Entri Populer

Pages

05 Februari, 2009

SETIAP TEMPAT ADALAH SEKOLAH

Tulisan ini sebenarnya saya buat setelah peringatan Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) 2 Mei 2007. Hanya saja tulisan baru dapat saya posting ke blog ini karena tulisan ini saya buat hampir 2 tahun sebelum blog ini ada. Namun setidaknya isu tulisan ini belumlah usang. Bahkan saya menilai masih cukup representatif untuk merefleksikan wajah pendidikan kita hari ini. Berikut tulisan saya itu..

Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) 2 Mei 2007 baru saja kita lewati. Tidak seperti peringatan hari ulang tahun seorang remaja yang dirayakan penuh dengan suka cita dan pesta pora yang meriah, hari Pendidikan Nasional dirayakan dengan demontrasi besar-besaran disetiap pelosok tanah air Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan dari berbagai kalangan masyarakat. Isu demonstrasi yang diangkatpun tidak jauh berbeda yakni seputar anggaran pendidikan, tenaga pengajar, berbagai bentuk penyelewengan pendidikan, penolakan terhadap Badan Hukum Pendidikan (BHP) sampai pada penghapusan utang luar negeri sebagai biang persoalan bangsa yang mempunyai efek domino terhadap dunia pendidikan. Dengan maraknya demonstrasi pada Hari Pendidikan Nasional sebagai bentuk protes terhadap penyelenggara negara menjadi penanda bahwa pemerintah belum sepenuhnya secara serius melaksanakan tanggung jawabnya membenahi pendidikan nasional.

Secara gamblang dalam pembukaan UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu cita-cita NKRI adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Proses pencerdasan kehidupan bangsa, tidak saja terdapat pada ruang pendidikan formal tetapi setiap ruang interaksi sosial adalah upaya pencerdasan. Peserta didiknya pun bukan sebatas anak sekolah yang berseragam dan terdaftar pada institusi pendidikan. Petani, pegawai negeri, pengusaha, buruh, masyarakat desa, masyarakat urban dan segenap masyarakat lainnya juga menjadi peserta didiknya. Mata ajarannya tidak hanya bahasa, matematika, fisika dan ilmu pasti lainnya. Demokrasi, pluralisme, toleransi, keadilan dan lain sebagainya juga menjadi mata pelajaran wajib

Artinya tanggung jawab Negara bukanlah sebatas penganggaran 20% dana pendidikan dari APBN dan APBD, menyediakan infrastruktur pendidikan dan tenaga pengajar yang berkualitas. Tetapi lebih dari itu, Negara mesti memberikan penjaminan kondisi lingkungan belajar bagi masyarakat sehingga masyarakat dengan bebas melakukan aktivitas belajar. Tindak kekerasan yang sering terjadi dimasyarakat bisa jadi karena pengekangan terhadap kebebasan belajar dan ekspresi kreativitas masyarakat serta tidak adanya ruang pembelajaran bersama sehingga terekspresikan melalui tindak kekerasan.

Hal ini senada dengan teori Sublimasi Anna Freud yang diturunkan dari psikoanalisis ayahnya Sigmud Freud bahwa faktor utamanya adalah superego. Superego mengekang libido sebagai pemicu naluri primitif (pelecehan, kekerasan dll) dan mengubahnya menjadi aktivitas belajar intelektual (task of intellectual learning) dan kegiatan mendapatkan keterampilan (acquisition of skills). Dengan demikian pendidikan adalah usaha pengalihan naluri primitif untuk diekspresikan pada upaya mempelajari aktivitas-aktivitas yang dapat diterima oleh norma masyarakat. Proses inilah yang disebut sebagai sublimasi.

Seorang tokoh pendidikan progresif perempuan dari Inggris Susan Isaacs (1885-1948) menegaskan bahwa kebebasan belajar akan menghilangkan hambatan proses belajar atau distorsi perkembangan watak. Ia akan mendorong upaya memahami dunia dan pengembangan keterampilan yang tersublimasi karena teori psikoanalisis menyebutkan bahwa neurosis disebabkan oleh tekanan (represi). Walaupun pada akhirnya Isaacs menemukan perlunya keseimbangan antara kebebasan dan pengurangan kebebasan.

Kedewasaan bangsa terbentuk ketika interaksi social dimaknai sebagai proses pembelajaran. Dari proses belajar ini akan mendorong pembelajar (masyarakat) untuk mengevaluasi perjalanan belajarnya –baca interaksi sosial- sehingga upaya preventif dan perbaikan serta berkomitmen untuk tidak mengulangi kesalahan akan terjadi. Pada akhirnya, secara kualitatif kedewasaan akan terus meningkat. Indikatornya perilaku primitif (kekerasan, pelecehan, dll) sedikit demi sedikit terkikis dan pada akhirnya sirna.


Negara adalah laboratorium raksasa

Elit politik dan penyelengara birokrasipun mestinya menjadi pembelajar yang baik bersama masyarakat. Pada akhirnya melahirkan elit politik dan penyelenggara birokrasi yang bertanggung jawab dalam menjalankan amanah rakyat dan taat hukum.

Ketika interaksi social dimaknai sebagai proses belajar artinya setiap tempat adalah sekolah. Negara akan menjadi laboratorium raksasa. Tempat membicarakan dan mencari kebenaran dan keadilan serta secara bersama-sama berkomitmen menegakkan kebenaran dan keadilan tersebut. Negara menjadi tempat kita melakukan pengujian dan evaluasi dari proses belajar tadi.

Semangat pembelajar mestinya terus ditanamkan dengan membuka ruang alternative pembelajaran baru. Ruang pembelajaran baru akan terwujud ketika negara juga menjaminkan kondisi lingkungan belajar yang sehat, dinamis dan senatiasa saling menghargai dalam keberagaman dan perbedaan. Jadilah murid bangsa yang baik sekaligus guru bangsa yang baik buat diri kita sendiri. Ketika kita menempatkan diri sebagai murid bangsa tentu saja kita tidak menginginkan pelajaran yang buruk. Demikian pula ketika kita menjadi guru bangsa buat diri kita tentu kita tidak akan mengajarkan hal yang buruk buat diri kita.

Akhirnya, bangsa ini sudah terlalu jauh terseret kedalam lembah keterpurukan dan ketertingglan. Karena itu menjadi tanggung jawab kita sumua mengangkat derajat bangsa ini menjadi bangsa yang maju, cerdas dan beradab melalui misi edukasi dengan menjadikan setiap bentuk interaksi social adalah belajar dan ruang interaksi social adalah sekolah.

0 komentar:

Posting Komentar