Ilustrasi |
Orang bijak bilang hidup adalah
pilihan-pilihan. Setiap pilihan itupun
pasti akan memiliki konsekuensinya sendiri-sendiri. Ibaratnya, hidup ini adalah sebuah
perjalanan dan kita adalah seorang
musafir . Setiap saat dalam perjalanan
musafir itu selalu saja menemui persimpangan jalan. Mustahil musafir akan melewati lebih dari satu simpang jalan
sekaligus. Musafir yang baik adalah
memilih simpang jalan yang ia fahami betul kemana arah jalan itu karena sekali
melewati jalan itu, maka tidak akan pernah ia dapat
kembali berbalik arah dan untuk melewati jalan yang lain.
Demikian pula pilihan-pilihan hidup
tersebut. Kita tidak mungkin menjalankan
lebih dari satu pilihan yang kontradiktif secara sekaligus. Kontradiksi disini tidak hanya sebatas kontradiksi
pada wilayah benar salah, namun kadang-kadang juga menyangkut mana yang punya
skala prioritas lebih besar. Pilihan
yang bijak adalah kita faham sepenuhnya apa pilihan itu, konsekuansi apa yang
mungkin hadir, kita mampu mengkalkulasi variable apa saja yang akan terlibat
dalam pilihan itu dan kita memang mampu menjalani pilihan tersebut. Seperti halnya sang musafir tadi, kita hanya
punya satu kali kesempatan untuk memilih dan setelah memilih kita mustahil
kembali ke masa lalu untuk mengambil pilihan yang lain setelah menyadari bahwa
pilihan pertama kita keliru. Pada
situasi seperti ini, biasanya penyesalan yang akan menguasai diri kita.
Penyesalan adalah hal yang sangat manusiawi
dan penyesalan bukan sesuatu keburukan. Bahkan penyesalan menyadarkan kita
pada keburukan yang kita lakukan dan menunjukkan kita pada wajah kebenaran yang
baru. Penyesalan akan kehilangan makna
dan urgensinya ketika kita terus saja larut dalam penyesalan itu tanpa
mengambil langkah baru yang lebih berarti, atau justru membuat kita semakin
naïf melihat kehidupan dan sesegera mungkin kita mengakhiri hidup karena hidup
ini sudah tidak bermakna lagi dan sudah tidak layak untuk diperjuangkan.
Atau mungkin terjebak pada logika
keterlanjuran, hingga terus-terusan berkubang pada keburukan yang kita sadari
sembari terus-terusan meyakinkan diri bahwa “..saya tidak berdaya untuk keluar dari tempat ini. Biarlah..biarlah saya terus berada disini, pasrah
bersama keburukan ini, entah sampai kapan..”.
Padahal penyesalan yang menyadarkan kita pada
keburukan dan menunjukkan wajah kebenaran baru itu sudah cukup
menjadi alasan yang sangat logis untuk berinisiatif melakukan perbaikan,
melihat peluang-peluang baru, menciptakan pilihan-pilihan baru dan mengambil
langkah baru yang lebih bijak. Lagi pula
energi yang digunakan untuk terus berkubang pada keburukan dan mengkonservasi
keyakinan ketidakberdayaan, jauh lebih besar ketimbang energi untuk memulai semua perbaikan itu. Kita hanya membutuhkan sedikit saja
keberanian untuk memulai sesuatu yang lebih berarti dan memberikan kepercayaan
pada diri sendiri. Dan keberanian itu
akan muncul dalam diri dengan memunculkan ketakutan dan kebencian untuk
melakukan keburukan.
Dermaga, Bogor
28 September 2013.
Hidup ini hanya perlu disyukuri apapun langkah yang telah ditempuh insyaAllah itulah jalan terbaik dan selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian.. wallahu a'lam
BalasHapusTrima Kasih Ryah Nur.,
BalasHapus