Entri Populer

Pages

25 April, 2015

BUMI YANG TERDESAK; Bag. 2

Menemukan jalan keluar

Manusia sedang menggali liang kuburnya sendiri. Tak lagi perlahan dan juga pasti. Cukup sering kita melihat kerusakan lingkungan dimana-mana. Sejumlah gejala dan perubahan alam tak lagi terjadi secara alami tapi dipicu oleh ulah manusia. Banjir, tanah longsor, kekeringan, badai dan serangan hama pertanian acap kali kita dengar bahkan mungkin tengah kita rasakan saat ini.  Pemanasan global (global warming) telah melelehkan es dikutub dalam waktu singkat.  Pulau-pulau kecil terancam tenggelam, banyak biota laut terancam punah.  Manusia tak hanya sedang menggali liang kuburnya, tapi sedang menciptakan kiamatnya sendiri, secara perlahan dan pasti.
 
Ilustrasi
Tentu kita tak boleh tinggal diam.  Kita semua harus bersikap karena rumah kita sedang terancam, bumi tempat kita tinggal sedang terguncang.  Bumi yang indah ini sedang terdesak dan ibarat bom, sewaktu-waktu dapat meledak dahsyat.  Kita semua harus bisa menemukan jalan keluar dari keterdesakan ini.

But how..? gimana caranya..?

Telah cukup lama para pemikir, akademisi dan orang pintar merumuskan ini. Namun belum ada formula yang jitu.  Robert Malthus (1798) pernah mengungkapkan kepesimisannya tentang keberlanjutan bumi dimasa depan.  Malthus mengungkapkan bahwa ada hubungan dinamis antara populasi penduduk dengan ketersediaan pangan, dimana populasi bertambah dengan prinsip deret ukur sedangkan pangan bertambah dengan logika deret hitung.  Hingga pada akhirnya akan terjadi kelangkaan (scarcity) sumberdaya.  Terlebih lagi alam ini mengalami kecenderungan penurunan produktivitas seiring waktu yang disebut diminishing return.

Kelompok Malthusian yang ekstrim berpendapat bahwa bencana alam, peperangan dan wabah penyakit menjadi solusi untuk menghindari kepunahan bumi karena populasi manusia berkurang dengan massif.  Bahkan kalau perlu peperangan dan wabah tersebut di create untuk mengurangi beban bumi atas populasi manusia.  Saya (kita) tentu tidak setuju dengan jalan keluar yang dirumuskan oleh kelompok Malthusian ektrim itu.  Masa memperjuangkan hak-hak kemanusiaan dengan cara yang tidak manusiawi dan mengorbankan manusia pula.

Ilustrasi
Kelompok Ricardian menjawabnya dengan solusi ekonomi.  Ketersediaan sumberdaya dipicu dengan mendorong produktivitas bumi (lahan).  Alam ini dipandang sebagai mesin pertumbuhan (engine of growth) untuk menghasilkan sumberdaya. Inovasi teknologi menjadi variabel penting disini untuk memicu pertumbuhan.  Namun nyatanya, para ekonomlah yg selama ini menjadi pelaku utama degradasi alam.

Belakangan kelompok ini terlihat mulai “insaf” dengan melekatkan label “hijau” dalam proses produksinya.  Maka muncullah jargon ekonomi hijau, ekonomi pencemaran, industri hijau ataupun jargon lain yang seolah begitu sensitif dan peduli terhadap lingkungan. Saya dan kita boleh curiga dong dengan jargon itu.  Mengapa tidak, mempersandingkan dua istilah yang paradoks yakni “ekonomi” dan “hijau” (ekologi) menjadi terasa aneh.  Dimana nyambungnya yang satu sarat eksploitasi yang satu sarat konservasi, yang satu sarat merusak sedang satunya sarat memperbaiki dan menjaga. Aneh kan..?

Atau istilah ekonomi pencemaran dan istilah industri hijau.  Katanya, pada proses produksi sebuah industri harus menghitung biaya pencemaran atau biaya ekternalitas.  Biaya ini harus disiapkan untuk menanggulangi pencemaran yang timbul akibat aktivitas industri.  Saya hanya merasa janggal saja.  Saya menangkap kesan seolah pencemaran itulah adalah hal yang “disengaja” atau “mutlak” adanya dalam industri, cukup ditangani dengan menyediakan biaya pencemarannya.  Lagi pula betulkah biaya pencemaran itu ditanggung oleh industri.  saya sih kurang yakin, karena begitu biaya pencemaran masuk dalam input produksi maka output berupa produk industri sampai di pasaran harganya menjadi lebih mahal.  Jadi secara tidak langsung konsumenlah yang menanggung biaya pencemaran itu.  Hhhmmm.,capek dech….!!

Mohon maaf, makin kebelakang tulisan ini terkesan menjadi sinis.  Sekali lagi, mohon maaf tak ada niat untuk menjelek-jelekkan.  Mungkin ini hanya luapan perasaan atas traumatik ekologi yang terasa begitu pekat. Telah begitu lama terasa, jauh sebelum saya dilahirkan di muka bumi. Atau saya hentikan saja tulisan yang bernada sinis ini takut malah menjadi dosa dan fitnah.

