Entri Populer

Pages

11 Februari, 2009

MASA DEPAN DEMOKRASI INDONESIA


Sepintas, ketika membaca judul tulisan ini terkesan bahwa ada semacam keraguan terhadap demokrasi sehingga terbesit pertanyaan dibenak kita apakah demokrasi sebuah pilihan yang tepat bagi bangsa ini. Ini merupakan pertanyaan yang menggugat keyakinan kelompok pro demokrasi bahawa demokrasi mampu membawa bangsa ini pada tatanan yang damai dan sejahtera. Tak salah jikalau pertanyaan itu lahir ditengah para elit politik yang dengan bangga dan lantangnya meneriakkan bahwa Negara kita adalah Negara demokratis sementara fenomena tidak demokratis ada dimana-mana bahkan tak jarang para elit yang mempertontonkannya.
Namun disisi lain, dengan melihat judul tulisan ini pula, justru terkesan memberikan penegasan terhadap keyakinan bahwa demokrasi mampu mewujudkan harapan dan cita-cita rakyat. Harapan besar itu muncul begitu kuat setelah beberapa kekuatan di Indonesia terkonsolidasi untuk kemudian bersepakat menjatuhkan rezin orde baru Soeharto yang otoriter pada tahun 1998. Masuknya babakan sejarah orde reformasi seolah menjadi angin segar bagi kelompok pro demkrasi untuk menuju pada tatanan bangsa yang lebih baik.
Masa transisi yang tengah melanda bangsa Indonesia saat ini yang dimulai dengan jatuhnya rezim orde baru menjadikan ketidakjelasan masa depan demokrasi Indonesia. Apakah Indonesia nantinya kembali menceburkan diri pada lembah otoritarianisme atau berjalan mulus pada konsolidasi demokrasi yang berujung pada pelembagaan demokrasi. Bahkan denan arah bangsa yang tidak jelas ini memunculkan stigmatisasi terhadap demokrasi oleh sebagian kelompok sehingga berkesimpulan bahwa demokrasi bukanlah sebuah sistem yang tepat bagi Indonesia. Hal ini menjadi fenomena yang lumrah dalam sebuah bangsa yang tengah bertransisi.

Sepintas Tentang Demokrasi
Kata sebagian teoritikus politik, ide filosofis demokrasi sebenarnya telah ada sejak zaman yunani kuno dengan adanya Negara kota (polis) di Athena pada abad ke 4 dan ke 5 SM. Sebuah negara kecil yang juga dengan penduduk yang tidak banyak sehingga demokrasi bisa langsung dijalankan secara partisipatif. Warga Athena tersebut setidaknya bertemu empat puluh kali dalam setahun untuk membahas persoalan-persoalan publik . Nah,dari siniliah definisi demokrasi klasik terbangun yakni demokrasi asal dan tujuan. Pemerintah dari, oleh dan untuk rakyat (government of, by and for people).
Menurut Robert Dahl dalam Kamil bahwa dalam pandangan Yunani tentang demokrasi, warga Negara adalah pribadi yang utuh yang baginya politik adalah aktivitas sosial yang alami dan tidak terpisah secara tegas dari bidang kehidupan lain. Nilai-nilai tidak terpecah tetapi terpadu karena itu mereka aktif dalam kegiatan politik. Namun dalam prakteknya pula demokrasi Yunani dalam hal kewarganegaraannya merupakan hal yang eksklusif, bukan inklusif. Persyaratan kewargaanegaraan adalah kedua orang tua harus warga Athena asli. Jika orang asing aktif dan memberikan sumbangan besar pada kehidupan ekonomi dan intelektual akan mendapat status tertentu.
Dalam perkembangannya, demokrasi kemudian mengalami redefenisi khususnya bagi Negara-negara besar modern yang mulai muncul pada abad ke-16. Gagasan barupun tentang demokrasi pertama kali dimunculkan oleh kaum Leveller, kelompok republican inggris abad ke-17 dengan menawarkan prinsip perwakilan dalam demokrasi yang kemudian dimatangkan lagi oleh James Mill dan John struat Mill (1806-1873). Prinsip perwakilan dalam demokrasi bagi Destutt de tracy merupakan suatu penemuan baru karena dapat berlaku dalam waktu yang sangat lama dan cakupan wilayah yang sangat luas.
Yang dimaksud dengan demokrasi perwakilan adalah bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik warga Negara diselenggarakan oleh warga Negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu pemilihan yang bebas. Dalam perspektif inilah esensi demokrasipun sering disebut seperti oleh Schumpeter dan Huntington terletak pada Pemilihan umum yang jujur, adil dan berkala. Dari sinilah kemudian melahirkan pengertian demokrasi modern dimana penekanannya pada hal yang sifatnya procedural (procedural democracy).

