Entri Populer

Pages

25 April, 2015

BUMI YANG TERDESAK; Bag. 1




Bumi ini cukup  untuk memberi makan seluruh populasi manusia
Tapi tidak cukup memberi makan untuk seorang manusia rakus
~Mahatma Gandhi~



 JUDUL tulisan ini saya ambil dari salah satu judul buku lama yang terselip di rak buku. Judul aslinya adalah Consumption, Population and Sustainability; Perspective from Science and Religion yang di editori oleh oleh Audrey R Chapman, Rodney L. Petersen dan Barbara Smith-Moran.   Buku inipun kalau nggak salah saya belinya ditempat buku-buku loak dan bajakan.  Tapi saya jamin buku yang ini asli lho..,

Yah betul.,buku ini tentang lingkungan, atau tepatnya keresahan tentang lingkungan, tentang bumi kita, rumah besar tempat kita tinggal. Temanya tak ada yang baru tapi masih cukup up to date untuk menggambarkan kondisi lingkungan kekinian.  Memang cukup sulit untuk menemukan tema-tema baru seputar keresahan lingkungan karena dari dulu persoalan lingkungan tak kunjung  terselesaikan bahkan semakin pelik.  Kendati inovasi baru terkait penyelamatan bumi semakin gencar dilakukan, tapi seolah tak memberikan pengaruh yang “wah”.  Kerusakan masih saja terus terjadi.

Saya sangat tertarik dengan core issue buku ini. Yah., mungkin karena berkaitan dengan disiplin ilmu saya.  Tapi saya semakin tertarik lagi karena core issue tersebut berkaitan dengan tesis saya, daya dukung (carrying capasity) dari bumi kita.  Judulnya pun cukup metaforis dan provokatif untuk menggambarkan core issue nya.

Isu-isu lingkungan saat ini mulai mendapat perhatian serius dimata global (global warning).  Perhatian tersebut memuncak diawal dekade 80-an dengan mulai dicetuskannya KTT Bumi.  Namun lagi-lagi belum memberikan jalan keluar atas ketersesatan ekologi penduduk bumi dan obat mujarab bagi penyakit yang diderita bumi kita.

Daya dukung (carrying capasity) secara sederhana dimaknai sebagai kemampuan suatu lahan tertentu untuk menampung atau memberi kehidupan secara baik dan layak berdasarkan sumber daya yang dimilikinya.  Konsep ini menurut Soemarwoto (2003) awalnya digunakan untuk menghitung kapasitas optimal suatu padang rumput untuk menghidupi populasi ternak secara baik dan sehat.  Konsep daya dukung kemudian semakin berkembang sesuai dengan bidang penerapannya.  Dari sini lalu berkembang istilah daya tampung (assimilative capasity) dan daya lenting (resilience) untuk menjelaskan daya dukung secara lebih konprehensif.

Ilustrasi
Persoalan [Bumi] Kita
Daya dukung (carrying capasity) dalam banyak riset ekologi digunakan sebagai ukuran keberlanjutan ekosistem (ecosistem sustainability).  Kaitannya dengan keberlanjutan bumi kita, ada 3 masalah pelik yang tengah kita hadapi saat ini dalam taraf yang cukup akut, yaitu masalah tekanan penduduk (populasi), kebutuhan ruang tinggal dan ketersediaan sumberdaya.

Tahun 2013, PBB pernah merilis bahwa penduduk bumi kita telah mencapai 7,2 milyar dan akan terus tumbuh menjadi 8,1 milyar pada tahun 2025, lalu menjadi 9,6 milyar pada tahun 2050.  Prediksi tersebut semakin dipertegas oleh Dr Adrian Raftery, profesor statistik dan sosiologi di Universitas Washington, AS.  Bahkan diprediksi pada tahun 2100 jumlah penghuni dunia akan mencapai 11 milyar.,Woowww….!!!

