Bumi ini cukup untuk memberi makan seluruh populasi manusia
Tapi tidak cukup
memberi makan untuk seorang manusia rakus
~Mahatma Gandhi~
JUDUL tulisan ini saya ambil dari
salah satu judul buku lama yang terselip di rak buku. Judul aslinya adalah Consumption,
Population and Sustainability; Perspective from Science and Religion yang
di editori oleh oleh Audrey R Chapman, Rodney L. Petersen dan Barbara
Smith-Moran. Buku inipun kalau nggak
salah saya belinya ditempat buku-buku loak dan bajakan. Tapi saya jamin buku yang ini asli lho..,
Yah betul.,buku ini tentang
lingkungan, atau tepatnya keresahan tentang lingkungan, tentang bumi kita,
rumah besar tempat kita tinggal. Temanya tak ada yang baru tapi masih cukup up
to date untuk menggambarkan kondisi lingkungan kekinian. Memang cukup sulit untuk menemukan tema-tema
baru seputar keresahan lingkungan karena dari dulu persoalan lingkungan tak kunjung
terselesaikan bahkan semakin pelik. Kendati inovasi baru terkait penyelamatan bumi
semakin gencar dilakukan, tapi seolah tak memberikan pengaruh yang “wah”. Kerusakan masih saja terus terjadi.
Saya sangat tertarik dengan core
issue buku ini. Yah., mungkin karena berkaitan dengan disiplin ilmu saya. Tapi saya semakin tertarik lagi karena core
issue tersebut berkaitan dengan tesis saya, daya dukung (carrying
capasity) dari bumi kita. Judulnya
pun cukup metaforis dan provokatif untuk menggambarkan core issue nya.
Isu-isu lingkungan saat ini mulai
mendapat perhatian serius dimata global (global warning). Perhatian tersebut memuncak diawal dekade
80-an dengan mulai dicetuskannya KTT Bumi.
Namun lagi-lagi belum memberikan jalan keluar atas ketersesatan ekologi
penduduk bumi dan obat mujarab bagi penyakit yang diderita bumi kita.
Daya dukung (carrying
capasity) secara sederhana dimaknai sebagai kemampuan suatu lahan tertentu
untuk menampung atau memberi kehidupan secara baik dan layak berdasarkan sumber
daya yang dimilikinya. Konsep ini
menurut Soemarwoto (2003) awalnya digunakan untuk menghitung kapasitas optimal suatu
padang rumput untuk menghidupi populasi ternak secara baik dan sehat. Konsep daya dukung kemudian semakin
berkembang sesuai dengan bidang penerapannya.
Dari sini lalu berkembang istilah daya tampung (assimilative
capasity) dan daya lenting (resilience) untuk menjelaskan daya
dukung secara lebih konprehensif.
Ilustrasi |
Persoalan [Bumi] Kita
Daya dukung (carrying
capasity) dalam banyak riset ekologi digunakan sebagai ukuran keberlanjutan
ekosistem (ecosistem sustainability).
Kaitannya dengan keberlanjutan bumi kita, ada 3 masalah pelik yang
tengah kita hadapi saat ini dalam taraf yang cukup akut, yaitu masalah tekanan
penduduk (populasi), kebutuhan ruang tinggal dan ketersediaan sumberdaya.
Tahun 2013, PBB pernah merilis
bahwa penduduk bumi kita telah mencapai 7,2 milyar dan akan terus tumbuh
menjadi 8,1 milyar pada tahun 2025, lalu menjadi 9,6 milyar pada tahun
2050. Prediksi tersebut semakin
dipertegas oleh Dr Adrian Raftery, profesor statistik dan sosiologi di
Universitas Washington, AS. Bahkan
diprediksi pada tahun 2100 jumlah penghuni dunia akan mencapai 11 milyar.,Woowww….!!!
Raftery menegaskan pentumbuhan
penduduk dunia ini sangat nampak pada negara di benua Afrika, China dan
India. Hasil kalkulasinya ia menegaskan
bahwa terdapat peluang 80 % populasi Afrika menjadi 3,5 sampai 5,1 milyar
dipenghujung abad ini. Sedangkan populasi India dan China mencapai puncaknya
hingga 5 milyar pada tahun 2050. Peningkatan
populasi manusia di bumi berbanding lurus dengan peningkatan penyebaran
penyakit, kemiskinan, kriminalitas dan penyakit sosial lainnya.
