Entri Populer

Pages

13 September, 2013

SEKS VERSUS SECANGKIR KOPI HANGAT



Ilustrasi
Di suatu kesempatan, saat kami sedang berada disebuah kafe,  seorang sahabat mengajukan pertanyaan menggelitik kepada saya.  

Mana yang lebih nikmat secangkir kopi hangat dengan racikan pas antara gula, cream dan olahan biji kopi pilihan; atau hangatnya seks..??.  saya sontak mendengar pertanyaan sahabat itu.

Mengapa kamu bertanya seperti itu..?  tanyaku padanya heran.

Ia tak menjawab, namun hanya mengerutkan keningnya sambil mengarahkan pandangannya pada seorang perempuan berkulit mulus, berparas cantik dan tinggi semampai dengan rambut sebahu sembari meneguk kopinya yang masih hangat.

“..ha..ha..ha..ha..,” saya hanya meledak tertawa sambil membayangkan imajinasi sahabat itu. 

“Tapi saya ingin kau menjawabnya dengan serius” tampik sahabatku itu.
  
Ok.,ok., beri saya waktu. Saya tak ingin menjawab sebuah pertanyaan nyeleneh dengan jawaban serius disaat seperti ini.  Biarkan sejenak kita menikmati suasana ini. Jawabku

“..ha..ha..ha..ha..,” sontak tawa kami berdua menggaung seisi ruangan.

Tulisan ini adalah jawaban dari pertanyaan sahabat itu...!!

Saya bukanlah seorang penikmat kopi sejati yang khatam mengetahui seluk beluk kopi. Saya bukan pula seorang dokter dan seksolog yang bisa menguraikan  seputar problematika seksual secara lebih detail.  Saya pula bukan seorang psikolog  yang bisa memahami apa yang menjadi motivasi dan orientasi seksual seseorang.  Saya hanyalah orang biasa yang tentu saja memiliki hasrat dan naluri “purba” itu yang dengannya kita bisa saling share pengetahuan dalam makna yang positif. Untuk itu, pengalaman membaca buku dan arena sosial kita, sangat baik menjadi gudang pengetahuan untuk kita share.

Di negeri kita yang serba terbungkus oleh etika ketimuran ini terkadang membincang persoalan seks menjadi hal yang tabu.  Apalagi dalam ruang publik maka tak jarang kita dinilai kurang beretika.  Padahal seks itu melekat pada diri manusia sejak manusia itu diciptakan.  Mungkin karena seks bagi manusia menyimpan sejarah traumatik tersendiri sebab kakek dan nenek moyangnya terusir dari nikmatnya sorga karena tak mampu membendung dan mengendalikan hasrat purba itu.  Dari pengalaman traumatik itu, tak hanya hukum positif, agamapun memberikan satu penekanan tegas baik larangan maupun arahan menyangkut seks.

Namun disisi lain, soalan seks merupakan kisah klasik yang tak pernah lekang oleh waktu dan selalu asyik untuk diperbincangkan.  Tak hanya orang awam, cerdik cendekia juga tak habis-habisnya membahas tentang seks. Apalagi telah melibatkan fakta, teori, opini dan imaginasi.  Diskusi seputar seks seolah menjadi tak terbatas untuk dikaji dan diulas.

Lantas, apa sebetulnya definisi seks itu?.  Dalam pemahaman saya, Jika kita sekedar meninjau dari perspektif anatomi dan morfologi tubuh, maka seks secara sempit dimaknai sebagai alat kelamin yang memiliki fungsi biologis dan fisiologis tertentu.  Atau sebuah aktivitas saat bertemunya sel sperma dan sel ovum. Menjadi core dalam sistem reproduksi organisme dan berkaitan dengan sistem-sistem lainnya di dalam tubuh.

Tetapi makna seks menjadi lebih kompleks ketika melibatkan aspek sosial seperti budaya, etika, persepsi dan sebagainya.  Apalagi dalam konteks modernitas, seks telah menjadi komoditas industri yang memberikan iming-iming kenikmatan dan kapital.

