Namanya adalah Fira, perempuan yang oleh anak-anakku memanggilnya Ibu karena dari rahim sucinya melahirkan mereka.

Sekarang hasil ikatan suci kami melahirkan seorang putri cantik.  Buah hati, belahan jantung dan penyejuk pandangan mata kami, Qurrota ‘A’yun.  Namanya adalah Amirah.  Akh, nampaknya kisah selanjutnya sebaiknya dituliskan di judul lain yang tak berhubungan dengan Cina.  Hehehehe…,

Ditulis di Makassar,Jum’at 16 Januari 2009. Jam 10:28 WITA  s/d di Bogor ,Sabtu 4 Mei 2013 Jam 22.37 WIB.

0 komentar:

Posting Komentar