Entri Populer

Pages

04 Oktober, 2013

MESUM DAN MACET; Jalan Perjuangan Dari Darmaga Ke Baranang Siang


Ilustrasi


Siang tadi, saya menyaksikan kejadian yang memberikan satu pelajaran yang berharga.  Sebetulnya kejadian itu sudah sering kita lihat.  Tapi entah mengapa, kejadian siang tadi itu seolah begitu menohok jauh ke dalam batinku.

Seperti biasa, saya pergi ke kampus untuk mengikuti kuliah.  Perjalanan agak panjang karena saya ngekost di Darmaga Kabupaten Bogor dan kuliahnya di Baranang Siang Kota Bogor. Perjalanan saya tempuh dengan dua kali naik pete-pete.  Istilah di Makassar untuk menyebut angkutan kota (angkot).  Pete-pete melaju tidak terlalu kencang bahkan sesekali berhenti agak lama.  Maklum saja, kondisi jalan raya di bogor sudah sama dengan ibu kota. 

Kesemrawutn semakin terasa karena jalan raya di Bogor rata-rata cukup sempit sedangkan jumlah kenderaan begitu banyak.  Kita bisa menyimpulkan jumlah kendaraan yang ada sudah melampaui daya dukung jalan raya yang tersedia.  Itulah mengapa perjalanan dari Darmaga bisa sampai 2 jam ke Baranang Siang. Selama di pete-pete, keringat menetes seperti butir jagung bercampur asap kenderaan dan abu jalanan di bawah sinar matahari yang terik.  Bisa kita bayangkan penderitaan 2 jam itu.

Pete-pete Kampus Dalam yang saya tumpangi melaju dari Darmaga menuju terminal Laladon di Sindang Barang.  Dari situ, saya harus ganti pete-pete 03 arah Baranang Siang.  Jangan salah, begitu naik pete-petenya tidak langsung jalan namun harus ngetem dulu sampai 20 menit untuk menunggu penumpang full.  Tapi kalau lagi beruntung, hanya 5 menit pete-pete 03 sudah bisa melaju.

Saat itu ada pasangan muda-mudi masuk ke dalam pete-pete dengan sangat mesra bergandeng tangan.  Mereka duduk pas di depanku.  Tak hanya itu, tanpa peduli mereka saling berangkul.  Sesekali Sang Gadis dengan setengah bergairah mengusap dada dan mengelus wajah Sang Pemuda sembari menyandarkan kepala di bahu Sang Pemuda.  Sang Pemuda membalasanya dengan rangkulan pula.

“Memang beda tipis ya antara mesra sama mesum” pikirku kala itu.

Mereka mengulang-ulangi adegan itu sampai setangah perjalanan.  Dari perawakan mereka saya dapat menyimpulkan pasangan itu masih sangat belia dan bukan PASUTRI (pasangan suami istri).

Dari Sindang Barang, pete-pete melewati daerah Gunung Batu.  Sudah dipastikan disitu pasti macet karena melintas depan pasar tradisional.  Pete-pete lalu terus melaju melewati PGB (pusat Grosir Bogor) dan lagi-lagi pete-pete  hanya bisa merangkak.  Selang beberapa waktu, pete-pete sampai ke Jembatan Merah.  Dari jembatan merah hanya 50 meter sampai ke stasiun Bogor.  Tapi untuk melewati yang 50 meter itu pete-pete sangat susah payah merangkak maju.

Begitu tiba depan stasiun Bogor, lagi-lagi pete-pete harus ngetem karena banyak penumpang yang turun. Tak jauh dari stasiun Bogor, hanya sekitar 500 meter jarak menuju Istana Bogor, namun Pete-pete terpaksa menjangkaunya sekitar setengah jam.

“Gila, dari stasiun ke Istana Bogor setengah jam”  pikirku.

Betapa tidak, dari stasiun pete-pete belok kiri dan harus menembus kesemrawutan Pasar Anyar akibat pedagang kaki lima yang memenuhi bahu jalan.  Di tengah situasi itu, tiba-tiba masuk seorang Ibu paruh baya dengan sedikit tergesa-gesa menggandeng anak perempuannya yang berseragam Sekolah Menengah Pertama (SMP). Lalu mereka duduk tepat disebelah kananku. Adu mulut antara Si Ibu dengan anaknya mulai terjadi.

“Mama kenapa juga jemput aku di sekolah. Sampai ditungguin pula di depan kelas. Aku kan malu Ma sama teman-teman”. Kata si anak

Lho., Kenapa mesti malu, emangnya kamu mencuri? Jawab Si Ibu

”Bukan gitu Ma, aku malu teman-teman pada ngomingin aku udah SMP masih dijemput Mama.  Aku kan tahu jalan pulang,Ma..”. Sahut Si Anak

“Lalu mengapa kamu selalu telat pulang, nyampe rumah udah telat banget”. Si Ibu menimpali

Semua penumpang pete-pete akhirnya memperhatikan Ibu dan anaknya itu.  Termasuk pasangan muda mudi itu.

“Mama nggak pernah kasih kebebasan ke aku sedikit aja.  Nggak di sekolah, nggak di rumah aku kayak di penjara ”. Protes Si Anak sembari menangis.

“Kamu itu masih remaja, masih labil Nak. Gampang terpengaruh” Si Ibu menasehati

“mama tuh yang labil, nggak bisa kasih kebebasan. Aku malu Ma sama teman-teman” spontan Si Anak menyahut sambil terisak.

“Udah, kamu di rumah aja. Di rumah kamu bisa belajar dari pada setelah sekolah nggak jelas kemana” sahut Si Ibu tegas.

Melewati Istana Bogor, pete-pete mulai lancar melaju melewati jalan antara Kebun Raya bogor dan lapangan Sempur.  Asrinya Kebun Raya Bogor nampak terasa dari jalan itu. Lalu pete-pete sampai melewati Taman Kencana dan berhenti sejenak di lampu merah Jalan Padjadjaran tepat bersebelahan dengan hotel Pangrango.  Disitulah Si Ibu dan anaknya turun.

Perjalanan kali ini saya menemukan kejadian kontras dan memetik pelajaran berharga.  Disatu sisi, pasangan di depanku sedang mempertontonkan potret pergaulan anak muda masa kini. Disisi lain, di sampingku seorang Ibu dengan sangat khawatir mengingatkan anaknya.  Saya cukup mengerti ketakutan Si Ibu itu.  Ia tidak ingin anaknya juga mempertontonkan seperti muda-mudi di depanku itu.

Kejadian ini seolah memberikan peringatan dini terhadapku.  Saya lalu tersadar bahwa saya juga memiliki seorang putri cantik, Amirah.  Walaupun Usianya kini baru 1,9 tahun namun gambaran masa depannya sudah terlintas dibenakku.  Pergaulan muda-mudi hari ini seolah tak dapat dikontrol lagi oleh orang tua.  Perkembangan teknologi dan informasi yang begitu cepat memberikan dampak yang luar biasa terhadap proses tumbuh kembang karakter anak. Dan tak jarang orang tua memfasilitasi anaknya dengan teknologi itu.

Anak-anak hari ini lebih sering dan mudah mendapatkan informasi dari media atau lingkungannya ketimbang nasehat orang tuanya.  Berbagai fasilitas mulai dari Handphone, Ipad, komputer, televisi dengan sangat mudah mereka dapatkan.  Bukannya tak memiliki dampak positif, namun itu semua memberikan konstribusi langsung terhadap pembentukan karakter Si Anak.

Berbeda dengan saya dulu ketika masih anak-anak, dengan serba keterbatasan teknologi kami memanfaatkan bahan yang ada disekitar rumah untuk dijadikan media bermain. Dan selalu saja permainan itu tak bisa dimainkan sendiri namun bersama teman-teman.  Hal ini memberikan pendidikan tersendiri agar anak terbiasa bekerja sama dalam tim.

Hari ini, dengan kecanggihan teknologi memberikan media bermain yang mudah tanpa harus bersama teman.  Teknologi mampu memberikan dunia bermain artifisial yang serba cyber.  Akhirnya, anak-anak cenderung sibuk dengan dunia artifisialnya sendiri.

Namun disisi lain, teknologi mampu membentuk pola pergaulan dan lingkungan dengan perubahan yang cepat dan dinamis.  Anak-anak dengan sangat mudah dan cepat terkoneksi dengan anak-anak lain.  Ini juga mendorong anak-anak untuk lebih berani melakukan pola bergaul yang melampaui usia, perkembangan fisik dan psikisnya.  Tradisi dan budaya yang selama ini menjadi filter dan batasan dalam bergaul mulai runtuh berganti dengan tradisi baru yang dibentuk oleh teknologi dan informasi.

Teknologi dan informasi  menggiring anak-anak kita dalam dua titik pola pergaulan yang ekstrim.  Disatu sisi, teknologi dan informasi menjadikan Si Anak menjadi teralienasi dari pergaulan sosialnya yang sesungguhnya.  Ia sibuk sendiri dan menemukan keramaian di dunia artifisial.  Namun disisi lain, teknologi dan informasi pula mampu membentuk penyatuan (unity) pergaulan yang hampir tanpa batas.  Nilai etika dan moral yang selama ini menuntun role of the game semakin samar.

Dunia hari ini seolah semakin kencang berlari dalam lintasan waktu.  Anak-anak kita ikut terseret dalam lintasan itu.  Mereka hanya menghadapinya dengan kepolosan dan keluguan.  Namun dunia makin kencang saja berlari, entah apa yang sedang dikejarnya.,

Gimanakah dunia anakku Amirah kelak? Pertanyaan itu semakin membatin dalam diriku.


Bogor, 30 September 2013
Pukul 22:20 WIB

 

0 komentar:

Posting Komentar