Buya Ahmad Syafii Maarif |
Subuh ini, usai menundukkan
kepala diatas sajadah saya begitu terperanjat membaca tulisan pendek Buya Ahmad
Syafi’I Maarif yang dimuat dalam Republika Online 19 Mey 2015. Perasaan saya mungkin seperti maling yang “kepergok”
sedang beraksi, panik, resah dan penuh ketakutan. Mungkin bahasa anak muda sekarang “galau”. Saya yakin ke”galau”an Buya Ahmad jauh lebih
pekat ketimbang saya sebagai konsekuensi kedalaman pengetahuan dan kejernihan
hati beliau. Ya Allah, panjangkanlah
usia dan pikiran-pikiran Buya Ahmad, dan jika beliau pergi meninggalkan kami
maka gantikanlah dengan 1000 Buya seperti beliau. Bangsa ini sangat membutuhkan sosok seperti
beliau Ya Allah.,Amin.
Jujur saya tak terlalu mengenal
Buya Ahmad bahkan tak ada satupun buku nya yang terselip dalam lemari
bukuku. Saya mengenal beliau melalui media
online dan televisi. Keyakinan saya
mengatakan Ia ingin menjadi sosok yang universal yang tak ingin ruang gerak
sosialnya dibatasi oleh simbol-simbol tertentu meskipun Ia cukup kental
dipandang sebagai tokoh tulen Muhammadiyah.
Saya kurang tahu apakah di Muhammadiyah ada tradisi menyapa seorang
tokoh dengan sapaan Buya seperti yang dilekatkan pada Buya Ahmad.
Judul tulisannya sangat
mengagetkan buat saya, Menyembah Sejarah. Dua istilah yang mestinya tak dipersandingkan
dan ditemukan faktanya, tetapi nyatanya itu terjadi di bumi manusia. Satu istilah yang merupakan produk “langitan”
yang konsekuensi tindakannya bermuara ke “langit” dan satu lagi istilah yang
merupakan produk “bumian” yang menjelaskan dinamika kemanusiaan dalam ruang dan
waktu. Saya sangat memahami Buya Ahmad
sedang merasakan denyut nadi sejarah yang terus meradang khususnya sejarah
perjalanan ummat muslim. Ia nampaknya
merasakan satu kegetiran hati dan fikiran yang sangat dipenghujung usianya yang
senja itu.
Ilustrasi |
Tulisan itu adalah kritik buat
kita semua yang cenderung tersesat dalam sejarah lalu memper-Tuhan-kannya. Ia memulai dengan bagaimana kegerahan pendeta-pendeta
Kristen di dunia barat setelah Stephen Hawking, fisikawan yang difabel itu
mengeluarkan pernyataan yang “menyentil” semangat teologi mereka. Makin kesini Hawking semakin atheis dengan
mengatakan “kita tak perlu membutuhkan Tuhan untuk menjelaskan semesta, pengetahuan sudah bisa melakukan itu”. Hawking
meniadakan kuasa Tuhan dengan kuasa pengetahuan.
Jika di belahan dunia barat Tuhan
dan pengetahuan sedang berebut tempat dalam kehidupan manusia, maka tak begitu
adanya di belahan dunia timur. Menurut
Buya Ahmad ada kegaduhan lain yang menyesakkan napas di dunia timur (arab dan
negara muslim): bentrok Sunnisme dan Syi’isme atas nama Tuhan. “Kedua golongan ini pasti akan naik pitam
jika dikatakan tidak ber-Tuhan, tetapi pertumpahan (darah) antara mereka atas
nama Tuhan tetap saja berlangsung, sesuatu yang nista dan sesat. Tetapi itulah
fakta sejarah” tulis Buya Ahmad.
Secara tegas Buya menjelaskan
bahwa Sunny, syi’ah, khawarij dan jubah-jubah yang lain hanyalah produk sejarah
sebagai buah dari sengketa politik kekuasaan dikalangan elit Arab muslim dimasa
awal (sepeninggal Nabi) dengan mengingkari Al Qur’an dan pesan Nabi. Menurut saya ini pernyataan yang berani
tetapi memang harus diungkapkan oleh beliau karena begitulah memang adanya.
Berangkat dari pikiran Buya
Ahmad, ada dua catatan kecil yang ingin saya sampaikan. Pertama; tanpa kita sadari belahan dunia
timur juga sedang bergerak pada lintasan menuju atheis seperti yang sedang
dialami oleh belahan dunia barat. Hanya saja
dengan cara dan motif yang berbeda. Konflik
pertumpahan darah dikalangan muslim atas nama Tuhan telah menggeser posisi penting
Tuhan secara akidah dengan mazhab yang dibela mati-matian itu. Jika di dunia
barat kuasa pengetahuan tengah mempertanyakan posisi Tuhan maka di dunia timur posisi
keagungan Tuhan tengah digangu dengan politik antar mazhab (mazhab syi’ah, sunni
dan sebagainya). Darah yang tertumpah
hanya menjual nama Tuhan demi kepentingan mazhab. Atau dalam bahasa berbeda konflik Syi’ah dan
sunni bukan konflik akidah tapi konflik politik dalam sejarah ummat muslim.
Kedua; tulisan Buya Ahmad bahwa
konflik ini terjadi yang bermula di awal dengan mengingkari Al Qur’an dan pesan
Nabi menegaskan bahwa pihak-pihak yang bertikai bisa jadi tanpa sadar justru
semakin menjauhkan diri dari ajaran yang berusaha untuk diperjuangkan. Sebab Nabipun selalu berpesan bahwa islam itu
Rahmatan Lil Alamin yang mekanisme dakwahnya dengan kedamaian dan welas
asih. Mengarifi perbedaan adalah sendi
yang paling penting untuk mengokohkan Rahmatan Lil Alamin itu.
Poin penting yang saya serap dari
tulisan Buya tercermin secara gamblang dari judul tulisannya. Hendaknya sebagai golongan agama paling besar
dapat berdamai dengan sejarah secara baik dan mendudukkan sejarah secara
proporsional tanpa mengutak-atik atau malah merongrong akidah yang sebetulnya
berdiri pada pondasi yang sama yaitu kalimat tauhid. Bagi saya, jika telah meyakini keesaan Allah
SWT dan meyakini Muhammad SAW sebagai rasul terakhir maka muslimlah ia. Selebihnya adalah cabang-cabang fiqih yang
sarat dengan dinamika sosial yang diselesaikan dengan membuka pintu-pintu
dialog (ijtihad).
Paling akhir, sebagaimana Buya
Ahmad, tempatkanlah sejarah sesuai pada tempatnya bahwa sejarah merupakan
gumpalan dan kristalisasi ruang dan waktu yang sarat pelajaran moral. Doktrin Al Qur’an jelas dalam QS Yusuf ayat
111 “ Laqad kaana fii qashashihim ‘ibratun li ulil albaab”. Sesungguhnya pada kisah-kisah (sejarah)
mereka itu ada pelajaran moral bagi mereka yang berakal.
Bogor, 23 Mei 2015
Pukul 05.30 WIB.
0 komentar:
Posting Komentar