Tarik menarik definisi seks dari berbagai perspektif ini, yang kemudian membentuk realitas seks di masyarakat kita.  Lebih jauh lagi, realitas seksual itu tidak hanya sebatas definisi tetapi juga mencakup mentalitas, ekspresi dan perilaku seks baik individu maupun sosial.

Jika sudah seperti ini persoalan seks bukan lagi hanya menjadi persolan individu tapi menjadi persoalan sosial.  Nampaknya, agama telah menengarai hal ini sejak dini sehingga agama secara tegas bahwa urusan ekspresi seksual harus terbungkus dalam satu ikatan institusi yang disebut pernikahan.

By the way, membahas soal ekspresi seksual, dalam amatan saya secara umum ada perbedaan antara ekspresi seksual laki-laki dengan ekspresi seksual perempuan.  Laki-laki cenderung lebih terbuka dan tanpa beban mengungkapkan gagasan dan imaginasi dia tentang seks.  Bahkan cenderung terkesan liar dan vulgar.  Tak hanya itu, laki-laki akan cenderung menikmati semua proses itu. 

Sementara perempuan terkesan lebih tertutup dan lebih memilih diam.  Bagi perempuan, urusan seks adalah urusan privat tak secara vulgar diungkap ke publik.  Kalaupun seks menjadi bahan diskusi, hanya sebatas dikalangan sesama perempuan atau orang-orang tertentu yang dipercaya. Perempuan dalam hal seks kesannya lebih malu-malu kucing.

Why like that..???

Untuk menjawabnya, saya teringat dengan teori psikoanalisa Sigmund Freud. Freud  adalah bapak psikoanalisis yang mencoba menjelaskan bagaimana perkembangan seksual seseorang.  Menurut Freud pengalaman-pengalaman itu sangat penting diamati karena berkaitan dengan pembentukan situasi sosial secara utuh.  Bahkan dengan berani Freud mengungkapkan bahwa ketidakteraturan sosial bisa terjadi karena libido individu yang tidak tersublimasi dan terkanalisasi dengan baik.

Namun, seluruh struktur perkembangan kepribadian seseorang merupakan refleksi dari tiga corak kepribadian yaitu Id, Ego dan Super Ego.  Id lebih berorientasi pada pemuasan dan kesenangan termasuk di dalamnya dorongan seksual (libido).  Ego adalah dorongan melakukan tindakan realistis dan rasional untuk memenuhi kebutuhannya.  Ego ini juga yang mengontrol ekspresi Id.  Super Ego adalah basis norma, etika dan aturan yang menjadi patron.  Seper Ego yang memberikan penjelasan tentang benar-salah, baik-buruk dan hal-hal etis lainnya.

Kemudian, Psikoanalisis Freud menjelaskan ada fase perkembangan kepribadian seseorang yang cenderung didominasi fluktuasi ekspresi Id. Fase tersebut masa anak-anak, laten, genital dan dewasa.  Dimasa anak-anak ada tiga fase yang dilalui yakni fase oral, anal dan phalic. Fase oral (0-1 tahun) kesenagan seksual diperoleh dari mulut.  Aktivitas bayi menyusu adalah ekspresi dari oral tersebut. Fase anal (1-3 tahun) kesenangan berpusat pada anus. Pada fase ini anak mulai diajari untuk buang air besar ke toilet. Fase Phalic (3-6 tahun) masa dimana alat kelamin merupakan bagian paling penting.  Di masa ini anak laki-laki akan cenderung dekat pada ibunya (oedipus complex) dan anak perempuan dekat pada ayahnya (electra complex).

Fase Latency (6-12 tahun) yaitu masa dimana seseorang dalam kondisi transisi. Fase Genital (12-18) adalah fase remaja.  Fase latency dan genital adalah fase yang cukup krusial karena perubahan dan pmbiasaan perubahan seksual sangat terasa.  Terakhir adalah fase Dewasa atau kematangan seksual.

