Anak Nelayan Kolagana |
Matanya awas tajam menatap hamparan samudra. Kulitnya yang legam
menandakan betapa akrabnya Ia dengan dunianya,laut. Baginya hamparan samudra biru adalah
bentangan sejuta harapan. Sesekali ia
duduk diatas ujung sampannya sembari melepas pandanganya ke arah samudra. Mungkin saja dalam benaknya ia sedang membuat
perhitungan dengan sang samudra. Lalu
keceriaan kembali merajainya saat teman-temannya menyapa untuk kembali bermain
disela-sela membantu kesibukan orang tuanya yang membudidayakan rumput
laut. Sekelompok anak nelayan Kolagana
usia 4-7 tahun telah terbiasa dengan hempasan air laut dan cadasnya batu
karang.
Beberapa waktu yang lalu bersama keluarga saya pergi melihat kebun
almarhum kakek saya di Kolagana. Letak
kebun itu tepat dekat laut,luasnya beberapa hektar namun agak landai. Sayang kebun itu hampir tak terurus sama
sekali. Saya membayangkan di kebun itu
dibangun villa dan pemandaangannya langsung menjorok ke laut. Hanya saja investasinya pasti sangat besar.
Tak jauh dari situ, ada sebuah sumur tepat dibibir pantai. Anehnya menurut penduduk setempat yang lagi
hendak mencuci dan mengambil air minum,air sumur tersebut rasanya tawar dan
langsung bisa diminum tanpa dimasak.
Sumur itu menjadi sumber utama untuk memenuhi kebutuhan air minum warga
Kolagana. Sumur itu menjadi oase bagi warga ditengah tandus dan teriknya alam
Kolagana. Setiap hari warga datang
berbondong-bondong lalu mencari posisi strategis disekitar sumur untuk
melakukan sebagian ritual rumah tangga.
Apa lagi kalau bukan mandi, mencuci dan mengangkut air untuk dibawa
pulang ke rumah. Anak-anak merekapun tak
ketinggalan. Setelah puas bermain sampan di laut, bergegas ke sumur untuk membilasl
badan mengusir rasa asin yang melekat.
Paman saya begitu akrabnya menyapa setiap warga yang ia temui. Sesekali mereka bercanda dan saling mengejek
menggunakan bahasa yang tidak saya mengerti.
Menurut cerita paman saya bahwa penduduk Kolagana ini semua adalah orang
Baruta. Sejak dulu orang Baruta bermigrasi
ke Kolagana dan berkebun. Rupanya tepat
di depan Kolagana adalah Baruta,hanya berjarak kurang lebih 500 meter
dipisahkan oleh selat Buton. Selat
inilah yang setiap harinya dilalui oleh kapal cepat menuju raha dan Kendari. Bahkan kapal PELNI yang berukuran kecil
melalui selat itu ketika hendak merapat ke Pelabuhan Murhum Baubau. Menurut informasi,kendati sempit selat di
depan Baruta itu sangat dalam. Menurut
cerita Ibu saya, Paman saya itu waktu kecil biasa berenang dari Baruta ke Kolagana
untuk pergi sekolah.
Dari bahasa yang mereka gunakan sehari-hari, nampaknya termasuk dalam
rumpun bahasa Pancana. Rumpun bahasa ini
tersebar hampir disetiap pinggiran Pulau Buton dan hampir seluruh bagian Pulau
Muna dengan beragam dialek dan beberapa kosa kata dengan fonologi yang agak
berbeda. Mereka terkenal sebagai pelaut
yang ulung untuk menangkap hasil laut ataupun berdagang. Makanya saat ini banyak dari mereka menetap
dan berdagang di daerah timur nusaantara sana.
Dalam sebuah catatan yang pernah saya baca bahwa rumpun Pancana ini jauh
lebih dulu datang menempati pulau Buton sebelum datangnya Mia Patamiana dari
Johor itu.
Nampaknya cukup beralasan ketika antropolog Pelras dari hasil
penelitiannya memasukkan bangsa Buton sebagai salah satu dari lima bangsa
maritim di Nusantara. Empat bangsa yang
lain adalah Bajo, Makassar, Mandar dan Madura.
*************
Anak-anak nelayan Kolagana itu masih terus bermain dengan senyum
lugunya. Mereka hanya mengenal dunia
laut. Mereka belum tau bahwa disekitar
mereka tangan-tangan tak kelihatan (invisible
hand) telah lama bergerak mengeksploitasi sumber daya alam. Tak jarang tangan-tangan tak kelihatan itu
berselingkuh dengan kekuasaan saling bertanam saham dan berbagi laba. Mereka (mungkin saja) belum sadar bahwa zaman
berlari dengan kencangnya digerakkan oleh motor ke-modern-an. Geliat zaman begitu cepat, dalam hitungan
detik dunia terus berubah.
Apakah yang akan terjadi pada anak-anak nelayan Kolagana itu
nantinya? Tak mungkin ke-edan-an dunia
dijawab dengan ke-lugu-an.
Entahlah..,mungkin mereka akan tenang-tenang saja selama sumur mereka tak
diganggu, orang tua mereka masih bisa membudidayakan rumput laut dan mereka
masih bisa bermain sampan di laut Kolagana yang Biru.
Baubau, 2 September 2010
Jam 13:20 WITA.
0 komentar:
Posting Komentar