Menemukan jalan keluar
Manusia sedang menggali liang kuburnya
sendiri. Tak lagi perlahan dan juga pasti. Cukup sering kita melihat kerusakan
lingkungan dimana-mana. Sejumlah gejala dan perubahan alam tak lagi terjadi
secara alami tapi dipicu oleh ulah manusia. Banjir, tanah longsor, kekeringan, badai
dan serangan hama pertanian acap kali kita dengar bahkan mungkin tengah kita
rasakan saat ini. Pemanasan global (global
warming) telah melelehkan es dikutub dalam waktu singkat. Pulau-pulau kecil terancam tenggelam, banyak
biota laut terancam punah. Manusia tak
hanya sedang menggali liang kuburnya, tapi sedang menciptakan kiamatnya
sendiri, secara perlahan dan pasti.
Ilustrasi |
Tentu kita tak boleh tinggal
diam. Kita semua harus bersikap karena
rumah kita sedang terancam, bumi tempat kita tinggal sedang terguncang. Bumi yang indah ini sedang terdesak dan
ibarat bom, sewaktu-waktu dapat meledak dahsyat. Kita semua harus bisa menemukan jalan keluar
dari keterdesakan ini.
But how..? gimana caranya..?
Telah cukup lama para pemikir,
akademisi dan orang pintar merumuskan ini. Namun belum ada formula yang jitu. Robert Malthus (1798) pernah mengungkapkan
kepesimisannya tentang keberlanjutan bumi dimasa depan. Malthus mengungkapkan bahwa ada hubungan
dinamis antara populasi penduduk dengan ketersediaan pangan, dimana populasi
bertambah dengan prinsip deret ukur sedangkan pangan bertambah dengan logika
deret hitung. Hingga pada akhirnya akan
terjadi kelangkaan (scarcity) sumberdaya. Terlebih lagi alam ini mengalami
kecenderungan penurunan produktivitas seiring waktu yang disebut diminishing
return.
Kelompok Malthusian yang ekstrim
berpendapat bahwa bencana alam, peperangan dan wabah penyakit menjadi solusi untuk
menghindari kepunahan bumi karena populasi manusia berkurang dengan
massif. Bahkan kalau perlu peperangan
dan wabah tersebut di create untuk mengurangi beban bumi atas populasi
manusia. Saya (kita) tentu tidak setuju
dengan jalan keluar yang dirumuskan oleh kelompok Malthusian ektrim itu. Masa memperjuangkan hak-hak kemanusiaan
dengan cara yang tidak manusiawi dan mengorbankan manusia pula.
Ilustrasi |
Kelompok Ricardian menjawabnya
dengan solusi ekonomi. Ketersediaan sumberdaya
dipicu dengan mendorong produktivitas bumi (lahan). Alam ini dipandang sebagai mesin pertumbuhan
(engine of growth) untuk menghasilkan sumberdaya. Inovasi teknologi menjadi
variabel penting disini untuk memicu pertumbuhan. Namun nyatanya, para ekonomlah yg selama ini
menjadi pelaku utama degradasi alam.
Belakangan kelompok ini terlihat
mulai “insaf” dengan melekatkan label “hijau” dalam proses
produksinya. Maka muncullah jargon
ekonomi hijau, ekonomi pencemaran, industri hijau ataupun jargon lain yang
seolah begitu sensitif dan peduli terhadap lingkungan. Saya dan kita boleh
curiga dong dengan jargon itu. Mengapa tidak,
mempersandingkan dua istilah yang paradoks yakni “ekonomi” dan “hijau”
(ekologi) menjadi terasa aneh. Dimana nyambungnya
yang satu sarat eksploitasi yang satu sarat konservasi, yang satu sarat merusak
sedang satunya sarat memperbaiki dan menjaga. Aneh kan..?
Atau istilah ekonomi pencemaran
dan istilah industri hijau. Katanya, pada
proses produksi sebuah industri harus menghitung biaya pencemaran atau biaya
ekternalitas. Biaya ini harus disiapkan
untuk menanggulangi pencemaran yang timbul akibat aktivitas industri. Saya hanya merasa janggal saja. Saya menangkap kesan seolah pencemaran itulah
adalah hal yang “disengaja” atau “mutlak” adanya dalam industri, cukup ditangani
dengan menyediakan biaya pencemarannya. Lagi
pula betulkah biaya pencemaran itu ditanggung oleh industri. saya sih kurang yakin, karena begitu biaya
pencemaran masuk dalam input produksi maka output berupa produk industri sampai
di pasaran harganya menjadi lebih mahal.
Jadi secara tidak langsung konsumenlah yang menanggung biaya pencemaran
itu. Hhhmmm.,capek dech….!!
Mohon maaf, makin kebelakang
tulisan ini terkesan menjadi sinis. Sekali
lagi, mohon maaf tak ada niat untuk menjelek-jelekkan. Mungkin ini hanya luapan perasaan atas
traumatik ekologi yang terasa begitu pekat. Telah begitu lama terasa, jauh
sebelum saya dilahirkan di muka bumi. Atau saya hentikan saja tulisan yang
bernada sinis ini takut malah menjadi dosa dan fitnah.