Apa yang dijabarkan oleh Freud bukan berarti tak menuai kritik dan anti tesis. Namun terlepas dari berbagai hantaman kritik itu, saya ingin mengatakan bahwa berbagai fase perkembangan kepribadian yang dimaksud oleh Freud dipersepsi dan diekspresikan berbeda oleh laki-laki dan perempuan.

Bagi laki-laki, perkembangan kepribadian itu lebih dianggap sebagai sebuah perjalanan fantasi.  Dimulai ketika masa kanak-kanak, laki-laki terkadang  gemar menunjukkan kelaminnya pada lawan jenisnya dan suka mengganggu lawan jenis seusianya.  Saat memasuki akil baliq, laki-laki melewati “mimpi basah” pertama dengan menyenangkan dan cenderung untuk terus mengulanginya baik saat tidur ataupun saat tidak tidur.  Bagi laki-laki ini semacam adventure maka jangan heran laki-laki cenderung lebih vurgar dalam membahas seks dan cenderung terdorong untuk melakukan “penaklukkan” untuk merebut hati perempuan.  Singkat kata, laki-laki melewati itu semua dengan penuh sensasional.

Caba bandingkan dengan dengan perempuan.  Sejak kecil selalu menjadi media ejekan bagi anak laki-laki seusianya.  Saat akil baliq merasakan menstruasi pertama yang tidak nyaman dan cenderung menyakitkan.  Rasa nyeri sakit itupun terus berlanjut setiap bulannya hingga masa monopause.  Saat menikah, di malam pertama dilalui dengan rasa sakit saat selaput daranya pecah, kemudian hamil dengan beban diperut selama 9 bulan, terjadi perubahan metabolisme lalu kemudian saat melahirkan dengan sakit yang tiada tara.  Belum lagi setelah melahirkan mesti merawat dan menyusui sekian bulan lamanya.  Singkat kata, bagi perempuan proses itu semua dilalui secara emosional.

Menurut saya, perbedaan proses ini dibuat oleh Tuhan bukan berarti tanpa maksud.  Semangat adventure, mengejar, memecahkan misteri dan cenderung ambisius secara positif bisa diarahkan untuk mengais rezeki dan meniti karir lebih luas. Itulah mengapa, kewajiban menafkahi hanya diperuntukkan oleh laki-laki terhadap keluarganya.  Namun bukan berarti, perempuan tidak memiliki peluang yang sama.

Pengalaman emosional yang mendalam dan berkali-kali didera oleh perempuan bukan berarti tidak ngefek.  Pengalaman-pengalaman itu membuat perempuan cenderung lebih perasa, berperangai lembut dan memiliki potensi lebih besar untuk memanifestasikan perasaan sayangnya.  Maka dari itu, perempuan atau Ibu lebih direkomendasikan oleh Tuhan untuk merawat dalam keluarga.  Namun bukan berarti laki-laki tidak memiliki tanggung jawab untuk itu.

Sebagai catatan akhir, bagi saya apa yang diungkap diatas bukan hal yang sifatnya linear dan determinis.  Semua bisa saja berjalan secara zig-zag jika aspek-aspek sosial yang lebih dinamis ikut bermain di dalamnya.  Terlebih lagi, semakin mutakhirnya penemuan teknologi dan semakin cepatnya arus informasi menyebabkan entitas setiap lokus kebudayaan menjadi semakin massif berinteraksi dan berakulturasi.  Tekhnologi dan arus informasi seolah menjadikan entitas budaya melebur dan tak memiliki sekat.  Hal ini tentu meniscayakan terjadinya pergeseran nilai (logika,etika,estetika) dalam masyarakat yang mendorong juga terjadi perubahan persepsi dan gaya hidup.  Tak terkecuali, persoalan seks di dalamnya.

Paling akhir, buat sahabat saya yang bertanya itu, jangan membandingkan atau mencari mana yang lebih nikmat, secangkir kopi  atau seks.  Bagi saya kedua-duanya memiliki cita rasa dan imajinasi yang berbeda satu sama lain saat menikmatinya. So, jangan coba untuk membandingan antara keduanya.


Institut Pertanian Bogor,
13 September 2013
Pukul  17.05 WIB
 

2 komentar: