Entri Populer

Pages

14 Oktober, 2013

IDUL ADHA DAN DENTUMAN KESADARAN


Ilustrasi


Malam ini, menjelang Hari Raya Idul Adha, saya duduk terdiam setelah menunaikan shalat Isya.  Ada perasaan yang luar biasa yang mengisi penuh rongga dada.  Nafas ini naik turun mengikuti suara takbir yang sayup-sayup terdengar.  Sejenak saya khusyuk dalam kesadaran imanen yang sulit utuk saya rasionalkan. Gemericik air hujan yang tak deras menambah pekatnya perasaan itu.

Mungkin saya terbawa suasana saja.  Suasana sepi tanpa sanak keluarga dan kerabat di sisi saat menjelang hari raya Idul Adha.  Setahun silam memang saya merayakannya di rumah kost ini.  Hanya saja,terasa lebih ramai dan riang karena bersama kawan-kawan sekost-seperjuangan.  Namun mereka beberapa hari yang lalu memutuskan untuk pulang kampung, Makassar.  Mereka berhari raya disana.

Mungkin keceriaan dan aura spritualitas hari raya yang selama ini saya rasakan tidak semata berangkat dari kedalaman menghayati makna kemenangan hari raya.  Mungkin lebih dipicu oleh tradisi yang mengiringi menjelang dan saat hari raya tiba.

Di kampung saya di Buton, seperti halnya kampung-kampung lain, memiliki cara tersendiri untuk merayakan hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha).  Selain kumandang takbir, tahmid dan tahlil yang menggema, berbagai hal juga dipersiapkan.  Mulai dari aneka panganan dan masakan khas, minuman segar dan manis serta aneka macam gula-gula.  Semua nampak semakin  tertata rapi dan indah diatas meja karena dihiasi garnis indah.  Yammy.,sungguh sajian itu menggugah selera.

Tak hanya itu, semua nampak terkesan baru.  Rumah tertata dengan desain perabot baru, cat dinding terlihat baru, di jendela nampak tergantung korden baru, vas yang berisi bunga indahpun menghiasi sudut rumah.  Tak hanya itu, semua juga mengenakan pakaian serba baru. Sebetulnya tak ada yang baru, namun rumah ditata dengan cara yang berbeda saja. 

Tak hanya itu, hari raya juga baik Idul Fitri maupun Idul Adha mampu menggerakkan hampir semua penduduk kota untuk berpindah pulang kampung ke desa lalu kembali lagi ke kota hanya dalam kurun waktu beberapa hari.  Hari raya seolah identik dengan panggilan untuk pulang kampung, sehingga tidak absah rasanya merayakan hari raya jika tidak berkumpul dengan sanak saudara di tanah kampung tercinta.

Mungkin begitulah sebagian besar dari kita merayakan dan memaknai kemenangan di hari raya.  Namun idul adha kali ini saya jauh dari suasana itu.  Saya hanya duduk terdiam setelah shalat Isya. Nafas ini naik turun mengikuti suara takbir yang sayup-sayup terdengar.  Khusyu itu makin pekat terasa, saat gemericik air hujan yang tak deras ikut memecah kesunyian malam.


DENTUMAN KESADARAN

Lantas, apakah segala keceriaan dan kemeriahan di hari raya adalah salah.  Menurut saya tidak salah.  Semua yang kita lakukan itu adalah bagian dari tradisi yang telah lama hidup berdenyut dari semangat ke-Islaman.  Islam mampu beradaptasi dengan baik ditengah heterogenitas kebudayaan kita.  Islam mampu memberikan nyawa disetiap denyut nadi dan nafas kebudayaan kita.  Seiring waktu, kebudayaan kita telah ter-Islamkan dengan cara yang unik dan indah.

Namun bukan berarti itu semua berjalan tanpa adanya kesadaran.  Apa yang kita lihat dan saksikan hari ini adalah akumulasi dan asosiasi.  Akumulasi dari kesadaran religiusitas yang transenden dan kesadaran kultural yang terekspresi pada setiap interaksi sosial kita.  Kedua kesadaran itu lalu berasosiasi membentuk kesadaran kita hari ini.  

Disitulah hebatnya manusia dan kebudayaannya.  Tak seperti makhluk lain, manusia mampu meng-create kesadarannya dalam berbagai bentuk dan simbol.  Kesadaran itulah yang terbentuk juga sekaligus membentuk makna-makna kehidupan. Lalu makna makna-makna itu bersemayam sebagai nyawa dalam setiap simbol kebudayaan.  Pada akhirnya, kehidupan adalah lingkaran kesadaran.

Begitu pula dengan hari raya. Hari raya adalah bagian dari dentuman kesadaran itu.  Pada hari raya, sangat nampak terasa pertautan indah antara tradisi dengan semangat ke-Islaman.  Tradisi itu seolah secara otomatis menemukan landasan transendentalnya sehingga kita terdorong untuk selalu mengulangi dan mempertahankannya.

Lantas kesadaran apakah itu...??

Saya juga susah untuk menjelaskan itu. Namun, bila saat menelusurinya dalam keheningan kontemplasi, justru saya menemukan sebuah kesadaran atas hadirnya Kekuatan atau Zat yang tidak bisa saya definisikan. Kesadaran itu pada akhirnya adalah sebuah kehadiran.

Menurut saya, kesadaran tertinggi yang sesungguhnya adalah kesadaran akan kehadiran DIA dalam diri kita.  Dari sinilah kemudian ekspresi kita bersumber. Ekspresi diri termasuk ekspresi kebudayaan tak lain hanyalah upaya menjawab makna kehadiran DIA.  Karena Dia hadir dalam diri kita maka kita sekuat tenaga mendekatkan diri pada DIA.  Menurut saya, pada titik inilah tradisi dan kebudayaan menemukan landasan spritualitas transendentalnya.

Demikian pula dengan segala kemeriahan dan keceriaan di hari raya kali ini.  Kemeriahan dan keceriaan itu mesti bermuara pada pada kehadiran DIA.  Kemeriahan dan keceriaan itu bukan bersumber dari hawa nafsu.  Inilah makna hakiki dari kemenangan di hari raya.  Merayakan kemenangan atas dua sisi.  Disatu sisi kita mampu mengendalikan nafsu ditengah kemeriahan dan keceriaan dan disisi lain kita mampu hening menghadirkan DIA ditengah kemeriahan dan keceriaan itu.

Selamat merayakan Hari Raya Idul Adha 1434 H, mohon maaf lahir dan batin

Malam menjelang hari raya Idul Adha 1434 H
Bogor, 14 Oktober 2013
Pukul 20.00

1 komentar:

  1. dulu di unhas saya 5 tahun sepi bahkan idul fitri.... sekarang sepi lagi min.... hehehehe

    BalasHapus