Ilustrasi |
Di suatu kesempatan, saat kami sedang berada
disebuah kafe, seorang sahabat
mengajukan pertanyaan menggelitik kepada saya.
Mana yang
lebih nikmat secangkir kopi hangat dengan racikan pas antara gula, cream dan olahan
biji kopi pilihan; atau hangatnya seks..??. saya sontak mendengar pertanyaan sahabat itu.
Mengapa kamu
bertanya seperti itu..? tanyaku
padanya heran.
Ia tak menjawab, namun hanya mengerutkan keningnya
sambil mengarahkan pandangannya pada seorang perempuan berkulit mulus, berparas
cantik dan tinggi semampai dengan rambut sebahu sembari meneguk kopinya yang
masih hangat.
“Tapi saya ingin kau menjawabnya dengan serius” tampik sahabatku itu.
Ok.,ok., beri
saya waktu. Saya tak ingin menjawab sebuah pertanyaan nyeleneh dengan jawaban
serius disaat seperti ini. Biarkan sejenak
kita menikmati suasana ini. Jawabku
“..ha..ha..ha..ha..,”
sontak tawa kami berdua menggaung seisi ruangan.
Tulisan ini adalah jawaban dari pertanyaan sahabat
itu...!!
Saya bukanlah seorang penikmat kopi sejati yang khatam mengetahui seluk beluk kopi. Saya
bukan pula seorang dokter dan seksolog yang bisa menguraikan seputar problematika seksual secara lebih
detail. Saya pula bukan seorang
psikolog yang bisa memahami apa yang
menjadi motivasi dan orientasi seksual seseorang. Saya hanyalah orang biasa yang tentu saja
memiliki hasrat dan naluri “purba” itu yang dengannya kita bisa saling share pengetahuan dalam makna yang positif.
Untuk itu, pengalaman membaca buku dan arena sosial kita, sangat baik menjadi
gudang pengetahuan untuk kita share.
Di negeri kita yang serba terbungkus oleh etika
ketimuran ini terkadang membincang persoalan seks menjadi hal yang tabu. Apalagi dalam ruang publik maka tak jarang
kita dinilai kurang beretika. Padahal
seks itu melekat pada diri manusia sejak manusia itu diciptakan. Mungkin karena seks bagi manusia menyimpan
sejarah traumatik tersendiri sebab kakek dan nenek moyangnya terusir dari
nikmatnya sorga karena tak mampu membendung dan mengendalikan hasrat purba itu. Dari pengalaman traumatik itu, tak hanya
hukum positif, agamapun memberikan satu penekanan tegas baik larangan maupun
arahan menyangkut seks.
Namun disisi lain, soalan seks merupakan kisah
klasik yang tak pernah lekang oleh waktu dan selalu asyik untuk diperbincangkan. Tak hanya orang awam, cerdik cendekia juga
tak habis-habisnya membahas tentang seks. Apalagi telah melibatkan fakta,
teori, opini dan imaginasi. Diskusi
seputar seks seolah menjadi tak terbatas untuk dikaji dan diulas.
Lantas, apa sebetulnya definisi seks itu?. Dalam pemahaman saya, Jika kita sekedar
meninjau dari perspektif anatomi dan morfologi tubuh, maka seks secara sempit
dimaknai sebagai alat kelamin yang memiliki fungsi biologis dan fisiologis
tertentu. Atau sebuah aktivitas saat
bertemunya sel sperma dan sel ovum. Menjadi core
dalam sistem reproduksi organisme dan berkaitan dengan sistem-sistem lainnya di
dalam tubuh.
Tetapi makna seks menjadi lebih kompleks ketika
melibatkan aspek sosial seperti budaya, etika, persepsi dan sebagainya. Apalagi dalam konteks modernitas, seks telah
menjadi komoditas industri yang memberikan iming-iming kenikmatan dan kapital.
Tarik menarik definisi seks dari berbagai
perspektif ini, yang kemudian membentuk realitas seks di masyarakat kita. Lebih jauh lagi, realitas seksual itu tidak
hanya sebatas definisi tetapi juga mencakup mentalitas, ekspresi dan perilaku
seks baik individu maupun sosial.
