Entri Populer

Pages

23 Mei, 2015

MEMETIK BUAH HIKMAH BUYA AHMAD SYAFII MAARIF


Buya Ahmad Syafii Maarif


Subuh ini, usai menundukkan kepala diatas sajadah saya begitu terperanjat membaca tulisan pendek Buya Ahmad Syafi’I Maarif yang dimuat dalam Republika Online 19 Mey 2015.  Perasaan saya mungkin seperti maling yang “kepergok” sedang beraksi, panik, resah dan penuh ketakutan.  Mungkin bahasa anak muda sekarang “galau”.  Saya yakin ke”galau”an Buya Ahmad jauh lebih pekat ketimbang saya sebagai konsekuensi kedalaman pengetahuan dan kejernihan hati beliau.  Ya Allah, panjangkanlah usia dan pikiran-pikiran Buya Ahmad, dan jika beliau pergi meninggalkan kami maka gantikanlah dengan 1000 Buya seperti beliau.  Bangsa ini sangat membutuhkan sosok seperti beliau Ya Allah.,Amin.

Jujur saya tak terlalu mengenal Buya Ahmad bahkan tak ada satupun buku nya yang terselip dalam lemari bukuku.  Saya mengenal beliau melalui media online dan televisi.  Keyakinan saya mengatakan Ia ingin menjadi sosok yang universal yang tak ingin ruang gerak sosialnya dibatasi oleh simbol-simbol tertentu meskipun Ia cukup kental dipandang sebagai tokoh tulen Muhammadiyah.  Saya kurang tahu apakah di Muhammadiyah ada tradisi menyapa seorang tokoh dengan sapaan Buya seperti yang dilekatkan pada Buya Ahmad. 

Judul tulisannya sangat mengagetkan buat saya, Menyembah Sejarah.  Dua istilah yang mestinya tak dipersandingkan dan ditemukan faktanya, tetapi nyatanya itu terjadi di bumi manusia.  Satu istilah yang merupakan produk “langitan” yang konsekuensi tindakannya bermuara ke “langit” dan satu lagi istilah yang merupakan produk “bumian” yang menjelaskan dinamika kemanusiaan dalam ruang dan waktu.  Saya sangat memahami Buya Ahmad sedang merasakan denyut nadi sejarah yang terus meradang khususnya sejarah perjalanan ummat muslim.  Ia nampaknya merasakan satu kegetiran hati dan fikiran yang sangat dipenghujung usianya yang senja itu.

Ilustrasi
Tulisan itu adalah kritik buat kita semua yang cenderung tersesat dalam sejarah lalu memper-Tuhan-kannya.  Ia memulai dengan bagaimana kegerahan pendeta-pendeta Kristen di dunia barat setelah Stephen Hawking, fisikawan yang difabel itu mengeluarkan pernyataan yang “menyentil” semangat teologi mereka.  Makin kesini Hawking semakin atheis dengan mengatakan “kita tak perlu membutuhkan Tuhan untuk menjelaskan semesta,  pengetahuan sudah bisa melakukan itu”. Hawking meniadakan kuasa Tuhan dengan kuasa pengetahuan.

Jika di belahan dunia barat Tuhan dan pengetahuan sedang berebut tempat dalam kehidupan manusia, maka tak begitu adanya di belahan dunia timur.  Menurut Buya Ahmad ada kegaduhan lain yang menyesakkan napas di dunia timur (arab dan negara muslim): bentrok Sunnisme dan Syi’isme atas nama Tuhan.  “Kedua golongan ini pasti akan naik pitam jika dikatakan tidak ber-Tuhan, tetapi pertumpahan (darah) antara mereka atas nama Tuhan tetap saja berlangsung, sesuatu yang nista dan sesat. Tetapi itulah fakta sejarah” tulis Buya Ahmad.

Secara tegas Buya menjelaskan bahwa Sunny, syi’ah, khawarij dan jubah-jubah yang lain hanyalah produk sejarah sebagai buah dari sengketa politik kekuasaan dikalangan elit Arab muslim dimasa awal (sepeninggal Nabi) dengan mengingkari Al Qur’an dan pesan Nabi.  Menurut saya ini pernyataan yang berani tetapi memang harus diungkapkan oleh beliau karena begitulah memang adanya.

Berangkat dari pikiran Buya Ahmad, ada dua catatan kecil yang ingin saya sampaikan.  Pertama; tanpa kita sadari belahan dunia timur juga sedang bergerak pada lintasan menuju atheis seperti yang sedang dialami oleh belahan dunia barat.  Hanya saja dengan cara dan motif yang berbeda.  Konflik pertumpahan darah dikalangan muslim atas nama Tuhan telah menggeser posisi penting Tuhan secara akidah dengan mazhab yang dibela mati-matian itu. Jika di dunia barat kuasa pengetahuan tengah mempertanyakan posisi Tuhan maka di dunia timur posisi keagungan Tuhan tengah digangu dengan politik antar mazhab (mazhab syi’ah, sunni dan sebagainya).  Darah yang tertumpah hanya menjual nama Tuhan demi kepentingan mazhab.  Atau dalam bahasa berbeda konflik Syi’ah dan sunni bukan konflik akidah tapi konflik politik dalam sejarah ummat muslim.

Kedua; tulisan Buya Ahmad bahwa konflik ini terjadi yang bermula di awal dengan mengingkari Al Qur’an dan pesan Nabi menegaskan bahwa pihak-pihak yang bertikai bisa jadi tanpa sadar justru semakin menjauhkan diri dari ajaran yang berusaha untuk diperjuangkan.  Sebab Nabipun selalu berpesan bahwa islam itu Rahmatan Lil Alamin yang mekanisme dakwahnya dengan kedamaian dan welas asih.  Mengarifi perbedaan adalah sendi yang paling penting untuk mengokohkan Rahmatan Lil Alamin itu.

Poin penting yang saya serap dari tulisan Buya tercermin secara gamblang dari judul tulisannya.  Hendaknya sebagai golongan agama paling besar dapat berdamai dengan sejarah secara baik dan mendudukkan sejarah secara proporsional tanpa mengutak-atik atau malah merongrong akidah yang sebetulnya berdiri pada pondasi yang sama yaitu kalimat tauhid.  Bagi saya, jika telah meyakini keesaan Allah SWT dan meyakini Muhammad SAW sebagai rasul terakhir maka muslimlah ia.  Selebihnya adalah cabang-cabang fiqih yang sarat dengan dinamika sosial yang diselesaikan dengan membuka pintu-pintu dialog (ijtihad).

Paling akhir, sebagaimana Buya Ahmad, tempatkanlah sejarah sesuai pada tempatnya bahwa sejarah merupakan gumpalan dan kristalisasi ruang dan waktu yang sarat pelajaran moral.  Doktrin Al Qur’an jelas dalam QS Yusuf ayat 111 “ Laqad kaana fii qashashihim ‘ibratun li ulil albaab”.  Sesungguhnya pada kisah-kisah (sejarah) mereka itu ada pelajaran moral bagi mereka yang berakal.



Bogor, 23 Mei 2015
Pukul 05.30 WIB.
 

0 komentar:

Posting Komentar