Raftery menegaskan pentumbuhan penduduk dunia ini sangat nampak pada negara di benua Afrika, China dan India.  Hasil kalkulasinya ia menegaskan bahwa terdapat peluang 80 % populasi Afrika menjadi 3,5 sampai 5,1 milyar dipenghujung abad ini. Sedangkan populasi India dan China mencapai puncaknya hingga 5 milyar pada tahun 2050.  Peningkatan populasi manusia di bumi berbanding lurus dengan peningkatan penyebaran penyakit, kemiskinan, kriminalitas dan penyakit sosial lainnya.

Masalah ruang juga masalah yang cukup pelik akhir-akhir ini. Peningkatan jumlah populasi juga diikuti meningkatnya kebutuhan ruang tinggal yang layak. Problemnya adalah populasi penduduk merupakan sesuatu yang dinamis dimana ukurannya terus meningkat, sedangkan ruang adalah sesuatu yang statis, dimana ukuran bumi dari dulu tetap sejak adanya makhluk hidup.

Ilustrasi
Contoh kecil saja, sepasang pengantin baru setelah mengucap janji suci melalui ijab kabul lalu membeli rumah. Mereka sepakat rumahnya tak perlu besar asalkan penuh cinta di dalamnya. Cukup 2 kamar tidur 1 ruang tengah yang merangkap ruang tamu, ruang keluarga dan ruang makan sekaligus.  10 tahun kemudian telah hadir 3 pendatang baru hasil buah cinta mereka.  Kini rumah sederhana itu tak lowong lagi, terasa lebih sempit karena jumlah orang telah bertambah.  Cinta yang tadinya memenuhi ruang harus tergusur di depan pintu karena ada “konflik” ruang di dalam rumah.

Seperti itulah bumi kita hari ini.  Ruang bumi semakin terasa sesak karena populasi yang terus mendesak.  Belum lagi ulah manusia-manusia rakus yang merasa kebutuhannya tak pernah cukup kendati kantung dan rekeningnya sudah ber digit-digit.  Hutan terus saja dirambah, tegakan pohon dalam waktu singkat berganti menjadi tegakan tembok.  Pencemaran dimana-mana. Dulunya air dan udara adalah barang illith (bebas tak berharga), kini mulai menjadi barang mahal dan susah dicari.

Masalah pelik lainnya hari ini adalah terkait sumberdaya untuk keberlangsungan hidup.  Sumberdaya utama yang sangat mendesak adalah pangan dan energi.  Disatu sisi semakin banyak penduduk yang mebutuhkan pangan sehat, namun disisi lain lahan pertanian terus tergerus menjadi pemukiman dan mall.  Aneh juga rasanya, pertanian menjadi tidak digemari dan dipandang kolot oleh banyak orang.  Seolah mereka tak lagi makan nasi tapi makan batu dan tembok.

Ilustrasi
Terkait energi, penduduk bumi terlalu bergantung pada energi fosil yang tidak (dapat) terbarukan. Sementara cadangan energi fosil bumi semakin menipis.  Saya heran, di Indonesia saat BBM dinaikkan masyarakat marah dan demostrasi dimana-mana.  Belum lagi para politisi busuk “menggoreng” isu kenaikan BBM demi kepentingan pragmatisnya.

Menurut saya, problemnya bukan naiknya harga BBM tapi dampak kenaikan BBM dan  disiapkannya energi alternatif terbarukan dan ramah lingkungan.  Harga BBM memang harus naik untuk menggeser secara perlahan pola konsumsi energi masyarakat dari energi fosil ke energi alternatif terbarukan.  Sebut saja sebagai misal energi biomass, energi surya, panas bumi, energi air, angin dan samudera.  Di Indonesia energi-energi itu begitu melimpah hanya belum mendapat perhatian yang serius.

Bahkan untuk energi panas bumi Indonesia memiliki 40 % cadangan panas bumi dunia.  Betapa tidak wilayah nusantara dipenuhi gunung berapi.  Saat ini Indonesia melalui Pertamina tengah mengembangkan energi panas bumi di Sibayak (Sumatera Utara), Kamojang (Garut, Jawa Barat) dan Lahendong (Sulawesi Utara) dengan total kapasitas terpasang sebesar 162 MW.  Menurut saya ini inovasi cerdas untuk menjawab kebutuhan energi masa depan.

1 komentar: