Ilustrasi |
Siang tadi, saya menyaksikan kejadian
yang memberikan satu pelajaran yang berharga.
Sebetulnya kejadian itu sudah sering kita lihat. Tapi entah mengapa, kejadian siang tadi itu
seolah begitu menohok jauh ke dalam batinku.
Seperti biasa, saya pergi ke kampus
untuk mengikuti kuliah. Perjalanan agak
panjang karena saya ngekost di
Darmaga Kabupaten Bogor dan kuliahnya di Baranang Siang Kota Bogor. Perjalanan
saya tempuh dengan dua kali naik pete-pete. Istilah di Makassar untuk menyebut angkutan
kota (angkot). Pete-pete melaju tidak terlalu kencang bahkan sesekali berhenti
agak lama. Maklum saja, kondisi jalan
raya di bogor sudah sama dengan ibu kota.
Kesemrawutn semakin terasa karena jalan
raya di Bogor rata-rata cukup sempit sedangkan jumlah kenderaan begitu
banyak. Kita bisa menyimpulkan jumlah
kendaraan yang ada sudah melampaui daya dukung jalan raya yang tersedia. Itulah mengapa perjalanan dari Darmaga bisa
sampai 2 jam ke Baranang Siang. Selama di pete-pete,
keringat menetes seperti butir jagung bercampur asap kenderaan dan abu jalanan
di bawah sinar matahari yang terik. Bisa
kita bayangkan penderitaan 2 jam itu.
Pete-pete Kampus Dalam yang saya tumpangi
melaju dari Darmaga menuju terminal Laladon di Sindang Barang. Dari situ, saya harus ganti pete-pete 03 arah Baranang Siang. Jangan salah, begitu naik pete-petenya tidak langsung jalan namun
harus ngetem dulu sampai 20 menit
untuk menunggu penumpang full. Tapi kalau
lagi beruntung, hanya 5 menit pete-pete
03 sudah bisa melaju.
Saat itu ada pasangan muda-mudi masuk
ke dalam pete-pete dengan sangat
mesra bergandeng tangan. Mereka duduk
pas di depanku. Tak hanya itu, tanpa
peduli mereka saling berangkul. Sesekali
Sang Gadis dengan setengah bergairah mengusap dada dan mengelus wajah Sang
Pemuda sembari menyandarkan kepala di bahu Sang Pemuda. Sang Pemuda membalasanya dengan rangkulan
pula.
“Memang beda tipis ya antara mesra sama mesum”
pikirku kala itu.
Mereka mengulang-ulangi adegan itu
sampai setangah perjalanan. Dari
perawakan mereka saya dapat menyimpulkan pasangan itu masih sangat belia dan
bukan PASUTRI (pasangan suami istri).
Dari Sindang Barang, pete-pete melewati daerah Gunung
Batu. Sudah dipastikan disitu pasti macet
karena melintas depan pasar tradisional.
Pete-pete lalu terus melaju
melewati PGB (pusat Grosir Bogor) dan lagi-lagi pete-pete hanya bisa
merangkak. Selang beberapa waktu, pete-pete sampai ke Jembatan Merah. Dari jembatan merah hanya 50 meter sampai ke
stasiun Bogor. Tapi untuk melewati yang
50 meter itu pete-pete sangat susah
payah merangkak maju.
Begitu tiba depan stasiun Bogor,
lagi-lagi pete-pete harus ngetem karena banyak penumpang yang
turun. Tak jauh dari stasiun Bogor, hanya sekitar 500 meter jarak menuju Istana
Bogor, namun Pete-pete terpaksa menjangkaunya
sekitar setengah jam.
“Gila, dari stasiun ke Istana Bogor setengah jam” pikirku.
Betapa tidak, dari stasiun pete-pete belok kiri dan harus menembus
kesemrawutan Pasar Anyar akibat pedagang kaki lima yang memenuhi bahu
jalan. Di tengah situasi itu, tiba-tiba
masuk seorang Ibu paruh baya dengan sedikit tergesa-gesa menggandeng anak
perempuannya yang berseragam Sekolah Menengah Pertama (SMP). Lalu mereka duduk
tepat disebelah kananku. Adu mulut antara Si Ibu dengan anaknya mulai terjadi.
“Mama kenapa juga jemput aku di sekolah. Sampai ditungguin pula di
depan kelas. Aku kan malu Ma sama teman-teman”. Kata
si anak
Lho., Kenapa mesti malu, emangnya kamu mencuri? Jawab Si Ibu
”Bukan gitu Ma, aku malu teman-teman pada ngomingin aku udah SMP masih
dijemput Mama. Aku kan tahu jalan pulang,Ma..”. Sahut Si Anak
“Lalu mengapa kamu selalu telat pulang, nyampe rumah udah telat banget”. Si Ibu menimpali
Semua penumpang pete-pete akhirnya
memperhatikan Ibu dan anaknya itu.
Termasuk pasangan muda mudi itu.