Masalah ruang juga masalah yang
cukup pelik akhir-akhir ini. Peningkatan jumlah populasi juga diikuti
meningkatnya kebutuhan ruang tinggal yang layak. Problemnya adalah populasi
penduduk merupakan sesuatu yang dinamis dimana ukurannya terus meningkat,
sedangkan ruang adalah sesuatu yang statis, dimana ukuran bumi dari dulu tetap
sejak adanya makhluk hidup.
Ilustrasi |
Contoh kecil saja, sepasang
pengantin baru setelah mengucap janji suci melalui ijab kabul lalu membeli
rumah. Mereka sepakat rumahnya tak perlu besar asalkan penuh cinta di dalamnya.
Cukup 2 kamar tidur 1 ruang tengah yang merangkap ruang tamu, ruang keluarga
dan ruang makan sekaligus. 10 tahun
kemudian telah hadir 3 pendatang baru hasil buah cinta mereka. Kini rumah sederhana itu tak lowong lagi,
terasa lebih sempit karena jumlah orang telah bertambah. Cinta yang tadinya memenuhi ruang harus tergusur
di depan pintu karena ada “konflik” ruang di dalam rumah.
Seperti itulah bumi kita hari
ini. Ruang bumi semakin terasa sesak
karena populasi yang terus mendesak. Belum
lagi ulah manusia-manusia rakus yang merasa kebutuhannya tak pernah cukup
kendati kantung dan rekeningnya sudah ber digit-digit. Hutan terus saja dirambah, tegakan pohon
dalam waktu singkat berganti menjadi tegakan tembok. Pencemaran dimana-mana. Dulunya air dan udara
adalah barang illith (bebas tak berharga), kini mulai menjadi barang
mahal dan susah dicari.
Masalah pelik lainnya hari ini
adalah terkait sumberdaya untuk keberlangsungan hidup. Sumberdaya utama yang sangat mendesak adalah
pangan dan energi. Disatu sisi semakin
banyak penduduk yang mebutuhkan pangan sehat, namun disisi lain lahan pertanian
terus tergerus menjadi pemukiman dan mall.
Aneh juga rasanya, pertanian menjadi tidak digemari dan dipandang kolot oleh
banyak orang. Seolah mereka tak lagi
makan nasi tapi makan batu dan tembok.
Ilustrasi |
Terkait energi, penduduk bumi
terlalu bergantung pada energi fosil yang tidak (dapat) terbarukan. Sementara
cadangan energi fosil bumi semakin menipis.
Saya heran, di Indonesia saat BBM dinaikkan masyarakat marah dan
demostrasi dimana-mana. Belum lagi para
politisi busuk “menggoreng” isu kenaikan BBM demi kepentingan pragmatisnya.
Menurut saya, problemnya bukan naiknya
harga BBM tapi dampak kenaikan BBM dan disiapkannya
energi alternatif terbarukan dan ramah lingkungan. Harga BBM memang harus naik untuk menggeser
secara perlahan pola konsumsi energi masyarakat dari energi fosil ke energi
alternatif terbarukan. Sebut saja
sebagai misal energi biomass, energi surya, panas bumi, energi air, angin dan
samudera. Di Indonesia energi-energi itu
begitu melimpah hanya belum mendapat perhatian yang serius.
Bahkan untuk energi panas bumi
Indonesia memiliki 40 % cadangan panas bumi dunia. Betapa tidak wilayah nusantara dipenuhi
gunung berapi. Saat ini Indonesia melalui
Pertamina tengah mengembangkan energi panas bumi di Sibayak (Sumatera Utara), Kamojang
(Garut, Jawa Barat) dan Lahendong (Sulawesi Utara) dengan total kapasitas
terpasang sebesar 162 MW. Menurut saya
ini inovasi cerdas untuk menjawab kebutuhan energi masa depan.
menarik narasinya kanda... ditunggu bagian ke 2 nya..
BalasHapus