Ilustrasi |
Saya tak hendak menjadi sok pahlawan dan idealis dengan bahasa yang rada
kritis. Ataupun merasa sok cerdas dengan
menemukan solusi yang baik atas problem bumi kita hari ini. Namun, saya memiliki satu keyakinan bahwa Tuhan
menciptakan manusia dan alam ini dengan tujuan yang baik. Manusia dan alam dicipta ibarat saudara
kembar dengan postur dan substansi yang sama, saling mengisi satu sama lain. Jika
alam dan manusia dicipta atas tujuan baik, maka alam dan manusia itu merupakan
manifestasi kebaikan secara aktif dan kontinyu.
Dalam doktrin ekologi menegaskan
bahwa alam ini, bumi yang kita pijak ini merupakan satu sistem ekologi yang
saling terkoneksi yang disebut dengan ekosistem. Entitas-entitas dalam ekosistem itu saling
mempengaruhi satu sama lain secara fungsional, sehingga jika satu intensitas
terganggu maka dapat menggangu sistem fungsi secara keseluruhan. Ekosistem bumi ini juga memiliki sistem yang
otomatis untuk memperbaiki (to improve).
Oleh Tuhan telah disiapkan bahwa alam memiliki daya untuk memperbaiki
elemen-elemen yang rusak dan bertahan dari benturan dan tekanan. Ini yang disebut dengan daya lenting (resilince).
Jika alam memiliki daya atau mekanisme
seperti ini maka manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling paripurna tentu juga
memiliki sistem yang sama. Bahkan mungkin
lebih canggih.
Lalu apa daya atau mekanisme itu
dalam diri manusia..??
Sebelum kita menjawabnya, saya
ingin mengungkapkan keyakinan saya yang lain.
Fenomena dan perubahan alam yang kita sebut sebagai bencana yang terjadi
saat ini bukanlah kejadian biasa secara alami.
Namun lebih dipicu oleh aktivitas manusia atau sebagai dampak interaksi
eksploitatifnya terhadap alam. Karena bencana itu dipicu oleh manusia maka saya
kurang sepakat jika menyebutnya sebagai bencana alam. Atau tepatnya banjir, tanah longsor, kemarau
panjang, badai, global warning, parahnya hama pertanian dan sejenisnya
adalah bencana kemanusiaan, bukan bencana alam.
Kaitannya dengan pertanyaan
diatas, menurut saya ada daya atau mekanisme to improve dalam diri
manusia berada pada mode non active sehingga bencana kemanusiaan itu
terjadi. Teori Minimum Liebig
mengatakan bahwa produktivitas sebuah sistem sangat ditentukan oleh elemen
paling lemah dari sistem itu. Dan menurut
saya elemen paling lemah dari sistem kemanusiaan kita adalah elemen moralitas,
etis, mentalitas ataupun sejenisnya. Akibatnya produktivitas kita berakhir
dengan destruktive dan bencana.
Nampaknya kita sudah terlampau
lama terhempas jauh dari nilai-nilai kerifan yang selama ini diajarkan oleh
nenek moyang kita dan kitab suci kita. Diri kita terlalu menuruti hasrat ingin
memiliki dan menguasai yang kita sendiri tidak tahu dimana batasnya. Kata “cukup” seolah tak ada sisi pinggirnya. Buktinya,
nenek moyang kita lebih berhasil menjaga alam ini ketimbang kita dan berhasil
menjaga warisan itu dengan baik hingga sampai pada kita hari ini.
Bisa jadi kita telah keliru dalam
mengambil tindakan penyelamatan lingkungan, karena sesungguhnya bukan alam lah
yang rusak tapi kemanusiaan kitalah yang sedang tergerus dan terdegradasi. Bukan alam yang harus dikonservasi dan
direhabilitasi tapi kemanusiaan kitalah yang harus dikonservasi dan
direhabilitasi.
Ilustrasi |
Telah sejak lama nenek moyang
kita dan para nabi melalui kitab sucinya mengingatkan pesan-pesan moril ini,
tapi sayang kita cenderung abai terhadapnya.
Kitab-kitab itu kita hafalkan dengan baik tapi tak mengejawantah dalam
tingkah dan laku kita. Jika kita tidak
membuang sampah disembarang tempat dan tidak menembang sembarang pohon mungkin
tak ada laut dan sungai yang tercemar. Tidak
ada longsor yang terjadi, banjir juga tak seheboh dan sedahsyat seperti
sekarang ini.
Sejarah kemanusiaan kita
membuktikan, saat kemanusiaan kita hampir tergerus habis maka akan datang “nabi”
baru sebagai juru selamat. Mungkin sudah
waktunya “nabi” baru itu hadir ditengah-tengah kita. “Nabi” baru yang hadir dalam bentuk pemimpin
yang menginspirasi kita.
Sudah terlalu lama kepemimpinan
dipegang oleh para politisi, ekonom bahkan akademisi. Namun ternyata mereka telah membuktikan bahwa
mereka gagal menginspirasi kita. Atau mungkin
sudah waktunya tokoh agamawan,budayawan dan seniman yang selama ini memahami,
menyatu dan penjaga moral menjadi pemimpin kita.
Atau bisa jadi tak ada yang
pantas dari kita yang menjadi pemimpin dan pewaris bumi sampai betul-betul
tidak abai terhadap kemanusiaan kita sendiri.
Asal jangan sekali-kali mengatakan bahwa Tuhan telah lama meninggalkan kita
dan bumi yang kita pijak ini.
Bogor, 24 April 2015
Masih dalam suasana Hari Bumi.
0 komentar:
Posting Komentar