Jika sudah seperti ini persoalan seks bukan lagi
hanya menjadi persolan individu tapi menjadi persoalan sosial. Nampaknya, agama telah menengarai hal ini
sejak dini sehingga agama secara tegas bahwa urusan ekspresi seksual harus
terbungkus dalam satu ikatan institusi yang disebut pernikahan.
By the way,
membahas soal ekspresi seksual, dalam amatan saya secara umum ada perbedaan
antara ekspresi seksual laki-laki dengan ekspresi seksual perempuan. Laki-laki cenderung lebih terbuka dan tanpa
beban mengungkapkan gagasan dan imaginasi dia tentang seks. Bahkan cenderung terkesan liar dan vulgar. Tak hanya itu,
laki-laki akan cenderung menikmati semua proses itu.
Sementara perempuan terkesan lebih tertutup dan
lebih memilih diam. Bagi perempuan,
urusan seks adalah urusan privat tak secara vulgar diungkap ke publik. Kalaupun seks menjadi bahan diskusi, hanya
sebatas dikalangan sesama perempuan atau orang-orang tertentu yang dipercaya.
Perempuan dalam hal seks kesannya lebih malu-malu
kucing.
Why like
that..???
Untuk menjawabnya, saya teringat dengan teori
psikoanalisa Sigmund Freud. Freud adalah bapak psikoanalisis yang mencoba
menjelaskan bagaimana perkembangan seksual seseorang. Menurut Freud
pengalaman-pengalaman itu sangat penting diamati karena berkaitan dengan
pembentukan situasi sosial secara utuh.
Bahkan dengan berani Freud
mengungkapkan bahwa ketidakteraturan sosial bisa terjadi karena libido individu
yang tidak tersublimasi dan terkanalisasi dengan baik.
Namun, seluruh struktur perkembangan kepribadian
seseorang merupakan refleksi dari tiga corak kepribadian yaitu Id, Ego dan Super Ego. Id lebih berorientasi pada pemuasan dan
kesenangan termasuk di dalamnya dorongan seksual (libido). Ego adalah dorongan melakukan tindakan
realistis dan rasional untuk memenuhi kebutuhannya. Ego
ini juga yang mengontrol ekspresi Id. Super Ego
adalah basis norma, etika dan aturan yang menjadi patron. Seper Ego
yang memberikan penjelasan tentang benar-salah, baik-buruk dan hal-hal etis
lainnya.
Kemudian, Psikoanalisis Freud menjelaskan ada fase perkembangan kepribadian seseorang yang
cenderung didominasi fluktuasi ekspresi Id. Fase tersebut masa anak-anak, laten, genital dan dewasa.
Dimasa anak-anak ada tiga fase yang dilalui yakni fase oral,
anal
dan phalic.
Fase oral (0-1 tahun) kesenagan
seksual diperoleh dari mulut. Aktivitas bayi
menyusu adalah ekspresi dari oral tersebut. Fase anal (1-3 tahun) kesenangan berpusat pada anus. Pada fase ini anak
mulai diajari untuk buang air besar ke toilet. Fase Phalic (3-6 tahun) masa dimana alat kelamin merupakan bagian paling
penting. Di masa ini anak laki-laki akan
cenderung dekat pada ibunya (oedipus
complex) dan anak perempuan dekat pada ayahnya (electra complex).
Fase Latency
(6-12 tahun) yaitu masa dimana seseorang dalam kondisi transisi. Fase Genital (12-18) adalah fase remaja. Fase latency dan genital adalah fase yang
cukup krusial karena perubahan dan pmbiasaan perubahan seksual sangat
terasa. Terakhir adalah fase Dewasa atau kematangan seksual.
Apa yang dijabarkan oleh Freud bukan berarti tak menuai kritik dan anti tesis. Namun terlepas
dari berbagai hantaman kritik itu, saya ingin mengatakan bahwa berbagai fase
perkembangan kepribadian yang dimaksud oleh Freud dipersepsi dan diekspresikan
berbeda oleh laki-laki dan perempuan.