Transisi Demokrasi Indonesia
Transisi merupakan interval atau selang waktu antara suatu rezim politik dengan rezim politik yang lain. Menurut Guillrermo O’Donnell dan Philippe C. Scmitter bahwa transisi dibatasi oleh mulainya proses perpecahan rezim. Ia juga menilai, sudah jadi ciri masa ini yakni tidak menentunya aturan main politik. Hal itu disebabkan bukan hanya aturan itu berubah terus-menerus dalam masa transisi itu tetapi juga karena aturan main itu dipertarungkan antar elit politik. Menurut O’Donnell dan Schmitter, selama masa transisi bila memang ada aturan-aturan yang efektif cenderung berada pada genggaman pemerintah otoriter. Biasanya penguasa ingin mempertahankan kekuasaannya karena itu penguasa akan memodifikasi aturan itu demi kepentingan dirinya.
Transisi yang terjadi dalam konteks keindonesiaan adalah bersifat sistemik mulai dari sistem ekonomi, politik, pemerintahan, sosial budaya dan supremasi hukum. Sifat transisi inipun menjadikan bangsa ini begitu sulit untuk berbenah diri. Disisi lain komitmen pemimpin dan penyelenggara pemerintahan sangat sulit untuk ditemukan. Akibat fatalnya adalah memunculkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemimpin dan penyelenggara pemerintah. Masyarakat bangsa inipun menjadi shock dan akhirnya transisi demokrasi hinggap merasuk kedalam ruang cultural dan psikologis bangsa.
Transisi demokrasi di Indonesia mulai sejak lengsernya Soeharto. Banyak orang kemudian membayangkan bahwa Indonesia akan segera bertranformasi dari otoritarianisme ke sistem yang demokratis. Namun persoalan itu agaknya tak kunjung terjadi. Setelah 9 tahun sejak kejatuhan soeharto Indonesia masih saja berkubang di kawah transisi. Hal ini disebabkan oleh dekonstruksi terhadap orde baru tidak terjadi secara optimal. Soeharto memang lengser tetapi antek-anteknya masih tegak berdiri. Akibatnya rekonstruksipun sulit terjadi.
Rekontruksi merupakan proses peletakan fondasi atau basis material-konstitusional demokrasi. Menurut ahli teori politik proses ini sebagai proses konsolidasi demokrasi. Kebuntuan dalam menyusun fondasi kontitusional ini melahirkan ketidakseriusan atau konsolidasi setengah hati. Parahnya, kondisi ini dimanfaatkan oleh kekuatan politik lama untuk berkuasa kembali.
Disisi lain muncul gejolak didaerah untuk mendapatkan otoritas atau kewenangan secara konstitusional untuk mengelolah pemerintahannya. Tuntutan ini muncul sebagai reaksi atas kekecewaan dan ketidakpuasan selama orde baru berkuasa. Ditambah lagi ada semacam ketidakpercayaan daerah terhadap pemerintah pusat. Sekaligus dengan desentralisasi diharapkan dijauhkan dari konflik dan proses demokratisasi secara bertahap juga terjadi di daerah. Namu desentralisasi sebagai pilihan kongkrit pada masa transisi agaknya tidak sepenuhnya menjadi pilihan tepat. Kenyataan yang terjadi kemudian adalah dengan adanya desentralisasi konflik dan fenomena yang tidak demokratis juga terdesentralisasi di daerah.
Menurut Tornquist bahwa ada dua hal yang menyebabkan demokrasi gagal dicangkokkan dalam rahim politik Indonesia. Pertama, proses dorongan memajukan hak dan institusi demokrasi dengan dengan cara pelemahan Negara dan dorongan desentralisasi dengan bantuan masyarakat sipil, privatisasi, globalisasi ekonomi namun namun tidak dibarengi oleh persyaratan penting yakni kemampuan survival kelompok pengusaha tanpa menjalin relasi gelap dengan Negara, militer dan penegak hukum. Kedua, transformasi kekuasaan yang dibutuhkan dalam demokratisasi hanya ditopang oleh gerakan yang lemah sehingga termarjinalisasikan. Akibatnya banyak keputusan penting lahir diluar mekanisme demokrasi.
Segala perjalalanan demokrasi di Indonesia mulai dari orde lama, orde baru sampai hari ini telah menjadi bagian sebuah proses pembentukan pengetahuan dan kesadaran sejarah bangsa Indonesia. Bahkan hal itu telah terlembaga secara mapan. Atau dalam perkataan lain paradigm pengetahuan bangsa ini yang berefek pada tindakan sosial terbentuk melalui proses sejarah yang timpang. Pertanyaan besarnya adalah, bagaimanakah dengan masa depan demokrasi di bangsa ini, apakah bangsa ini mampu keluar dari transisi menuju konsolidasi demokrasi atau justru sebaliknya.
Agaknya, dengan melihat situasi dengan konstalasi politik yang terjadi, kita tidak bisa semata-mata berharap banyak terhadap parlemen dan elit politik baik pusat maupun daerah untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia. Mesti ada kelompok tertentu dengan mobilitas tinggi dan secara proaktif bergerak dari bawah membangun demokratisasi. Jika paradigma bangsa ini terbangun atas sejarah yang timpang maka paradigma tersebut mesti dibenahi dengan menunjukkan sejarah yang sebenarnya. Fungsi education dan up grade capacity harus dilakukan dengan intens dari bawah. Nah dari sinilah paradigma bangsa ini akan bergeser sekaligus penguatan masyarakat sipil. Dan tentu saja demokratisasi tidak hanya menjadi mimpi indah dalam tidur panjang bangsa ini.

0 komentar:

Posting Komentar