Ilustrasi |
“Min,
sering-seringlah membaca novel..”, demikian
kata seorang sahabat kepada saya beberapa minggu lalu. Hari itu ia mengatakan kalimat itu kepada
saya beberapa kali. Saya kurang paham mengapa sahabat itu mengulangnya
berkali-kali. Saya hanya menangkap ada
hal yang serius dari situ.
Beberapa
hari ini kalimat itu cukup menggangguku.
Ia menyedot sebagian daya pikirku sembari mengerutkan dahi untuk
memecahkan maksud kata-katanya. Saya juga
enggan untuk menanyakan kembali maksud kata-katanya meskipun sebenarnya saya
membutuhkan penjelasan dari kata-kata itu.
“saya
akan mulai membiasakan diri membaca novel, mungkin jawabannya akan saya temukan
disitu” bisikku dalam hati.
Selang
beberapa hari, saya menemukan tumpukan buku diatas meja kerjanya. “buku-buku
yang saya tumpuk diatas meja artinya itu buku-buku yang belum saya baca. Yang sudah saya baca saya susun disitu”
katanya sambil mengarahkan pandangannya pada sebuah etalase yang banyak
terdapat buku diatasnya.
Saya
melihat ada sebuah novel atau entah apa namanya yang jelas karya sastra yang
terselip diantara buku-buku yang tersusun diatas meja kerjanya itu.
“saya
pinjam yang ini” kataku dengan sedikit mendesak. “Tapi itu belum saya
baca” Ia menyahut dengan bahasa tubuh yang tak mengizinkan. “besok saya
kembalikan” jawabku dengan enteng sambil memasukkannya dalam tas lalu pamit
pulang sambil menyembunyikan tawaku.,ha..ha..ha
Setiba
dirumah, saya mulai membacanya untuk menjawab penasaran ada apa dengan novel..?.
Halaman demi halaman saya terus membacanya tapi belum ada jawaban dari setiap
halamannya. Saya terus membacanya, terus
dan terus. Ada keanehan yang mulai
terasa. Tak ada keinginan lagi untuk menemukan jawaban dari kata-kata sahabat
itu.
Tapi
saya terus saja membaca setiap halaman novel yang saya pinjam dengan sedikit
paksaan itu. Sesekali saya tersenyum
sendiri saat menuntaskan setiap halamannya.
Sesekali saya merasa pernah dan sedang melakoni cerita dalam novel itu. Tanpa
sadar saya larut dan tenggelam dalam cerita novel itu. Saya sudah menganggap
tak penting lagi jawaban dari kata-kata sahabat itu.
Nampaknya
benar bahwa setiap kata punya kuasa. Kuasa
tak hanya dipahami sebagai sesuatu yang melekat pada sebuah institusi seperti
negara. Namun kuasa berada pada setiap teks dan ruang periferi sekalipun. Demikian diungkap oleh Michelle Foucoult. Kata-kata
yang teruntai menjadi kalimat dalam setiap halaman novel ini telah berhasil
mengusai pikiranku.
Nampaknya
disinilah kekuatan sebuah novel dan karya sastra lainnya. Karya sastra seolah mengajak
pembaca dalam dialog imaginer. Imajinasi penulis dan pembaca seolah sedang
berdialog dalam “ruang “ baca dan membentuk realitasnya sendiri. Dan bisa jadi,
apa yang diimajinasikan oleh pembaca jauh berbeda dari apa yang diimajinasikan
oleh penulis.
Sastra
dan Perubahan Sosial
Nampaknya
beginilah modus karya sastra mendorong perubahan sosial. Telah banyak studi yang menjelaskan bagaimana
sastra membentuk logika sosial dan mengarahkan perubahan sosial. Sastra juga tak jarang menjadi “senjata”
untuk melawan tirani kekuasaan. Tak perlu
jauh-jauh, sebut saja roman Siti Nurbaya (1920) karya Marah Rusli. Siti Nurbaya telah membangkitkan
keberanian para perempuan untuk mengatakan “ini bukan zaman Siti Nurbaya”
saat dikungkung dalam keluarga dan dijodohkan secara paksa.
Contoh lain Wiji Tukul dianggap “hilang”
atau lebih tepatnya “dihilangkan” oleh orde baru karena puisi-puisinya ikut mengumbar
perlawanan terhadap negara. Puisi-puisi
Wiji Tukul ikut berkonstribusi menumbangkan kekuasaan orde baru. Bahkan saat demostrasi mahasiswa seolah
menjadi kutipan wajib dalam setiap orasi para demonstran. Tetralogi Laskar Pelangi gubahan Andrea
Hirata ikut mendorong kunjungan pariwisata di Belitung dan menjadikan sosok
Ikal sebagai indikator keberhasilan anak muda yakni mesti menempuh pendidikan
di luar negeri.
Lantas, bagaimana karya sastra dapat
memicu perubahan..?? saya bukanlah sastrawan ataupun kritikus sastra yang dapat
menjelaskan pertanyaan itu secra logis dan sistematis. Namun apa yang saya alami dan seperti
Foucoult, Barthes, Gadamer ataupun tokoh semiotik lain katakan bahwa kata
(bahasa) punya kuasa. Bahasa dengan
begitu halus menyelusup masuk dalam ruang kesadaran dan memperkokoh ataupun
membentuk kesadaran baru. Kesadaran ini
yang kemudian memicu tindakan dan perubahan tingkah laku.
Karya sastra melalui kekuatan bahasa
yang dimilikinya seolah telah berhasil mengokohkan dirinya menjadi salah satu
pemain utama dalam panggung sejarah. Karya
sastra begitu sangat apik melontarkan kritik-kritik sosial sampai terkadang kita
tak menyadari sedang dikritik lalu larut didalamnya. Melalui kemampuan personifikasinya, sastra
dengan rigid namun menyenangkan mengilustrasikan realitas sosial kita. Sampai disini,
saya melihat bahwa kesadaran kita hampir sepenuhnya dibentuk oleh realitas
diluar diri kita. Terakhir saya ingin
mengutip apa yang dikatakan oleh Marx dan Engels (1859) bahwa bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keberadaan
mereka, melainkan keberadaan sosial yang menentukan kesadaran mereka.
By the way.,kembali pada
maksud pernyataan sahabat saya diatas “sering-seringlah membaca novel..”. Hmmmm..,bisa jadi sahabat saya itu
menginginkan perubahan pada diri saya. Perubahan
apa itu..? saya selalu positive thingking ajalah.,perubahan menjadi
lebih baik.
Bogor, 4 Mei 2015.
0 komentar:
Posting Komentar