Entri Populer

Pages

04 Mei, 2015

“SERING-SERINGLAH MEMBACA NOVEL..”

Ilustrasi


“Min, sering-seringlah membaca novel..”, demikian kata seorang sahabat kepada saya beberapa minggu lalu.  Hari itu ia mengatakan kalimat itu kepada saya beberapa kali. Saya kurang paham mengapa sahabat itu mengulangnya berkali-kali.  Saya hanya menangkap ada hal yang serius dari situ.

Beberapa hari ini kalimat itu cukup menggangguku.  Ia menyedot sebagian daya pikirku sembari mengerutkan dahi untuk memecahkan maksud kata-katanya.  Saya juga enggan untuk menanyakan kembali maksud kata-katanya meskipun sebenarnya saya membutuhkan penjelasan dari kata-kata itu.

saya akan mulai membiasakan diri membaca novel, mungkin jawabannya akan saya temukan disitu  bisikku dalam hati.

Selang beberapa hari, saya menemukan tumpukan buku diatas meja kerjanya. “buku-buku yang saya tumpuk diatas meja artinya itu buku-buku yang belum saya baca.  Yang sudah saya baca saya susun disitu” katanya sambil mengarahkan pandangannya pada sebuah etalase yang banyak terdapat buku diatasnya.

Saya melihat ada sebuah novel atau entah apa namanya yang jelas karya sastra yang terselip diantara buku-buku yang tersusun diatas meja kerjanya itu.

saya pinjam yang ini” kataku dengan sedikit mendesak. “Tapi itu belum saya baca” Ia menyahut dengan bahasa tubuh yang tak mengizinkan. “besok saya kembalikan” jawabku dengan enteng sambil memasukkannya dalam tas lalu pamit pulang sambil menyembunyikan tawaku.,ha..ha..ha

Setiba dirumah, saya mulai membacanya untuk menjawab penasaran ada apa dengan novel..?. Halaman demi halaman saya terus membacanya tapi belum ada jawaban dari setiap halamannya.  Saya terus membacanya, terus dan terus.  Ada keanehan yang mulai terasa. Tak ada keinginan lagi untuk menemukan jawaban dari kata-kata sahabat itu.

Tapi saya terus saja membaca setiap halaman novel yang saya pinjam dengan sedikit paksaan itu.  Sesekali saya tersenyum sendiri saat menuntaskan setiap halamannya.  Sesekali saya merasa pernah dan sedang melakoni cerita dalam novel itu. Tanpa sadar saya larut dan tenggelam dalam cerita novel itu. Saya sudah menganggap tak penting lagi jawaban dari kata-kata sahabat itu.

Nampaknya benar bahwa setiap kata punya kuasa.  Kuasa tak hanya dipahami sebagai sesuatu yang melekat pada sebuah institusi seperti negara. Namun kuasa berada pada setiap teks dan ruang periferi sekalipun.  Demikian diungkap oleh Michelle Foucoult. Kata-kata yang teruntai menjadi kalimat dalam setiap halaman novel ini telah berhasil mengusai pikiranku.

Nampaknya disinilah kekuatan sebuah novel dan karya sastra lainnya. Karya sastra seolah mengajak pembaca dalam dialog imaginer. Imajinasi penulis dan pembaca seolah sedang berdialog dalam “ruang “ baca dan membentuk realitasnya sendiri. Dan bisa jadi, apa yang diimajinasikan oleh pembaca jauh berbeda dari apa yang diimajinasikan oleh penulis.

Ilustrasi
 Sastra dan Perubahan Sosial 

Nampaknya beginilah modus karya sastra mendorong perubahan sosial.  Telah banyak studi yang menjelaskan bagaimana sastra membentuk logika sosial dan mengarahkan perubahan sosial.  Sastra juga tak jarang menjadi “senjata” untuk melawan tirani kekuasaan.  Tak perlu jauh-jauh, sebut saja roman Siti Nurbaya (1920) karya Marah Rusli.  Siti Nurbaya telah membangkitkan keberanian para perempuan untuk mengatakan “ini bukan zaman Siti Nurbaya” saat dikungkung dalam keluarga dan dijodohkan secara paksa.

Contoh lain Wiji Tukul dianggap “hilang” atau lebih tepatnya “dihilangkan” oleh orde baru karena puisi-puisinya ikut mengumbar perlawanan terhadap negara.  Puisi-puisi Wiji Tukul ikut berkonstribusi menumbangkan kekuasaan orde baru.  Bahkan saat demostrasi mahasiswa seolah menjadi kutipan wajib dalam setiap orasi para demonstran.  Tetralogi Laskar Pelangi gubahan Andrea Hirata ikut mendorong kunjungan pariwisata di Belitung dan menjadikan sosok Ikal sebagai indikator keberhasilan anak muda yakni mesti menempuh pendidikan di luar negeri.

Lantas, bagaimana karya sastra dapat memicu perubahan..?? saya bukanlah sastrawan ataupun kritikus sastra yang dapat menjelaskan pertanyaan itu secra logis dan sistematis.  Namun apa yang saya alami dan seperti Foucoult, Barthes, Gadamer ataupun tokoh semiotik lain katakan bahwa kata (bahasa) punya kuasa.  Bahasa dengan begitu halus menyelusup masuk dalam ruang kesadaran dan memperkokoh ataupun membentuk kesadaran baru.  Kesadaran ini yang kemudian memicu tindakan dan perubahan tingkah laku.

Karya sastra melalui kekuatan bahasa yang dimilikinya seolah telah berhasil mengokohkan dirinya menjadi salah satu pemain utama dalam panggung sejarah.  Karya sastra begitu sangat apik melontarkan kritik-kritik sosial sampai terkadang kita tak menyadari sedang dikritik lalu larut didalamnya.  Melalui kemampuan personifikasinya, sastra dengan rigid namun menyenangkan mengilustrasikan realitas sosial kita. Sampai disini, saya melihat bahwa kesadaran kita hampir sepenuhnya dibentuk oleh realitas diluar diri kita.  Terakhir saya ingin mengutip apa yang dikatakan oleh Marx dan Engels (1859) bahwa bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, melainkan keberadaan sosial yang menentukan kesadaran mereka.

By the way.,kembali pada maksud pernyataan sahabat saya diatas “sering-seringlah membaca novel..”.  Hmmmm..,bisa jadi sahabat saya itu menginginkan perubahan pada diri saya.  Perubahan apa itu..? saya selalu positive thingking ajalah.,perubahan menjadi lebih baik.


Bogor, 4 Mei 2015.



0 komentar:

Posting Komentar