Bagi laki-laki, perkembangan kepribadian itu lebih
dianggap sebagai sebuah perjalanan fantasi.
Dimulai ketika masa kanak-kanak, laki-laki terkadang gemar menunjukkan kelaminnya pada lawan
jenisnya dan suka mengganggu lawan jenis seusianya. Saat memasuki akil baliq, laki-laki melewati “mimpi basah” pertama dengan menyenangkan dan cenderung untuk terus
mengulanginya baik saat tidur ataupun saat tidak tidur. Bagi laki-laki ini semacam adventure maka jangan heran laki-laki
cenderung lebih vurgar dalam membahas seks dan cenderung terdorong untuk
melakukan “penaklukkan” untuk merebut hati perempuan. Singkat kata, laki-laki melewati itu semua
dengan penuh sensasional.
Caba bandingkan dengan dengan perempuan. Sejak kecil selalu menjadi media ejekan bagi anak
laki-laki seusianya. Saat akil baliq merasakan menstruasi pertama
yang tidak nyaman dan cenderung menyakitkan.
Rasa nyeri sakit itupun terus berlanjut setiap bulannya hingga masa monopause. Saat menikah, di malam pertama dilalui dengan
rasa sakit saat selaput daranya pecah, kemudian hamil dengan beban diperut selama
9 bulan, terjadi perubahan metabolisme lalu kemudian saat melahirkan dengan
sakit yang tiada tara. Belum lagi
setelah melahirkan mesti merawat dan menyusui sekian bulan lamanya. Singkat kata, bagi perempuan proses itu semua
dilalui secara emosional.
Menurut saya, perbedaan proses ini dibuat oleh
Tuhan bukan berarti tanpa maksud. Semangat
adventure, mengejar, memecahkan
misteri dan cenderung ambisius secara positif bisa diarahkan untuk mengais
rezeki dan meniti karir lebih luas. Itulah mengapa, kewajiban menafkahi hanya
diperuntukkan oleh laki-laki terhadap keluarganya. Namun bukan berarti, perempuan tidak memiliki
peluang yang sama.
Pengalaman emosional yang mendalam dan berkali-kali
didera oleh perempuan bukan berarti tidak ngefek. Pengalaman-pengalaman itu membuat perempuan
cenderung lebih perasa, berperangai lembut dan memiliki potensi lebih besar
untuk memanifestasikan perasaan sayangnya.
Maka dari itu, perempuan atau Ibu lebih direkomendasikan oleh Tuhan
untuk merawat dalam keluarga. Namun bukan
berarti laki-laki tidak memiliki tanggung jawab untuk itu.
Sebagai catatan akhir, bagi saya apa yang diungkap
diatas bukan hal yang sifatnya linear dan determinis. Semua bisa saja berjalan secara zig-zag jika aspek-aspek sosial yang
lebih dinamis ikut bermain di dalamnya. Terlebih
lagi, semakin mutakhirnya penemuan teknologi dan semakin cepatnya arus
informasi menyebabkan entitas setiap lokus kebudayaan menjadi semakin massif
berinteraksi dan berakulturasi. Tekhnologi
dan arus informasi seolah menjadikan entitas budaya melebur dan tak memiliki
sekat. Hal ini tentu meniscayakan
terjadinya pergeseran nilai (logika,etika,estetika) dalam masyarakat yang
mendorong juga terjadi perubahan persepsi dan gaya hidup. Tak terkecuali, persoalan seks di dalamnya.
Paling akhir, buat sahabat saya yang bertanya itu,
jangan membandingkan atau mencari mana yang lebih nikmat, secangkir kopi atau seks.
Bagi saya kedua-duanya memiliki cita rasa dan imajinasi yang berbeda satu
sama lain saat menikmatinya. So, jangan coba untuk membandingan antara
keduanya.
Institut
Pertanian Bogor,
13 September
2013
Pukul 17.05 WIB
ya ya ya.... argumentatif
BalasHapusrasionalisasi
BalasHapus