Malam ini, menjelang Hari Raya Idul Adha, saya duduk
terdiam setelah menunaikan shalat Isya.
Ada perasaan yang luar biasa yang mengisi penuh rongga dada. Nafas ini naik turun mengikuti suara takbir
yang sayup-sayup terdengar. Sejenak saya
khusyuk dalam kesadaran imanen yang sulit utuk saya rasionalkan. Gemericik air
hujan yang tak deras menambah pekatnya perasaan itu.
Mungkin saya terbawa suasana saja. Suasana sepi tanpa sanak keluarga dan kerabat
di sisi saat menjelang hari raya Idul Adha.
Setahun silam memang saya merayakannya di rumah kost ini. Hanya saja,terasa lebih ramai dan riang
karena bersama kawan-kawan sekost-seperjuangan.
Namun mereka beberapa hari yang lalu memutuskan untuk pulang kampung,
Makassar. Mereka berhari raya disana.
Mungkin keceriaan dan aura spritualitas hari raya yang
selama ini saya rasakan tidak semata berangkat dari kedalaman menghayati makna
kemenangan hari raya. Mungkin lebih
dipicu oleh tradisi yang mengiringi menjelang dan saat hari raya tiba.
Di kampung saya di Buton, seperti halnya
kampung-kampung lain, memiliki cara tersendiri untuk merayakan hari raya (Idul
Fitri dan Idul Adha). Selain kumandang
takbir, tahmid dan tahlil yang menggema, berbagai hal juga dipersiapkan. Mulai dari aneka panganan dan masakan khas,
minuman segar dan manis serta aneka macam gula-gula. Semua nampak semakin tertata rapi dan indah diatas meja karena
dihiasi garnis indah. Yammy.,sungguh
sajian itu menggugah selera.
Tak hanya itu, semua nampak terkesan baru. Rumah tertata dengan desain perabot baru, cat
dinding terlihat baru, di jendela nampak tergantung korden baru, vas yang
berisi bunga indahpun menghiasi sudut rumah.
Tak hanya itu, semua juga mengenakan pakaian serba baru. Sebetulnya tak
ada yang baru, namun rumah ditata dengan cara yang berbeda saja.
Tak hanya itu, hari raya juga baik Idul Fitri maupun
Idul Adha mampu menggerakkan hampir semua penduduk kota untuk berpindah pulang
kampung ke desa lalu kembali lagi ke kota hanya dalam kurun waktu beberapa
hari. Hari raya seolah identik dengan
panggilan untuk pulang kampung, sehingga tidak absah rasanya merayakan hari
raya jika tidak berkumpul dengan sanak saudara di tanah kampung tercinta.
Mungkin begitulah sebagian besar dari kita merayakan
dan memaknai kemenangan di hari raya.
Namun idul adha kali ini saya jauh dari suasana itu. Saya hanya duduk terdiam setelah shalat Isya.
Nafas ini naik turun mengikuti suara takbir yang sayup-sayup terdengar. Khusyu itu makin pekat terasa, saat gemericik
air hujan yang tak deras ikut memecah kesunyian malam.
DENTUMAN
KESADARAN
Lantas, apakah segala keceriaan dan kemeriahan di hari
raya adalah salah. Menurut saya tidak
salah. Semua yang kita lakukan itu
adalah bagian dari tradisi yang telah lama hidup berdenyut dari semangat
ke-Islaman. Islam mampu beradaptasi
dengan baik ditengah heterogenitas kebudayaan kita. Islam mampu memberikan nyawa disetiap denyut nadi dan nafas kebudayaan kita. Seiring waktu, kebudayaan kita telah
ter-Islamkan dengan cara yang unik dan indah.
Namun bukan berarti itu semua berjalan tanpa adanya
kesadaran. Apa yang kita lihat dan
saksikan hari ini adalah akumulasi dan asosiasi. Akumulasi dari kesadaran religiusitas yang
transenden dan kesadaran kultural yang terekspresi pada setiap interaksi sosial
kita. Kedua kesadaran itu lalu
berasosiasi membentuk kesadaran kita hari ini.
Disitulah hebatnya manusia dan kebudayaannya. Tak seperti makhluk lain, manusia mampu meng-create kesadarannya dalam berbagai
bentuk dan simbol. Kesadaran itulah yang
terbentuk juga sekaligus membentuk makna-makna kehidupan. Lalu makna makna-makna itu
bersemayam sebagai nyawa dalam setiap simbol kebudayaan. Pada akhirnya, kehidupan adalah lingkaran
kesadaran.
Begitu pula dengan hari raya. Hari raya adalah bagian
dari dentuman kesadaran itu. Pada hari
raya, sangat nampak terasa pertautan indah antara tradisi dengan semangat
ke-Islaman. Tradisi itu seolah secara
otomatis menemukan landasan transendentalnya sehingga kita terdorong untuk
selalu mengulangi dan mempertahankannya.
Lantas kesadaran apakah itu...??
Saya juga susah untuk menjelaskan itu. Namun, bila saat menelusurinya dalam
keheningan kontemplasi, justru saya menemukan sebuah kesadaran atas hadirnya
Kekuatan atau Zat yang tidak bisa saya definisikan. Kesadaran itu pada akhirnya
adalah sebuah kehadiran.
Menurut saya, kesadaran tertinggi yang
sesungguhnya adalah kesadaran akan kehadiran DIA dalam diri kita. Dari sinilah kemudian ekspresi kita
bersumber. Ekspresi diri termasuk ekspresi kebudayaan tak lain hanyalah upaya
menjawab makna kehadiran DIA. Karena Dia
hadir dalam diri kita maka kita sekuat tenaga mendekatkan diri pada DIA. Menurut saya, pada titik inilah tradisi dan
kebudayaan menemukan landasan spritualitas transendentalnya.
Demikian pula dengan segala kemeriahan dan keceriaan
di hari raya kali ini. Kemeriahan dan
keceriaan itu mesti bermuara pada pada kehadiran DIA. Kemeriahan dan keceriaan itu bukan bersumber
dari hawa nafsu. Inilah
makna hakiki dari kemenangan di hari raya.
Merayakan kemenangan atas dua sisi.
Disatu sisi kita mampu mengendalikan nafsu ditengah kemeriahan dan
keceriaan dan disisi lain kita mampu hening menghadirkan DIA ditengah
kemeriahan dan keceriaan itu.
Selamat merayakan Hari Raya Idul Adha 1434 H, mohon
maaf lahir dan batin
Malam menjelang hari raya Idul Adha 1434 H
Bogor, 14 Oktober 2013
Pukul 20.00