“Mama nggak pernah kasih kebebasan ke aku sedikit aja. Nggak di sekolah, nggak di rumah aku kayak di
penjara ”. Protes Si Anak sembari menangis.
“Kamu itu masih remaja, masih labil Nak. Gampang terpengaruh” Si Ibu menasehati
“mama tuh yang labil, nggak bisa kasih kebebasan. Aku malu Ma sama
teman-teman” spontan Si Anak menyahut sambil terisak.
“Udah, kamu di rumah aja. Di rumah kamu bisa belajar dari pada setelah
sekolah nggak jelas kemana” sahut Si Ibu tegas.
Melewati Istana Bogor, pete-pete
mulai lancar melaju melewati jalan antara Kebun Raya bogor dan lapangan
Sempur. Asrinya Kebun Raya Bogor nampak
terasa dari jalan itu. Lalu pete-pete sampai melewati Taman Kencana dan
berhenti sejenak di lampu merah Jalan Padjadjaran tepat bersebelahan dengan
hotel Pangrango. Disitulah Si Ibu dan
anaknya turun.
Perjalanan kali ini saya menemukan
kejadian kontras dan memetik pelajaran berharga. Disatu sisi, pasangan di depanku sedang
mempertontonkan potret pergaulan anak muda masa kini. Disisi lain, di sampingku
seorang Ibu dengan sangat khawatir mengingatkan anaknya. Saya cukup mengerti ketakutan Si Ibu
itu. Ia tidak ingin anaknya juga
mempertontonkan seperti muda-mudi di depanku itu.
Kejadian ini seolah memberikan
peringatan dini terhadapku. Saya lalu
tersadar bahwa saya juga memiliki seorang putri cantik, Amirah. Walaupun Usianya kini baru 1,9 tahun namun
gambaran masa depannya sudah terlintas dibenakku. Pergaulan muda-mudi hari ini seolah tak dapat
dikontrol lagi oleh orang tua.
Perkembangan teknologi dan informasi yang begitu cepat memberikan dampak
yang luar biasa terhadap proses tumbuh kembang karakter anak. Dan tak jarang
orang tua memfasilitasi anaknya dengan teknologi itu.
Anak-anak hari ini lebih sering dan
mudah mendapatkan informasi dari media atau lingkungannya ketimbang nasehat
orang tuanya. Berbagai fasilitas mulai
dari Handphone, Ipad, komputer, televisi dengan sangat mudah mereka dapatkan. Bukannya tak memiliki dampak positif, namun
itu semua memberikan konstribusi langsung terhadap pembentukan karakter Si
Anak.
Berbeda dengan saya dulu ketika masih
anak-anak, dengan serba keterbatasan teknologi kami memanfaatkan bahan yang ada
disekitar rumah untuk dijadikan media bermain. Dan selalu saja permainan itu
tak bisa dimainkan sendiri namun bersama teman-teman. Hal ini memberikan pendidikan tersendiri agar
anak terbiasa bekerja sama dalam tim.
Hari ini, dengan kecanggihan
teknologi memberikan media bermain yang mudah tanpa harus bersama teman. Teknologi mampu memberikan dunia bermain
artifisial yang serba cyber. Akhirnya,
anak-anak cenderung sibuk dengan dunia artifisialnya sendiri.
Namun disisi lain, teknologi mampu
membentuk pola pergaulan dan lingkungan dengan perubahan yang cepat dan
dinamis. Anak-anak dengan sangat mudah
dan cepat terkoneksi dengan anak-anak lain.
Ini juga mendorong anak-anak untuk lebih berani melakukan pola bergaul
yang melampaui usia, perkembangan fisik dan psikisnya. Tradisi dan budaya yang selama ini menjadi
filter dan batasan dalam bergaul mulai runtuh berganti dengan tradisi baru yang
dibentuk oleh teknologi dan informasi.
Teknologi dan informasi menggiring anak-anak kita dalam dua titik
pola pergaulan yang ekstrim. Disatu
sisi, teknologi dan informasi menjadikan Si Anak menjadi teralienasi dari
pergaulan sosialnya yang sesungguhnya.
Ia sibuk sendiri dan menemukan keramaian di dunia artifisial. Namun disisi lain, teknologi dan informasi
pula mampu membentuk penyatuan (unity)
pergaulan yang hampir tanpa batas. Nilai
etika dan moral yang selama ini menuntun role
of the game semakin samar.
Dunia hari ini seolah semakin kencang
berlari dalam lintasan waktu. Anak-anak
kita ikut terseret dalam lintasan itu.
Mereka hanya menghadapinya dengan kepolosan dan keluguan. Namun dunia makin kencang saja berlari, entah
apa yang sedang dikejarnya.,
Gimanakah dunia anakku Amirah kelak?
Pertanyaan itu semakin membatin dalam diriku.
Bogor, 30 September 2013
Pukul 22:20 WIB
0 komentar:
Posting Komentar