Ilustrasi
Saya tak hendak menjadi  sok pahlawan dan idealis dengan bahasa yang rada kritis.  Ataupun merasa sok cerdas dengan menemukan solusi yang baik atas problem bumi kita hari ini.  Namun, saya memiliki satu keyakinan bahwa Tuhan menciptakan manusia dan alam ini dengan tujuan yang baik.  Manusia dan alam dicipta ibarat saudara kembar dengan postur dan substansi yang sama, saling mengisi satu sama lain. Jika alam dan manusia dicipta atas tujuan baik, maka alam dan manusia itu merupakan manifestasi kebaikan secara aktif dan kontinyu.

Dalam doktrin ekologi menegaskan bahwa alam ini, bumi yang kita pijak ini merupakan satu sistem ekologi yang saling terkoneksi yang disebut dengan ekosistem.  Entitas-entitas dalam ekosistem itu saling mempengaruhi satu sama lain secara fungsional, sehingga jika satu intensitas terganggu maka dapat menggangu sistem fungsi secara keseluruhan.  Ekosistem bumi ini juga memiliki sistem yang otomatis untuk memperbaiki (to improve).  Oleh Tuhan telah disiapkan bahwa alam memiliki daya untuk memperbaiki elemen-elemen yang rusak dan bertahan dari benturan dan tekanan.  Ini yang disebut dengan daya lenting (resilince).

Jika alam memiliki daya atau mekanisme seperti ini maka manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling paripurna tentu juga memiliki sistem yang sama.  Bahkan mungkin lebih canggih. 

Lalu apa daya atau mekanisme itu dalam diri manusia..??

Sebelum kita menjawabnya, saya ingin mengungkapkan keyakinan saya yang lain.  Fenomena dan perubahan alam yang kita sebut sebagai bencana yang terjadi saat ini bukanlah kejadian biasa secara alami.  Namun lebih dipicu oleh aktivitas manusia atau sebagai dampak interaksi eksploitatifnya terhadap alam. Karena bencana itu dipicu oleh manusia maka saya kurang sepakat jika menyebutnya sebagai bencana alam.  Atau tepatnya banjir, tanah longsor, kemarau panjang, badai, global warning, parahnya hama pertanian dan sejenisnya adalah bencana kemanusiaan, bukan bencana alam.

Kaitannya dengan pertanyaan diatas, menurut saya ada daya atau mekanisme to improve dalam diri manusia berada pada mode non active sehingga bencana kemanusiaan itu terjadi.  Teori Minimum Liebig mengatakan bahwa produktivitas sebuah sistem sangat ditentukan oleh elemen paling lemah dari sistem itu.  Dan menurut saya elemen paling lemah dari sistem kemanusiaan kita adalah elemen moralitas, etis, mentalitas ataupun sejenisnya. Akibatnya produktivitas kita berakhir dengan destruktive dan bencana.

Nampaknya kita sudah terlampau lama terhempas jauh dari nilai-nilai kerifan yang selama ini diajarkan oleh nenek moyang kita dan kitab suci kita. Diri kita terlalu menuruti hasrat ingin memiliki dan menguasai yang kita sendiri tidak tahu dimana batasnya.  Kata “cukup” seolah tak ada sisi pinggirnya. Buktinya, nenek moyang kita lebih berhasil menjaga alam ini ketimbang kita dan berhasil menjaga warisan itu dengan baik hingga sampai pada kita hari ini.

Bisa jadi kita telah keliru dalam mengambil tindakan penyelamatan lingkungan, karena sesungguhnya bukan alam lah yang rusak tapi kemanusiaan kitalah yang sedang tergerus dan terdegradasi.  Bukan alam yang harus dikonservasi dan direhabilitasi tapi kemanusiaan kitalah yang harus dikonservasi dan direhabilitasi. 

Ilustrasi
Telah sejak lama nenek moyang kita dan para nabi melalui kitab sucinya mengingatkan pesan-pesan moril ini, tapi sayang kita cenderung abai terhadapnya.  Kitab-kitab itu kita hafalkan dengan baik tapi tak mengejawantah dalam tingkah dan laku kita.  Jika kita tidak membuang sampah disembarang tempat dan tidak menembang sembarang pohon mungkin tak ada laut dan sungai yang tercemar.  Tidak ada longsor yang terjadi, banjir juga tak seheboh dan sedahsyat seperti sekarang ini.

Sejarah kemanusiaan kita membuktikan, saat kemanusiaan kita hampir tergerus habis maka akan datang “nabi” baru sebagai juru selamat.  Mungkin sudah waktunya “nabi” baru itu hadir ditengah-tengah kita.  “Nabi” baru yang hadir dalam bentuk pemimpin yang menginspirasi kita.

Sudah terlalu lama kepemimpinan dipegang oleh para politisi, ekonom bahkan akademisi.  Namun ternyata mereka telah membuktikan bahwa mereka gagal menginspirasi kita.  Atau mungkin sudah waktunya tokoh agamawan,budayawan dan seniman yang selama ini memahami, menyatu dan penjaga moral menjadi pemimpin kita.

Atau bisa jadi tak ada yang pantas dari kita yang menjadi pemimpin dan pewaris bumi sampai betul-betul tidak abai terhadap kemanusiaan kita sendiri.  Asal jangan sekali-kali mengatakan bahwa Tuhan telah lama meninggalkan kita dan bumi yang kita pijak ini.


Bogor, 24 April 2015
Masih dalam suasana Hari Bumi.





 

0 komentar:

Posting Komentar